Mungkin isu ini sudah lama terbenam oleh kasus Natal dan lainnya. Tapi masih saja ada rentetan masalah BBM yang jadi tradisi yang sulit diubah.
Untuk orang yang lebih menggunakan perasaan dalam menilai, mohon jangan tersinggung atas tulisan saya. Karena saya tidak heartless dan tulisan ini bukan untuk menyerang orang kecil tapi orang berduit yang mengeksploitasinya.
Anda bisa lihat, terutama dari yang kontra kenaikan BBm, apalagi media mereka, tiba2 jadi seperti lomba penulis telenovela, tentang kesaksian 'korban' kenaikan BBM itu sendiri. Tentu saja, berita ini jadi sarana mereka untuk menyerang Jokowi dan kabinetnya, meskipun sebenarnya saya pribadi, sudah bukan pendukung Jokowi kembali, tapi saya sampai sekarang masih menanggap menaikkan BBm adalah langkah yang tepat.
Mungkin karena saya dasarnya kurang emphatical, saya menyadari argumen telenovela ini secara tidak sadar membuat kita sulit melihat kita lupa melihat sisi lain dari kesaksian wong cilik ini.
Pertama argumen ini adalah appeal to feelings, yang membuat kita membenarkan sesuatu atas perasaan. Perasaan kasih memang benar dan baik, tetapi terkadang kesimpulan yang kita tarik adalah salah. Misalnya, soal operasi atau bedah.. Saya sebagai anak, tidak mungkin tega melihat mama saya dibuka perutnya,(saya dan adik saya cesar). Tapi ya tidak mungkin kalau saya suruh mama tidak melahirkan. Begitu juga dengan operasi, untuk sembuh kadang harus dijahit, dibuka badannya untuk perawatan, tapi kalau mau sembuh, ya harus operasi. Begitu logikanya. Sama dengan kenaikkan BBm, sakit itu perlu supaya negara ini bisa sembuh.
Kedua, adanya aspek positif, misalnya orang yang miskin menjadi cukup karena efek ini, hampir tidak pernah ditelenovelakan. Kenyataannya, selama kenaikan BBM ini, dapat dilihat kalau orang miskin berkurang, kecuali kalau tidak salah saat SBY saja bertambah tingkat kemiskinannya. Cerita seperti ini TIDAK PERNAH disampaikan sekali pun, meskipun secara common sense, pasti ada yang mengalami ini. Â Contohnya anak pedalaman, karena sebagian alokasi untuk pembangunan desa, maka orang tidak perlu lagi bahaya saat sekolah melintas sungai. Ada tidak yang pernah empatikal pada anak2 ini? Ironisnya, yang membuat telenovela anak2 yang prihatin pada kondisi pedalaman, kemungkinan juga yang membuat telenovela korban kenaikan BBM juga.
Ketiga, ironisnya telenovela ini mengatakan bahwa orang susah karena ulah yang membela wong cilik sendiri, misalnya kenaikan tarif, bahan pokok, intinya adalah untuk membela wong cilik sendiri, supaya poverty tidak meningkat.
Untuk mereka yang kontra kenaikan BBM, mohon gunakan data dan fakta rasional, bukan cerita telenovela, apalagi mengekploitasi kesusahan orang untuk menyerang dan merasa diri self righteous.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H