Mohon tunggu...
Try Kusumojati
Try Kusumojati Mohon Tunggu... -

selalu ingin tahu lebih

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Refleksi

23 April 2010   06:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:38 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ah siang ini sungguh panas, benar-benar panas. Rasanya ingin sekali membenamkan tubuh ini di sungai yang bening, di kaki-kaki gunung. Pasti dingin, pasti sejuk, pasti segar. Tapi dimana? Yogyakarta memang bukan tempat yang tepat untuk mencari tempat seperti itu. Saya lalu teringat kampung halaman saya, Pulau Lombok. Tak akan sulit untuk mencari lokasi-lokasi sejuk nan menyegarkan. Lombok punya banyak spot yang menyuguhkan kesegaran tiada tara. Saya rindu kampung halaman, rindu dengan alamnya yang elok. Tapi sudahlah, saya seperti manusia sombong yang tidak mempunyai rasa syukur sedikitpun. Saya baru teringat, tadi pagi rupanya saya mencuci sepatu saya. Tadi pagi saya-lah yang berdoa agar matahari bersinar terik, sehingga sepatu saya bisa segera kering. Tapi bukan berarti doa saya langsung terkabulkan, kebetulan cuaca hari ini memang cerah. Begitulah saya, terkadang terlalu sombong. Saya sering lupa kalau saya hanya manusia biasa, padahal tak ada secuilpun dari diri saya yang patut saya sombongkan. Seperti anak kecil yang masih menyusu, saya cuma bisa mengeluh, cuma bisa meminta, bahkan terkadang menyalahkan. Siang ini contohnya, saya sempat mengeluh kepanasan, namun seandainya siang ini hujan, saya mungkin akan lebih marah lagi. Karena sepatu saya, akan saya pergunakan esok pagi. Kalau sampai hujan, sepatu saya tidak akan kering. Dan gagal-lah rencana saya esok hari. Saya jadi malu sama Tuhan, sesungguhnya nikmat apa lagi yang bisa saya ingkari?

Bersyukur mungkin menjadi hal yang paling sering saya lupakan. Saya sering lupa mengucap syukur ketika terbangun di pagi hari, saya masih bernafas, kedua mata saya masih berfungsi dengan normal, telinga saya masih jelas mendengar kicauan burung gereja yang sering bermain di atap rumah. Tangan saya masih di tempatnya, hidung, badan, masih utuh semua. Kaki masih terpasang dengan rapih, tidak ada yang kurang. Bicara tentang kaki, baru seminggu yang lalu saya menemani ayah saya operasi. Kakinya bermasalah, urat tendon kaki yang sebelah kiri putus. Alhamdulillah operasinya lancar, tetapi untuk saat ini, ayah saya berjalan dengan di bantu tongkat. Lihat, saya yang masih punya kaki yang normal, terus-terusan mengeluh hanya karena udara yang panas. Padahal saya masih bisa berlari, masih bisa berjalan, masih bisa olahraga, oh nikmatnya.

Saya fikir, bersyukur bisa menjadi obat yang mujarab buat saya. Karena disaat saya bersyukur, hati saya langsung menjadi tenteram, nyaman, tenang. Bersyukur mampu meredam emosi jiwa yang terkadang hal tersebutlah yang membuat raga saya menjadi sakit. Tanpa sadar, secara tidak langsung, marah-marah dan terlalu banyak mengeluh membuat otak saya mengerdil. Saya jadi bodoh. Tetapi, disaat saya menerima segala sesuatu dengan ikhlas, jiwa saya menjadi tenang. Tentunya berimbas pada raga yang sehat. Sebuah korelasi yang tak terbantahkan. Memang sulit, sangat sulit. Manusiawi kalau manusia mengeluh, marah dan sebagainya. Tinggal bagaimana cara kita mengendalikannya.

Ah, saya masih malu dengan Tuhan. Ternyata, hidup dengan bersyukur itu memang nikmat. Sama nikmatnya dengan es klapa muda yang saya minum saat ini. Segar...
Selamat bersyukur....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun