Langkah Golkar yang memutuskan untuk mendukung Presiden Jokowi pada Pilpres 2019 mengejutkan banyak pihak. Apalagi keputusan ini diambil dalam forum tertinggi partai politik yaitu Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub). Keputusan yang diambil dalam Munaslub ini sifatnya mengikat kecuali diselenggarakan lagi Munaslub untuk membatalkan keputusan ini.
Ketika partai politik lainnya masih bimbang dalam memutuskan calon gubernur di Pilkada 2017 mendatang, Golkar boleh dibilang selangkah lebih maju karena telah memiliki calon untuk Pilpres 2019. Pertanyaan muncul dari rekan-rekan Golkar di koalisi pendukung pemerintah, mengapa partai berlambang beringin yang memiliki banyak kader berkualitas memutuskan untuk mendukung kader partai lain sebagai calon presiden?
Tentunya ini tidak lepas dari Pemilihan Ketua Umum Golkar yang memang penuh dengan intrik politik. Tak perlu dipungkiri bahwa ada dua kekuatan hebat yang mendukung masing-masing calon ketua umum terkuat, Sety Novanto dan Ade Komarudin. Sindiran halus Presiden Jokowi pada Munaslub Golkar membuktikan bahwa memang Luhut Pandjaitan dan Jusuf Kalla sedang berusaha memenangkan hati DPD I dan II agar memilih masing-masing calon yang mereka dukung.
Pengamat Politik Hanta Yudha saat diwawancarai Metro TV 17 Mei lalu mengatakan kemenangan Setya Novanto yang didukung Luhut Pandjaitan juga tidak lepas dari peran Istana. Jika adu kekuatan, Ade Komarudin seharusnya lebih kuat karena didukung wapres. Namun dengan kemenangan Setya Novanto, patut dicurigai Presiden yang notabene lebih kuat dari wapres turut berperan.
Setelah Setya Novanto menjadi Ketua Umum Golkar, sejumlah kebijakan untuk mendukung pemerintahan Jokowi-JK semakin nyata. Novanto sendiri menegaskan dukungannya kepada Jokowi-JK sesaat setelah terpilih sebagai Ketua Umum. Â Tak lama setelah terpilih, Novanto juga mulai menunjukkan dukungan kepada kawan dekat Jokowi, gubernur DKI Jakarta Ahok. Baru-baru ini juga Golkar menyatakan bahwa Ahok menduduki posisi teratas dalam surveinya.
Golkar juga langsung mendukung pendapat pemerintah mengenai putusan MK yang menyatakan anggota DPR harus mundur jika ingin maju ke Pilkada. Menariknya pula, Setya Novanto menamai kabinetnya di Golkar sebagai "Kepengurusan Akselerasi Kerja", hal ini senada dengan nama Kabinet Kerja Presiden Jokowi. Langkah Golkar yang makin mesra dengan pemerintah terbilang sangat cepat mengingat Munaslub baru selesai dua minggu lalu. Ini merupakan pertanda kuatnya pengaruh Jokowi dalam kepengurusan baru Golkar.
Di sisi lain langkah Golkar ini menakutkan bagi PDIP selaku partai pengusung. Pertama, nilai jual PDIP di mata Jokowi sudah hilang. Hal ini karena Jokowi sudah mendapatkan tiket kuning untuk maju pada Pilpres 2019 mendatang. Kedua, tekanan PDIP tidak berarti lagi. Selama ini PDIP selalu mengandalkan kekuatannya untuk menekan Jokowi, namun hal itu kini sudah tidak berarti lagi dengan koalisi gemuk yang dibangun oleh Jokowi.
Selama ini langkah-langkah PDIP kerap membuat masyarakat geram dimulai dari kasus pencalonan Budi Gunawan hingga revisi UU KPK. Bahkan seringkali ada suara-suara di kalangan relawan yang menginginkan Jokowi membentuk partai baru agar bisa lepas dari tekanan PDIP. Â Namun Jokowi selalu tenang dan elegan dalam mengatasi masalah. Untuk apa membuat partai baru ketika bisa mengatur partai sebesar Golkar?Â
Tsamara Amany
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H