Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Politik

Meminta Maaf kepada Sukarno

6 Oktober 2015   09:22 Diperbarui: 6 Oktober 2015   09:48 998
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sukarno menangis di makam Jenderal Yani"][/caption]Setelah sebelumnya dikabarkan bahwa negara akan meminta maaf kepada keluarga korban Partai Komunis Indonesia (PKI), kini muncul lagi isu yang mengatakan negara akan meminta maaf kepada keluarga Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno. Tampaknya anak dari Jenderal Suharto, pemimpin Orde Baru, kurang setuju dengan rencana ini. Menurutnya negara ini telah menjunjung tinggi Bapak Proklamatornya. Junjungan tertinggi itu – kata Titiek – hadir di zaman pemerintahan ayahnya. “Zaman Pak Harto sudah diberi nama bandara, bagaimana sampai seluruh dunia kenal itu,” ujar Titiek sebagaimana dikutip oleh Viva.co.id (05/10).

Apa yang diucapkan oleh Titiek sangatlah menggelikan. Bagaimana bisa menganggap pemberian nama bandara kepada Bapak Bangsa sebagai salah satu prestasi Suharto dalam menjunjung tinggi Sukarno? Apakah menjunjung tinggi martabat seorang pahlawan cukup dengan menaruh namanya di bandara terbesar di ibu kota? Bagaimana mungkin hal tersebut bisa disebut sebuah junjungan, ketika nama sang proklamator masih dilumuri dengan fitnah-fitnah keji yang ditimpakan pada dirinya selama pemerintahan Orde Baru?

Lagipula untuk dikenal oleh seluruh dunia, Sukarno tidak membutuhkan sebuah bandara internasional. Seluruh dunia telah mengenal Sukarno lewat pemikiran-pemikirannya. Sukarno bukan hanya pemimpin bagi negaranya saja, namun pemimpin negara-negara yang mengalami penindasan kolonialisme dan imperealisme. Sebenarnya pula, permintaan maaf bukanlah sesuatu yang dibutuhkan oleh Sukarno. Akan tetapi permintaan maaf ini dibutuhkan oleh bangsa Indonesia. Bagaimana mungkin sebagai bangsa kita meninggalkan sejarah dan menguburnya seolah-seolah semuanya baik-baik saja?

Sukarno dilengserkan pada 12 Maret 1967 melalui TAP MPRS XXXIII yang menuduh dirinya terlibat pada peristiwa G30S (Gerakan 30 September). Menariknya sampai hari ini tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan keterlibatan Sukarno dalam peristiwa itu. Alih-alih terlibat, surat Sukarno kepada istrinya Dewi justru membuktikan sebaliknya. Dalam suratnya itu Sukarno mengatakan bahwa ia tidak tahu di mana Jenderal Yani berada. Hal ini menunjukkan bahwa Sukarno tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Sukarno lalu diasingkan ke Wisma Yaso. Di sana ia menjadi tahanan rumah. Kondisi kesehatannya semakin memburuk dan dokter-dokter yang dikirim oleh Orde Baru juga tidak membantu. Anak-anaknya sulit untuk menemuinya. William Oltmans di dalam buku ‘Di Balik Keterlibatan CIA: Bung Karno Dikhianati?’ menceritakan kalau pun anak Sukarno menemuinya, semua pembicaraannya direkam oleh Suharto. Ketika Rachmawati mengunjungi ayahnya di Wisma Yaso, Sukarno menunjuk-nunjuk ke atas sebagai tanda bahwa bos besar Suharto sedang mendengarkan mereka berdua. Meski direkam sekali pun, mata-mata Orde Baru ikut dalam pertemuan ayah dan anak itu.

Pernyataan Titiek yang mengatakan bahwa Suharto menghargai Sukarno begitu aneh. Dari sejak awal, Suharto tidak pernah menghargai Sukarno. Suharto menolak menghadap Sukarno (dalam kasus G3OS) dari tanggal 1 Oktober sampai dengan 3 Oktober 1965. Padahal jelas hal itu menyalahi aturan, karena atas dalih apapun juga, Sukarno adalah Panglima Besar. Dan bahkan Suharto melarang Mayjen Pranoto (pelaksana tugas harian angkatan darat) untuk hadir menghadap Sukarno. Lebih-lebih lagi ketika Sukarno memerintahkan pasukan untuk standby di posisi masing-masing, Suharto dan kawannya Sarwo Edhie justru menggila dengan membantai jutaan manusia yang entah bersalah atau tidak. Bagaimana bisa tahu mereka bersalah jika tidak diadili. Jadi sudahlah jelas bahwa sejak awal Suharto telah melakukan insubordinasi.

Dalam buku ‘Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’ menjelaskan impian Sukarno. Dalam buku ini, Sukarno bercerita mengenai akhir hayatnya kelak. Ia meminta agar peristirahatan terakhirnya berada di tempat ia pertama kali bertemu dengan petani Marhaen, di kota Bandung daerah Pariangan. Inilah wasiat terakhir Sukarno. Tapi apakah Suharto memenuhi wasiat terakhir dari seorang manusia yang akan kembali menghadap Sang Maha Kuasa? Tentu tidak. Sukarno dimakamkan di Blitar atas kemauan rezim saat itu.

Apakah yang dimaksud Titiek junjungan tinggi kepada Sukarno adalah dengan memperlakukannya seperti seorang penjahat? Apakah junjungan tinggi itu ialah dengan menutup mata tentang wasiat Sukarno terkait peristirahatan terakhirnya? Lucu sekali wakil rakyatku yang satu ini.

Menjunjung tinggi pahlawan bukanlah dengan cara memberi nama suatu kota di negara itu menjadi nama pahlawannya, apalagi hanya memberi nama bandara. Menjunjung tinggi pahlawan adalah dengan menempatkan namanya di tempat yang semestinya dan memperlakukanya sebagai manusia yang mulia. Pesan saya hanya satu untuk Bu Titiek: Buanglah ke laut kata “junjungan tinggi” itu.

Negara ini berhutang maaf kepada rakyatnya karena telah memperlakukan pahlawannya dengan begitu keji. Rezim silih berganti, namun tidak satu pun dari mereka mengucapkan permintaan maafnya. Sejarah dilupakan, bukan diluruskan. Presiden Jokowi memiliki kesamaan dengan Presiden Sukarno. Keduanya lahir dari rahim rakyat. Akankah Presiden Jokowi meluruskan sejarah atau mengabaikannya seperti presiden-presiden sebelumnya? Biarlah waktu yang menjawab.

 

Tsamara Amany

Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

 

Ilustrasi: traxonsky.com

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun