Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kembali ke Tjokroaminoto

4 Mei 2016   10:20 Diperbarui: 4 Mei 2016   10:41 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sistem pendidikan di Indonesia haruslah mendidik generasi penerus bangsa dengan nilai-nilai nasionalisme. Sayang sistem pendidikan di Indonesia belum mampu menumbuhkan bibit-bibit nasionalisme di benak siswa. Kini siswa hanya fokus pada kelulusan, bukan pada ilmu yang didapatkan di sekolah.

Hal ini jauh berbeda dengan zaman penjajahan dulu. Meski dengan sumber daya yang terbatas, tokoh-tokoh muda seperti Soekarno, Sjahrir, dan Hatta mampu memberikan perlawanan kepada penjajah dengan tulisan-tulisan yang tajam di surat kabar. Soekarno, misalnya, sudah berani mengkritik pemerintah kolonial Belanda lewat tulisannya di surat kabar milik Sarekat Islam ketika umurnya masih 16 tahun.

Nasionalisme Soekarno memang membara karena melihat keadaan rakyat Indonesia yang sangat tertindas ketika itu. Namun rasa nasionalisme tersebut tidak akan membara bagaikan api jika tidak terus menerus diasah. Disinilah peran HOS Tjokroaminoto sebagai guru yang banyak mengajarkan Soekarno mengenai bagaimana negara seharusnya dikelola. Tjokroaminoto juga mendorong Soekarno untuk membaca berbagai buku untuk menjelaskan kondisi Indonesia saat itu. Pendidikan inilah yang akhirnya mampu membentuk Soekarno menjadi seorang Nasionalis tulen.

Sistem pendidikan Indonesia seharusnya mengacu pada tradisi yang mampu melahirkan tokoh-tokoh berkualitas, bukan justru mengacu pada puluhan soal pilihan ganda yang bagaikan penentu takdir kelulusan siswa. Sistem pendidikan kita justru mempersempit pola pikir dan daya analisis siswa. Pelajaran selama tiga tahun seolah tidak berharga ketika Ujian Nasional (UN) datang. Semua ditentukan oleh kemampuan siswa menghafal modul yang diberikan oleh pemerintah satu tahun menjelang UN.

Akibatnya ketika lulus sekolah, siswa hanya mengingat puluhan soal pilihan ganda yang telah menyiksanya selama satu tahun terakhir. Ilmu-ilmu yang dipelajari selama tiga tahun pun seolah hilang ditelan bumi. Bandingkan dengan cara klasik Tjokroaminoto dalam mengajarkan Soekarno. Ia mengajak siswanya untuk berpikir tajam, menganalisa situasi di negerinya, membandingkannya dengan negara-negara maju, mengajarkan tentang sistem upah, dan memberikan banyak buku-buku menarik untuk dipelajari lebih lanjut.

Cara pengajaran seperti Tjokoraminoto ini juga berlaku di negara-negara maju. Sistem pendidikan dengan kurikulum Cambridge sendiri tidak menekan siswa untuk memelajari seluruh pelajaran yang penting di mata Cambridge. Sebaliknya, siswa menentukan apa yang disukai dan apa yang penting baginya di masa depan. Namun dengan mata pelajaran yang minim tersebut, siswa mampu memahami dan mengaplikasikannya ke dunia nyata.

Memang sistem pendidikan Indonesia tidak sepenuhnya buruk. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya siswa yang mampu memenangi Olimpiade Matematika dan Sains di mancanegara. Meski begitu, siswa Indonesia lebih berpeluang untuk memenangi Olimpiade yang ilmunya bersifat mutlak seperti Matematika dan Sains. Dalam ilmu sosial, siswa Indonesia masih kalah karena daya analisis yang kurang terlatih.

Jarang sekali orang-orang Indonesia yang mampu menduduki kursi direksi di perusahaan multinasional. Ini merupakan akibat dari sistem pendidikan kita yang tidak aplikatif pada dunia nyata sehingga membuat orang-orang Indonesia kalah bersaing dengan orang-orang dari negara lain, bahkan dari ASEAN sendiri.

Tanpa disadarai, seiring dengan berkembangnya zaman, sistem pendidikan Indonesia justru melahirkan generasi pemegang gadget yang bukan hanya minim nasionalisme, namun minim daya analisis. Mungkin inilah saatnya Indonesia kembali ke sistem pendidikan Tjokroaminoto yang mampu menumbuhkan nasionalisme serta daya analisis yang tinggi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun