10 Muharram adalah hari terpenting dalam sejarah Islam. Hari di mana Nabi Nuh diselamatkan Allah dan berhasil menajalankan perahunya, Nabi Ibrahim diselamatkan Allah dari pembakaran Raja Namrud, Nabi Ayub sembuh dari penyakitnya, Nabi Musa membelah laut merah, Nabi Yunus keluar dari perut paus, Nabi Isa diangkat ke langit. Kisah-kisah di mana keajaiban Allah hadir untuk menyelamatkan para Nabi. Setiap tanggal 10 Muharram, sejumlah masjid dan tempat pengajian mengulang-ulang keajaiban ini. Tapi satu hal yang masih sering dilupakan, satu hal yang paling penting tapi selalu terkesan tabu bagi banyak orang untuk mengungkitnya. Pada tanggal 10 Muharram ini diberi nama Asyura karena ini adalah hari di mana cucu tercinta Rasulullah, Al-Husain, dibantai oleh pasukan penguasa Yazid.
Setelah kematian ayah Al-Husain, Imam Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu Sofyan mendeklarasikan diri sebagai penguasa tunggal. Lalu ia mengangkat putranya Yazid sebagai putra mahkota. Jika Mu’awiyah suatu saat meninggal dunia, maka Yazid otomatis menjadi penggantinya. Mu’awiyah merupakan seorang penguasa yang kejam. Ia adalah pembunuh Al-Hasan, kakak dari Al-Husain, cucu dari Rasulullah S.A.W.
Al-Hasan meninggal diracuni oleh istrinya sendiri Ju’dah binti Asy’ats bin Qais. Istri Al-Hasan disogok oleh Mu’awiyah agar mau membunuh suaminya sendiri dengan iming-iming akan dinikahi oleh putra mahkota Yazid ketika itu.
Tatkala Al-Hasan meninggal Mu’awiyah bersujud dan bertakbir yang diikuti penduduk Syam. Fakhitah binti Quraidhah menanyakan, “Apakah kalian bertakbir bagi matinya putra Fatimah?”, Mu’awiyah lantas menjawab “Ya, aku bertakbir karena hatiku gembira”.
Sama seperti ayahnya Mu’awiyah, Yazid merupakan penguasa yang kejam, bahkan lebih kejam dari ayahnya itu. Penguasa Yazid mengirimkan orang-orangnya ke provinsi-provinsi untuk menyatakan sumpah setia (baiat) kepada dirinya. Dalam mengambil sumpah setia itu, Yazid melakukan sejumlah intimidasi agar mereka mau menyatakan sumpah setianya. Itulah sebabnya sahabat Nabi, Ibnu Umar pun akhirnya terpaksa baiat terhadap Yazid.
Namun Al-Husain menolak. Cucu Nabi yang tampan, gagah, pintar, dan berani, ini menolak menyatakan sumpah setianya kepada Yazid. Al-Husain memutuskan untuk berjuang bersama para pengikutnya di Kufah, Irak. Orang-orang di Kufah ini tidak mau tunduk pada pemerintahan Yazid dan kerap mengirimkan surat kepada Al-Husain mengenai persoalan ini.
Al-Husain pergi dari Mina ke Kufah berserta 50 orang lelaki (terlepas dari wanita dan anak-anak) yang menjadi perhatian orang sekitar. Mereka ke Mina bukan untuk berhaji, tetapi justru meninggalkan Makkah ke Kufah. Di tengah perjalanannya itu, Al-Husain bertemu dengan Farazdaq, seorang penyair muda. Farazdaq meminta Al-Husain agar tidak berangkat ke Kufah. “Hati mereka (orang-orang Kufah) bersamamu, tapi pedang mereka bisa melawanmu,” kata Farazdaq. Namun Al-Husain tetap berangkat.
Al-Husain memercayai sepupunya Muslim bin Aqil yang diutus oleh dirinya untuk berangkat Kufah. Muslim bin Aqil meneliti kebenaran kabar keinginan orang-orang Kufah untuk baiat kepada Al-Husain. Memang benar sesampainya di Kufah, Muslim bin Aqil menyaksikan banyak orang mengingkan Al-Husain menjadi penguasa. Mereka baiat kepada Al-Husain melalui perantara Muslim bin Aqil. Hal inilah yang menjadi landasan Al-Husain untuk tetap berangkat dan membela kebenaran.
Kabar mengenai pengikut Al-Husain di Kufah ini sampai ke Syam, ibu kota pemerintahan Yazid. Gubenur Kufah Ubaidullah bin Ziyad diutus oleh Yazid untuk mencegah Al-Husain masuk ke Irak. Ubaidullah bin Ziyad menangkap dan memerintahkan pembunuhan atas Muslim bin Aqil. Sebelum dieksekusi, Muslim mengirimkan surat kepada Al-Husain yang isinya: “Pergilah, pulang kepada keluargamu! Jangan tertipu oleh penduduk Kufah. Sesungguhnya mereka telah berkhianat kepadamu dan kepadaku”.
Dalam perjalananya itu, Al-Husain mendapat kabar tentang kematian sepupunya. Al-Husain merasa keputusannya ini keliru dan ingin kembali ke Madinah. Namun rombongan yang pergi bersama Al-Husain meminta agar perjalanan ini diteruskan karena terbunuhnya salah seorang saudara mereka Muslim bin Aqil. Dengan keyakinan ini, Al-Husain melanjutkan perjalananya untuk menuntut kematian saudaranya.
Ubaidullah bin Ziyad mengirim Al-Hurr untuk memimpin pasukan pencegah Al-Husain ke Irak yang berjumlah seribu orang. Al-Husain sempat bersitegang dengan Al-Hurr, lalu berkata “Semoga Allah memisahkanmu dari ibumu. Apa maumu?”. Hurr menjawab, “Demi Allah, andaikata orang Arab selain engkau yang mengatakan demikian kepadaku, aku tidak akan membiarkannya tanpa membalasnya, siapa pun dia. Tapi demi Allah tiada jalan bagiku untuk menyebut ibumu kecuali dengan menyebut hal-hal sebaik mungkin.”