[caption caption="Lilin natal menerangi Stadion Gelora Bung Karno"][/caption]
Tak bermaksud mengkritik, tapi ya gitu deh... tulisan yang tak berarti ini jatuh-jatuhnya seperti sebuah kritikan. Padahal maksud sebenarnya bukan untuk kritik, hanya sebagai bahan refleksi untuk kita bersama. Siapakah aku sehingga aku layak mengkritik orang-orang beriman, ya kan?
Satu acara wajib pada perayaan Natal adalah sesi menyalakan lilin. Penyalaan lilin merupakan sebuah aksi simbolis dari doa tanpa kata, sebuah permohonan, harapan dan ungkapan rasa syukur atas kedatangan Tuhan Yesus ke dunia.
Penyalaan lilin oleh Pendeta kepada Penatua, diikuti penyebaran cahayanya kepada Umat merupakan sebuah simbol tindakan seorang pengikut Kristus. Para pengikut Kristus harus menjadi terang bagi dunia dengan ikut menyalakan cahaya kecil dalam dirinya seperti lilin kecil. Walau cahaya yang kita pancarkan hanya sedikit, namun ketika cahaya kecil itu disebarkan, maka seluruh dunia bisa kita terangi.
Acara penyalaan lilin bukanlah sebuah rutinitas ritual dari masa Adven, Natal dan perayaan gerejawi lainnya, tetapi untuk mendukung tindakan simbolis iman ketika merayakan peristiwa iman dalam perayaan gerejawi. Harapannya aksi simbolis ini kemudian menjadi aksi nyata Umat Kristiani.
Tren dewasa ini adalah memotret setiap momen penting, memotret momen yang agak penting dan momen yang sebetulnya tidak penting tapi dibuat seolah-olah penting. Bahasa sederhananya berfoto setiap saat, narsis setiap saat.
Okelah kita bisa narsis sesuka hati, bukan urusan saya. Tidak ada yang melarang anda untuk berfoto hore ria, selama tingkah narsis eksis uhuyyy anda tak menganggu ketenangan orang lain. Namun dengan berat hati harus saya ungkapkan, aksi jeprat-jepret yang anda lakukan sudah kelewat batas. Ini acara kebaktian loh.. Acara yang seharusnya hening berubah menjadi acara jumpa pers, kilatan flash silih berganti, cekrat cekret suara kamera..
Sekedar menyalakan ponsel saat sesi ibadah sedang berlangsung saja sebetulnya sudah menyalahi aturan. Apalagi jika ada jemaat yang tiba-tiba menjadi fotografer ulung yang sibuk mencari angle cantik, loncat kesana kemari, kasak-kusuk seperti cacing kepanasan. Bukankah ini pemandangan yang tak sedap?
Saat kita menyalakan ponsel diacara penyalaan lilin, kita sudah merusak makna simbolis dari sesi penyalaan lilin. Kenapa? karena cahaya dari smartphone kita jauh lebih terang dari lilin yang kita nyalakan. Betapa tidak lebih terang? layar ponsel jaman sekarang sudah selebar sayap pesawat.
Tujuan kita mengikuti acara natal apa sih? untuk kebaktian atau hanya sekedar berfoto hore ria?. Saya tidak menyalahkan tingkah laku narsis, karena sebetulnya saya juga termasuk orang yang narsis dan suka mengupload foto-foto ke sosial media. Saya hanya ingin memberi sedikit pengetahuan mengenai esensi penyalaan lilin yang dewasa ini sedang mengalami degradasi makna.
Saya juga orang yang up-to-date kok, saya senang berfoto hore ria tralala trilili di bawah pohon natal. Tapi khusus untuk penyalaan lilin, saya tak mau berkompromi. Apalagi sesi penyalaan lilin itu termasuk dalam sesi acara kebaktian resmi. Jadi tolong keganasan narsismenya dijinakkan saat kebaktian resmi masih berlangsung.