Mohon tunggu...
Try Santy
Try Santy Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Kecerdasan Buatan: Berkah atau Ancaman bagi Manusia?

31 Mei 2024   15:29 Diperbarui: 31 Mei 2024   15:59 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Akhir-akhir ini, muncul teknologi AI terbarukan yang mampu melakukan berbagai tugas layaknya manusia. Perangkat lunak seperti GPT-4, AlphaFold dan lain-lain, ini dapat menghasilkan konten tertulis, menerjemahkan bahasa, menjawab pertanyaan hingga membantu riset ilmiah dengan kemampuan hampir seperti manusia. Tidak hanya itu, bidang AI juga semakin populer untuk otomatisasi pekerjaan, pengenalan wajah, kendaraan otonom dan banyak aplikasi lainnya. Kaplan & Haenlein (2019: 17) mendefinisikan kecerdasan buatan (artificial intelligence/Al) sebagai "the ability of a system to interpret external data correctly, to learn from such data and to use those learnings to achieve specific goals and tasks through flexible adaptation." Al merupakan produk dari kemajuan teknologi. Meski sangat berguna bagi perusahaan dalam meningkatkan kinerjanya, Al tetap bergantung pada peran manusia. Hal ini sering dikenal sebagai human-centered AI (AI berpusat pada manusia) yang menempatkan aspirasi manusia, seperti partisipasi dan hak-hak manusia, pada pusat rancangan AI (Schneiderman, 2020).

Kemajuan pesat AI memang membuka banyak peluang baru yang menggembirakan. Sistem pintar ini dapat meningkatkan produktivitas, mengotomatisasi pekerjaan rutin, menemukan solusi untuk masalah kompleks, bahkan menggantikan kemampuan kognitif manusia di banyak bidang. Namun di sisi lain, AI juga memunculkan kekhawatiran seperti dampak disruptif terhadap lapangan kerja, penyalahgunaan data, hingga ancaman eksistensi manusia. Calp (2020) mengemukakan bahwa manusia dan Al saling melengkapi dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan suatu kondisi ketidakpastian, ketidakjelasan, dan kompleks. Manusia perlu mengembangkan cara menganalisis keputusan secara analitik melalui teknologi kognitif serta memadukan keterampilan analitiknya dengan teknologi. Mengutip Jarrahi (2018), Calp secara ringkas menggambarkan perbedaan proses manusia dan AI dalam mengambil keputusan dalam tiga kondisi ketidakpastian, kompleksitas, dan ketidakjelasan.

Menghadapi situasi ini, kemampuan berpikir kritis, logis dan penalaran menjadi sangat penting bagi manusia dalam mengambil keputusan terkait perkembangan AI. Kita perlu menilai manfaat dan risiko AI secara rasional dan objektif dengan menerapkan penalaran baik langsung maupun tidak langsung. Melalui penalaran langsung seperti oposisi, konversi, inversi dan kontraposisi, kita dapat menganalisis klaim-klaim terkait AI secara logis. Apakah janji manfaat AI benar-benar terbukti atau hanya asumsi belaka? Begitu pula dengan menilai risiko AI menggunakan pola penalaran langsung untuk memverifikasi validitasnya.

Di sisi lain, penalaran tidak langsung seperti induksi dan deduksi juga diperlukan. Misalnya melalui penalaran induktif, kita dapat mempelajari pola dampak AI di berbagai negara atau sektor untuk menyimpulkan bagaimana tren perkembangannya ke depan. Sementara penalaran deduktif membantu mengambil kesimpulan rasional terkait kebijakan apa yang sebaiknya diterapkan berdasarkan premis-premis dasar terkait AI. Lebih jauh lagi, kemampuan bernalar secara silogisme sangat membantu dalam menentukan apakah penalaran terkait AI tersebut sah atau tidak sah berdasarkan hukum-hukum logika. Kesimpulan diambil melalui tiga premis yang dirangkai secara baku, sehingga validitas nalarnya dapat dievaluasi secara gamblang.

Menurut seorang pejabat organisasi internasional, kita tidak boleh hanya terkagum-kagum atau menolak begitu saja perkembangan Kecerdasan Buatan (AI). Sebaliknya, kita perlu menerapkan logika dan berpikir kritis dalam menanggapi kemajuan teknologi AI tersebut. "Dengan pemahaman yang mendalam disertai penalaran jernih, kita dapat mengambil manfaat maksimal AI sembari memitigasi risikonya." Para pembuat kebijakan, ilmuwan, hingga masyarakat pada umumnya perlu dibekali kemampuan berpikir kritis dan bernalar secara logis. Hanya dengan cara itu, dampak positif dan negatif AI dapat diidentifikasi dengan tepat sehingga langkah antisipatif dapat dirumuskan.

Penerapan prinsip penalaran seperti silogisme dan pemikiran kritis dalam pengambilan keputusan menjadi kunci agar manusia dapat mengendalikan dan memanfaatkan AI secara optimal, bukan malah terjerat dalam jeratan risiko yang ditimbulkannya. Menghadapi dinamika perkembangan teknologi yang pesat, kemampuan berpikir logis dan rasional semacam ini menjadi semakin penting bagi manusia agar dapat menentukan sikap dengan bijak dan tepat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun