Tujuh belas tahun sudah Indonesia melaksanakan reformasi. Perjuangan mencapai reformasi tidaklah mudah. Peristiwa reformasi merupakan peristiwa berdarah. Tentu semua ingat kematian keempat mahasiswa Universitas Trisakti yang selanjutnya memicu gerakan massa yang jauh lebih besar.
Gerakan massa saat itu menuntut pemerintahan Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Rakyat mendambakan pemerintahan yang bersih, transparan serta akuntabel. Selain itu rakyat juga ingin menyuarakan pendapatnya secara bebas, tanpa harus dibayangi perasaan takut. Pada dasarnya, rakyat menginginkan kehidupan bernegara yang demokratis.
Pada rezim Orde Baru, fraksi Golkar yang dipimpin oleh Soeharto memegang suara mayoritas di DPR/MPR ditambah lagi dengan Fraksi ABRI dan utusan-utusan daerah yang sepenuhnya merupakan “milik” rezim penguasa. Oleh karena itu segala keputusan yang diambil oleh DPR merupakan titipan dari penguasa. Tak heran jika rezim Orde Baru disebut sebagai rezim totaliter. Apapun dilakukan untuk memuaskan kepentingan penguasa, bukan lagi kepentingan nasional.
Reformasi terjadi. Orde Baru runtuh sebagaimana yang diinginkan. Namun apakah agenda-agenda reformasi telah terlaksana dengan baik atau masih sebatas angan-angan saja? Kita memiliki jawaban masing-masing.
Reformasi berhasil mengembalikan hak-hak kita sebagai warga negara Indonesia. Dalam era reformasi, rakyat dirangsang untuk semakin kritis. Sebab kita semakin bebas untuk menyuarakan pendapat. Opini publik menjadi hal yang penting dan tidak dapat dianggap remeh oleh rezim penguasa.
DPR bukan lagi kepanjangan tangan dari penguasa. Semakin banyak munculnya partai politik merupakan contoh bahwa demokrasi Indonesia semakin matang. Semua berlomba-lomba memenangkan suara rakyat. Antusiasme semacam ini tidak terasa pada zaman Orde Baru, karena kita sudah bisa menebak pemenang Pemilu.
Pemilihan langsung merupakan tinta emas reformasi. Kedaulatan terasa berada di tangan rakyat. Kita memilih pemimpin sesuai kriteria kita, memilih wakil rakyat yang sesuai dengan aspirasi kita. Ini membuat rezim penguasa dan elit-elit politik harus terjun langsung mendengarkan rakyat jika tidak ingin rakyat meninggalkan mereka.
Meski begitu, reformasi bukan semata-mata mengenai keberhasilan saja. Memang benar munculnya partai politik yang semakin banyak menunjukkan bahwa partai bukan lagi organisasi yang didikte penguasa. Karena jika mengingat rezim Orde Baru, hanya tiga partai politik yang boleh berdiri di negara ini (PDI, PPP, Golkar) agar lebih mudah dikontrol oleh penguasa. Memang benar pula dengan adanya pemilihan langsung, elit politik dituntut untuk melakukan pendekatan secara langsung kepada rakyat.
Namun problem-problem mulai bermunculan. Sebelum reformasi kita menuntut DPR untuk memiliki peran yang lebih sebagai wakil rakyat agar mampu menyampaikan aspirasi ke pemerintah. Akan tetapi, DPR justru menjadi lembaga yang begitu kuat. Alih-alih menyerap aspirasi rakyat, DPR justru disibukkan untuk meraih keuntungan bagi diri mereka dan partai politiknya.
Penguatan DPR tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sistem presidensiil yang memiliki ciri keterpisahan antara legislatif dan eksekutif, menjadi rasa parlementer. Ini adalah akibat dari sistem presidensiil multipartai. Meski Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif tidak terikat dengan legislatif, namun Presiden dalam undang-undang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Oleh karenanya, gabungan partai politik pengusung di legislatif merongrong kekuasaan Presiden.
Jabatan menteri menjadi ajang bagi-bagi kue. Presiden terpilih seolah diwajibkan membalas jasa dari partai politik yang mengusungnya. Prinsip the right man in the right place mulai diabaikan. Bagi pihak penguasa yang terpenting adalah meraih stabilitas pemerintahan dengan dukungan politik yang kuat di parlemen.