Hari ini adalah tahun ke 25 dalam hidup saya. Tahun ke 6 dari usaha saya dalam mempelajari makna dari kehidupan. Memang, hingga saat ini, masih banyak yang masih menjadi misteri tak terpecahkan. Seperti, hendak jadi apa dan siapakah saya nanti. Saya tidak terlalu memikirkan hal itu, mungkin sebagian besar orang mengatakan itu salah. Orang-orang berusaha mati-matian bahkan melakukan berbagai macam cara, entah itu cara yang baik maupun buruk hanya untuk memastikan masa depannya akan baik-baik saja. Tidak dengan saya, saya tidak ingin terbebani dengan hal-hal yang belum pasti. Tetapi bukan berarti saya lalu tidak mempunyai impian, tidak mempunyai cita-cita. Saya punya, bahkan sangat tinggi, dan mungkin terlalu tinggi untuk orang seperti saya.
Masa kecil saya cukup menyenangkan. Saya sungguh beruntung karena terlahir dari sebuah keluarga yang sederhana. Hal tersebut yang membuat saya hingga saat ini merasa cukup dengan apa yang saya miliki sekarang. Tidak ada kedengkian atau rasa iri ketika melihat teman saya yang orang tuanya kala itu lebih berada di bandingkan orang tua saya. Saya bersyukur mempunyai perasaan seperti itu, karena akan sangat menyakitkan dan menyiksa diri apabila saya selalu dihinggapi rasa iri dan dengki. "Jangan lihat ke atas, lihatlah kebawah..." salah satu pesan dari kedua orang tua saya yang terekam dengan baik di kepala saya. Saya hanya mempunyai sepeda motor saja, Alhamdulillah, karena masih banyak orang-orang yang hanya memiliki sepeda biasa. Tidak munafik, saya tentunya juga ingin mempunyai sebuah mobil, tapi nanti saja, untuk saat ini, sepeda motor sudah cukup menemani keseharian saya.
-
Masa remaja saya tidak jauh berbeda dengan yang lain. Kenakalan-kenakalan yang wajar, membantah orang tua, melawan guru, bolos sekolah dan sebagainya. Sebuah fase yang sadar atau tidak, telah membantu saya dalam proses menjadi manusia yang lebih baik. Lagi-lagi saya katakan bahwa saya termasuk salah satu dari sekian banyak remaja yang beruntung. Beruntung karena mampu menikmati masa-masa indah menjadi pelajar sekolahan. Menjadi siswa SMA yang tidak terlalu terbebani dengan nilai kelulusan yang menjadi momok menakutkan bagi adik-adik pelajar saat ini. Mereka tentu tidak bisa lagi bermain-main dengan semaunya seperti jaman saya sekolah dulu. Kasian mereka, seharusnya mereka juga bisa menikmati masa-masa remaja yang indah, dimana kita selalu merasa paling hebat, paling benar dan tidak ada satupun yang harus ditakutkan. Tetapi sudahlah, bukan salah mereka karena lahir terlambat. Semua itu menunjukkan bahwa jaman telah jauh berubah.
Pada pertengahan tahun 2004, saya berangkat ke Yogyakarta. Oh iya, saya berasal dari kota Mataram, Pulau Lombok, NTB. Daerah bagian timur Indonesia. Ayah saya berasal dari Nganjuk, Jawa Timur. Dan Ibu saya merupakan keturunan Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lalu mengapa keluarga saya menetap diLombok? Eyang kakung saya (ayah dari ayah saya) adalah seorang tentara, seorang pejuang. Dan NTB adalah daerah tempat beliau terakhir ditugaskan. Sedangkan Kaek (baca : kakek) saya adalah seorang saudagar, pelancong dari Banjarmasin dan tempat singgah terakhirnya adalah di Pulau Lombok.
-
Tahun 2004 merupakan sebuah langkah awal saya dalam pendewasaan diri dan pembelajaran tentang hidup. Tahun 2004 saya menginjakkan kaki saya di Yogyakarta, yang katanya merupakan kota pelajar, kota budaya, Indonesia mini. Dari jaman sekolah dulu, saya memang selalu ingin pergi ke Jogja. Kakak saya memang telah lebih dulu mengecam pendidikan di Jogja, tetapi sesungguhnya bukan itulah alasan saya memilih Jogja untuk melanjutkan study. Pada masa sekolah, setiap libur panjang, saya selalu berlibur ke Jogja. Saya jadi seperti mempunyai ikatan tersendiri dengan daerah ini. Saya menyukai suasananya, orang-orang di dalamnya dan keberagaman budayanya. Menurut saya, Jogja adalah daerah di Indonesia yang paling indah, sesuai dengan namanya, tempat ini memang istimewa. Yogjakarta merupakan rumah kedua buat saya. Pada awal hidup di Jogja, saya baru merasakan, bagaimana hebatnya orang tua kita. Bagaimana mereka berjuang untuk kita. Saya sering menangis, karena segala sesuatunya harus kita usahakan sendiri. Sedangkan orang tua dan keluarga berada ditempat yang jauh. Tetapi, hal-hal seperti itulah yang akhirnya membuat saya menjadi kuat.
-
Saya sempat kuliah, tapi hanya dua tahun, tidak sampai selesai. lalu saya kuliah lagi, dan sepertinya masih sama. Saya adalah seorang "pemberontak", bukan seorang yang hanya menerima. Saya sedikit tidak mengerti dengan sistem pendidikan negeri ini, atau memang saya yang membantahnya. Saya pernah mendapatkan nilai E, hanya karena saya mengajak debat seorang dosen ilmu politik yang kala itu membela seorang tokoh. Dosen itu marah dan tidak menyukai saya, nama saya tidak pernah disebut ketika ia mengabsen mahasiswa. Saya gerah, dan saya berhenti. Saya tidak ingin menjadi seorang "sarjana ijazah", orang yang kuliah hanya karena ingin mendapatkan ijazah. Saya bukan tipe mahasiswa yang memberikan dosen "hadiah" untuk mendapatkan nilai yang bagus. Seperti seorang teman yang saat ini sedang mengerjakan skripsi. Ia berkata pada saya, bahwa ia sungguh takut menghadapi ujian skripsi kelak. "Kalau saja ketiga dosen penguji nanti mau saya bayar 1 juta tiap orang, maka saya akan membayarnya biar saya dilulusin.." begitu katanya. Skripsi yang ia buat memang dibantu oleh seseorang. Dia membutuhkan ijazah sarjana karena sudah ada tawaran masuk kerja di departemen keuangan dengan membayar 120 juta. Orang tuanya memang berduit. Tentu, tidak semua seperti itu, tapi banyak yang seperti itu. Di Jogja, saya beberapa kali kerja freelance. Kebanyakan menjadi sales. Saya memang lebih senang di dunia marketing, karena dapat berinteraksi dengan orang banyak. Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik. Saat ini, saya sedang berencana untuk membangun sebuah usaha, ber-swasembada.
-
25 tahun sudah hidup saya, lagi-lagi saya bisa katakan kalau saya sangat beruntung. Beruntung bisa menyaksikan pristiwa-pristiwa penting di negeri ini. Beruntung bisa hidup dibawah pemerintahan 5 orang Presiden. Beruntung bisa melihat dan mengalami reformasi, pemilu secara langsung dan sebagainya. Yang paling menyenangkan, saya bisa menemukan wadah untuk berbagi dan membaca tulisan-tulisan hebat dari orang-orang yang hebat. Terima kasih kompasiana telah menjadi bagian dari 25 tahun hidup saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H