Sejak digulirkannya hak angket kepada Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, kisruh politik di Jakarta pun memanas. Setelah konflik KPK-Polri agak mereda, kini rakyat disuguhi pemberitaan seputar Ahok dan DPRD DKI. Kasus ini bermula dengan ditemukannya dana siluman sebesar 12,1 trilliun di APBD DKI. Ahok tidak mau berkompromi sementara DPRD menilai Ahok tidak memiliki etika. Ahok memang terkenal sebagai sosok yang ceplas-ceplos. Tak ayal seringkali ia dijuluki sebagai sosok yang arogan. Namun sebaliknya, DPRD yang menyebut diri mereka beretika justru diduga memiliki pokir (pokok pikiran) yang berniat mencuri uang warga DKI.
Ketua DPRD DKI Prasetyo Edi Marsudi mengungkapkan bahwa dirinya mendukung beberapa terobosan Ahok. Namun menurut Prasetyo, Ahok tidak memiliki etika yang baik. “Sebenarnya saya sepakat sama dia soal terobosan-terobosannya, hanya etika dia tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ujar politisi PDI-P tersebut seperti yang dikutip oleh suaranews.com (5/3). Jika melihat pemberitaan seputar kisruh ini, DRPD sangat mempermasalahkan komunikasi politik Ahok yang dianggap menyudutkan para wakil rakyat. Atau mungkin mereka merasa tersudutkan karena di dalam hati kecilnya sadar bahwa mereka yang salah.
Adalah pemahaman yang salah jika menganggap etika sebagai sopan santun. Sebab, etika dan sopan santun adalah dua hal yang berbeda. Etika adalah ilmu yang mengkaji moral manusia, sementara sopan santun tergolong dalam kategori etiket yang menilai tata krama, gaya perorangan dan lain sebagainya. Menurut ahli filsafat Jerman Immanuel Kant (1724-1804), standar moral dibagi menjadi tiga; kesemestaan, menghargai diri sendiri dan orang lain, dan kehendak otonom. Kesemestaan yang artinya sesuatu yang kita lakukan haruslah bersifat universal dan dapat diterima oleh semua pihak. Harus mampu menghargai diri sendiri dan orang lain. Dan kehendak otonom yang berarti apa yang kita lakukan harus berasal dari diri sendiri, bukan kehendak atau tekanan dari orang lain.
Jika menggunakan ketiga standar moral tersebut, Ahok tidak melanggar etika. Bahkan seseorang yang memelajari etika justru akan mengatakan bahwa Ahok jelas bermoral. Pertama, Ahok telah menerapkan standar kesemestaan dalam sikap yang ia ambil untuk melawan DPRD DKI. Sikap melawan tindak pidana korupsi adalah sikap yang dapat kita universalkan. Artinya secara universal kita dapat mengetahui bahwa korupsi mutlak sesuatu yang salah, tidak ada pembenaran atas tindak pidana korupsi. Dan perang melawan korupsi adalah sesuatu yang mutlak benar. Oleh sebab itu, sikap Ahok yang memilih untuk berperang melawan DPRD DKI untuk menyelamatkan uang rakyat adalah sikap yang mutlak benar. Sebab, apa yang dilakukan oleh Ahok akan diakui oleh siapa pun dari agama dan budaya apa pun sebagai sesuatu yang benar.
Kedua, menghargai diri sendiri dan orang lain. Ahok telah menunjukkan bahwa ia mampu menghargai dirinya sendiri dengan tidak mau ditipu oleh oknum DPRD yang berusaha menyelundupkan uang sebesar 12,1 triliun untuk membeli UPS. Tentu akan menjadi pembodohan bagi diri sendiri jika Ahok membiarkan, dan tentunya membodohi diri sendiri adalah bentuk tidak menghargai diri kita sendiri. Soal menghargai orang lain, mungkin akan ada perdebatan. Ahok dinilai tidak menghargai para wakil rakyat yang terhormat. Namun jika dikaitkan dengan prinsip kesemestaan, Ahok justru menghargai orang lain yang lebih banyak daripada sekedar menghargai 106 anggota dewan. Justru dengan berperang melawan oknum DPRD, Ahok menghargai 10 juta warga DKI Jakarta yang uangnya dipermainkan oleh wakil rakyatnya sendiri.
Ketiga, kehendak otonom. Apa yang dilakukan Ahok adalah murni dari dalam dirinya sendiri, bukan tekanan. Ahok bisa saja mengabaikan hati nuraninya dan berkompromi dengan DPRD untuk menjaga stabilitas pemerintahannya, tapi Ahok memilih jalan terjal. Berbagai tekanan datang untuk menjegal langkahnya dalam membongkar praktek korupsi yang sudah mendarah daging, namun Ahok tidak sedikit pun gentar. Ia mengikuti kehendak yang berasal dari hati nuraninya, bahwa korupsi di Jakarta tidak boleh terus berlanjut.
Melihat ketiga hal tersebut sebagai tolak ukur dalam mengkaji permasalahan Ahok dan DPRD, dapat disimpulkan bahwa Ahok adalah orang yang beretika. Sekali lagi, etika adalah ilmu yang mengkaji moral dan oleh karena itu, penilaian yang berdasarkan etika haruslah mengkaji moral Ahok dan DPRD dalam kisruh APBD ini. Apakah Ahok tidak memiliki etiket atau sopan santun? Hal itu boleh diperdebatkan. Namun Ahok dapat dinobatkan sebagai pemimpin paling beretika yang ada saat ini, karena hanya Ahok yang berani secara nyata melawan segala kepentingan politik yang berniat menjegal kesejahteraan rakyat. Ahok rela mengorbankan jabatannya bahkan nyawanya sekalipun hanya untuk membongkar segala kejahatan korupsi di DKI Jakarta. Lalu, siapa yang tak punya etika? Ahok atau DPRD? Biarlah warga DKI Jakarta yang menjawab.
@PolitikAktual
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI