Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Menghapus Walikota di Jakarta

24 Juni 2016   15:41 Diperbarui: 25 Juni 2016   04:36 796
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: liputan6.com

Sejak reformasi 1998, walikota memiliki posisi strategis karena adanya peraturan mengenai otonomi daerah. Tak heran jika banyak orang yang rela merogoh kocek agar dapat merasakan kursi empuk walikota. Namun empuknya kursi walikota di daerah tidak sama dengan kursi walikota di Jakarta. Hal ini karena Jakarta memiliki kekhususan sebagai ibukota negara. 

Di Jakarta, gubernur sebagai kepala daerah memiliki hak prerogatif untuk menunjuk walikota/bupati di masing-masing wilayah. Berbeda dengan walikota di daerah lainnya yang bertanggung jawab langsung kepada rakyat, walikota di Jakarta bertanggung jawab kepada gubernur yang dipilih langsung oleh rakyat.

Meski jabatan walikota di struktur Pemprov DKI Jakarta merupakan jabatan yang dianggap tinggi dan penting, fungsi walikota sendiri masih menjadi perdebatan. Walikota secara de facto tidak bisa memerintahkan jajaran di bawahnya. Padahal walikota seharusnya menjadi orang yang paling mengerti mengenai wilayah tersebut dan paling tau kebijakan apa yang harus diambil di wilayah teritorinya.

Ketidakmampuan walikota memberikan perintah kepada bawahannya dikarenakan fungsi dinas yang begitu kuat. Suku dinas (sudin) di bawah walikota tidak berani menjalankan perintah walikota jika tidak mendapat persetujuan dari kepala dinas terkait. Dalam hal ini sudin tidak dapat disalahkan, sebab sudin secara struktural berada di bawah kepala dinas. Berarti kepala dinas merupakan satu-satunya bos yang dapat memberikan perintah kepada sudin.

Sebagai contoh, walikota mengetahui bahwa warga di suatu kawasan di wilayahnya harus direlokasi ke rusun karena kawasan tersebut merupakan resapan air. Walikota tidak bisa langsung memerintahkan sudin perumahan untuk membangun rusun. Sudin harus menunggu persetujuan dari kepala dinasnya terlebih dahulu. 

Jika disetujui, maka pembangunan rusun dapat dilakukan. Jika tidak, maka warga di kawasan tersebut tidak dapat direlokasi. Dari sini kita dapat melihat bahwa fungsi walikota hanya sebatas memberi usulan, bukan perintah. Sebaliknya, kepala dinas bisa bebas memerintahkan kepada jajarannya untuk melakukan pembangunan pada wilayah tertentu.

Dalam UU no 29 tahun 2007, disebutkan bahwa pengangkatan walikota membutuhkan pertimbangan DPRD. Hal ini karena walikota dianggap sebagai kepala wilayah yang kebijakannya berdampak langsung pada masyarakat. Padahal jika kita melihat contoh di atas, walikota tidak lebih dari koordinator wilayah. Sementara itu pengangkatan kepala dinas yang notabene lebih kuat tidak membutuhkan pertimbangan dari wakil rakyat. Disini terlihat peraturan perundangan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Fungsi walikota yang tidak jelas ini sangat tidak efisien dalam struktur pemerintahan di Jakarta. Selain membebani anggaran daerah, hal ini juga menghambat proses pengambilan keputusan karena panjangnya alur birokrasi. Kini yang menjadi pertanyaan, apakah walikota harus diperkuat atau dihapuskan?

Pertanyaan ini akan menjadi dilema. Sebab, menguatkan fungsi walikota berarti melemahkan fungsi dinas. Walikota harus diperkuat dengan fungsi perintah. Hal ini berarti dinas-dinas yang ada secara struktural harus berada di bawah komando walikota. Dengan sistem semacam ini, walikota di Jakarta akan memiliki kekuatan yang sama dengan walikota di daerah-daerah lain. Namun meski begitu, sistem ini bukan hanya melemahkan fungsi dinas, namun juga akan menempatkan gubernur sebagai koordinator daerah semata. Hal ini tidak sesuai dengan semangat kekhususan ibukota Jakarta.

Demi mempertahankan kekhususan ibukota dan menjalankan pemerintahan yang lebih efisien, seyogyanya jabatan walikota dihapuskan. Meski jabatan tersebut dihapus, bukan berarti peranan walikota sepenuhnya hilang. Peranan walikota justru dapat dibuat lebih merata ke bawah dengan menjadikan lurah sebagai manajer di kawasannya. Lurah merupakan orang yang paling memahami kawasan teritorinya sehingga ia mengerti kebijakan apa yang harus diambil dengan memerhatikan aspek sosio-kultural masyarakat sekitar. Ditunjuknya lurah sebagai manajer di suatu kawasan juga membuat fungsi camat dalam struktur pemerintahan di Jakarta menjadi tidak relevan lagi.

Lalu bagaimana dengan dinas? Dengan struktur baru yang menjadikan lurah sebagai manajer di kawasannya, maka dinas sebagai institusi yang dipimpin oleh seorang kepala dinas juga sebaiknya dihapuskan. Peranan dinas dapat ditarik ke bawah dan berada di bawah struktur setiap kelurahan. Lurah memiliki fungsi perintah ke dinas-dinas yang berada di bawahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun