Mohon tunggu...
Tsamara Amany
Tsamara Amany Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswi Universitas Paramadina | @TsamaraDKI on Twitter

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia Butuh Calon Independen

7 Agustus 2015   11:35 Diperbarui: 7 Agustus 2015   11:35 1594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beratnya syarat calon independen dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), seolah menutup peluang akan munculnya kepala daerah independen. Pasal yang menjelaskan tentang calon independen hanya status agar seolah-olah pembuat undang-undang menjamin hak politik warga negara (to be a candidate).

Namun dalam realitanya, maju tanpa kendaraan politik hampir mendekati mustahil. Pembentukan jaringan relawan untuk mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga bukan hal mudah. Calon independen harus mengeluarkan biaya operasional beberapa tahun sebelum Pilkada dimulai. Setiap calon kepala daerah tentu akan menimbang dengan serius hal ini, mengeluarkan biaya untuk membentuk jaringan relawan atau membayar mahar partai politik yang secara nyata dapat menggerakkan mesin partai. 

Calon yang diusung dari partai politik selalu saja mendapatkan kemudahan, sebab kerja sama yang akan dijalin (koalisi) dengan partai politik lainnya jauh lebih mudah ketimbang mengumpulkan ribuan KTP. Belum lagi dalam koalisi partai politik selalu ada mutual benefit. Artinya, partai politik A mengusulkan calon kepala daerah dan partai politik B atau C mengusulkan wakil calon kepala daerah. Hal ini menunjukkan bahwa partai politik selalu menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam Pilkada. 

Dewasa ini mengusung calon kepala daerah dari partai politik akan lebih mudah dengan terbentuknya dua koalisi besar di pusat, yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Hal ini mempermudah terjalinnya koalisi di tingkat daerah. Sementara itu calon independen justru semakin dipersulit dengan kenaikan persentase syarat dukungan, sebagai contoh syarat dukungan calon independen di DKI Jakarta naik dari awalnya 3% dari total jumlah penduduk menjadi 6,5% dari total jumlah penduduk. Dari sini saja, kita sudah melihat jelas adanya diskriminasi terhadap calon independen. 

Di era di mana rakyat jenuh dengan partai politik yang ada, harusnya calon independen bisa menjadi penyegar. Tulisan ini bukan untuk menafikan peran partai politik dalam sistem demokrasi Indonesia, namun faktanya setiap hari wakil-wakil rakyat di Senayan tidak menyerap aspirasi yang diwakilkan, bahkan kadang terkesan menentang aspirasi tersebut. 

Calon independen adalah calon yang diusung oleh rakyat. KTP yang terkumpul merupakan dukungan murni rakyat. Tidak ada jaminan bahwa seluruh warga memilih partai politik yang mengusung calon tertentu. Tetapi ketika ada calon independen yang mengumpulkan KTP dari warga, hal ini sudah pasti adalah dukungan moril rakyat yang mengingkan calon tersebut untuk maju dalam Pilkada. 

Calon independen memang menjadi ancaman bagi partai politik. Misalnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 secara independen. DKI Jakarta yang merupakan daerah “basah” dipimpin oleh seorang independen, bukan dari partai politik. Bukan tak mungkin kepala daerah berprestasi lainnya akan meniru langkah Ahok ini. 

Calon independen dapat membangkitkan partisipasi publik dan menekan angka golongan putih (golput). Syarat dukungan calon independen sudah seharusnya berimbang dengan partai politik, sehingga tidak menimbulkan diskriminasi. Meski harus mengumpulkan KTP sebagai syarat dukungan, harusnya kesulitan-kesulitan seperti penambahan persentase tidak terjadi sehingga calon yang bersangkutan tidak berpikir dua kali untuk maju secara independen. Jangan sampai kesulitan-kesulitan ini membuat Indonesia tidak akan pernah memiliki calon kepala daerah independen lagi.

 

*kesulitan-kesulitan terhadap calon independen sedang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Gerakan Nasional Calon Independen (GNCI) yang diketuai oleh Fadjroel Rahman.

  

Tsamara Amany, Juru Bicara Komunitas Pendukung Ahok (KOMPAK) dan Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun