Gugatan Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi (MK) menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ahok, sapaan akrabnya, menganggap bahwa cuti kampanye merupakan hak dari calon kepala daerah. Oleh sebab itu, ia meminta tafsir MK jika dirinya tidak menggunakan hak cuti kampanye dan tetap fokus menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga masa jabatan berakhir pada Oktober 2017 nanti.
Ahok merasa dirinya dirugikan secara konstitusional dengan keberadaan Pasal 70 ayat 3 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Menurutnya, cuti dari jabatan gubernur yang diatur dalam UU terlalu lama. Calon gubernur harus mulai cuti sejak tanggal 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017. Itu pun jika Pilkada berlangsung satu putaran. Jika Pilkada berlangsung hingga dua putaran, maka Ahok harus cuti paling tidak selama enam bulan.
“Ini merugikan konstitusi jabatan saya untuk bekerja. Kalau pilkada berlangsung dua putaran, maka saya harus cuti paling tidak enam bulan. Bukan saya meminta Pak majelis hakim yang terhormat untuk tidak cuti kampanye, tapi saya terima konsekuensi tidak berkampanye kalau saya diizinkan boleh tidak cuti," kata Ahok sebagaimana dikutip kompas.com (22/8).
Alasan Ahok ini masuk akal sebab bulan Oktober hingga Februari adalah bulan-bulan paling krusial. Dalam kurun waktu tersebut, pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk tahun 2017 akan dibahas bersama dengan DPRD DKI Jakarta. Ahok merasa insecure jika tidak mengawasi langsung proses pembahasan tersebut. Ia penuh kecurigaan bahwa anak buahnya bisa saja bermain dengan oknum DPRD ketika dirinya tidak ada.
Kecurigaan Ahok ini dapat dimengerti karena warga Jakarta menjadi saksi permainan anggaran dalam kasus UPS di APBD 2015. Ketika itu uang sebesar 12,1 trilliun berpotensi hilang jika Ahok tidak menerapkan sistem e-budgeting. Untung saja, uang tersebut dapat diselamatkan meski APBD 2015 terpaksa harus disahkan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) bukan persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRD / Peraturan Daerah (Perda).
Ahok juga sudah terbukti tidak pernah memanfaatkan jabatannya untuk mempromosikan dirinya. Di Jakarta, tidak ada baliho atau spanduk dengan muka Ahok bertebaran. Nyaris tidak pernah terlihat ada iklan layanan masyarakat dari Pemprov DKI Jakarta yang memasang muka Ahok pula. Hal ini jauh berbeda dengan daerah-daerah lain di mana baliho, spanduk, dan iklan layanan masyarakat bertebaran dengan muka sang kepala daerah.
Masalahnya, Ahok adalah seorang media darling sehingga meskipun Ahok tidak kampanye, berita-berita di televisi akan selalu diwarnai oleh sosok yang satu ini. Apapun yang dilakukan Ahok sulit untuk luput dari perhatian media. Ini membuat kandidat lain menganggap bahwa apapun yang nantinya dilakukan Ahok dalam posisinya sebagai gubernur merupakan bentuk kampanye terselubung.
Ahok sendiri tidak menampik bahwa kandidat lain akan memiliki pemikiran seperti itu. “Kamu wawancara saya ini, bekerja atau bagian dari kampanye? Kalau yang enggak suka sama saya, (dianggap) kampanye lho. Kesempatan dikasih panggung buat Ahok ngomong,” katanya di Balai Kota seperti dikutip tribunnews.com (5/8).
Jalan Tengah
Tentu kita tidak mau jika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 mendatang justru diramaikan dengan laporan ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahwa petahana sedang melakukan kampanye terselubung. Pilkada DKI Jakarta 2017 harus diramaikan dengan adu program bagi kandidat yang ingin berkampanye, bukan adu curiga tentang apa yang dilakukan petahana dengan jabatannya.
Namun secara bersamaan, cuti selama empat bulan di masa krusial pembahasan anggaran daerah merugikan warga Jakarta yang sudah memberi amanah kepada Ahok. Daripada cuti selama empat bulan, lebih baik Ahok mengawasi proses pembahasan APBD, melakukan langkah-langkah preventif agar tidak terjadi banjir besar-besaran di penghujung tahun, dan fokus menyelesaikan masalah-masalah yang ada.