Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan teman saya di Facebook tentang pemberlakuan hari raya umat minoritas di USA. Dalam diskusi, saya teringat akan pemikiran saya atas tulisan ini yang belum sempat di publish sebagai refutasi atas argumen teman saya yang menganggap umat mayoritas melakukan toleransi saat menghormati Natal, Waisak, Good Friday, Nyepi, dan Imlek.
Sebelumnya, saya akan mengarahkan anda ke definisi toleransi yang berlaku di kalangan umum. Toleransi bisa dalam arti negatif, dengan 'membiarkan orang lain melakukan hal yang buruk atau berbeda dengan dia', kata-kata ini, bisa dilihat dalam konteks 'Toleransi keterlambatan', 'Toleransi Hukuman', dan lainnya. Di lain pihak, dapat juga berarti kesediaan kelompok orang menghargai paham dengan menempatkannya dalam konteks sosial (hal tersebut tidak dianggap negatif).
Untuk pembahasan artikel ini, pemahaman akan sejarah berdirinya negara modern yang bernama 'Indonesia' diperlukan. Kalau anda tertarik bagaimana dasar pembentukan negara ini, boleh dibaca tulisan saya yang sebelumnya tentang Imperialisme. Negara modern Indonesia adalah BEKAS JAJAHAN HINDIA BELANDA DAN JEPANG. Sebelum adanya Proklamasi Kemerdekaan, tidak ada negara yang bernama INDONESIA. Sebelumnya, Indonesia adalah kumpulan pulau yang masing-masing memiliki sovereign states sendiri.
Contohnya, pada masa hindu buddha, terdapat kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan lainnya. Kerajaan ini, bersifat imperialistik dan suka berebut pengaruh. Hal ini ditulis dalam kitab kerajaan Majapahit yang perluasannya hingga ke Sumatera. Setelah Islam muncul, demografi Indonesia berubah total, Indonesia menjadi kesultanan dengan wilayah masing-masing. Sehingga, kalau saja Belanda tidak muncul, kemungkinan Indonesia terbagi-bagi menjadi negara Barus, negara Maluku, negara Papua, negara Jawa, dan lainnya, kecuali mereka bersatu membentuk negara ini.
Kembali ke pokok masalah, mengapa saya tidak menanggap umat Mayoritas melakukan 'toleransi' dengan memberikan kita hari libur dan mengakui agama minoritas? Masalah terletak pada setelah Jepang jatuh dan Kemerdekaan dideklarasikan secara sepihak oleh Soekarno dan PPKI. PPKI memiliki struktur yang heterogen, founding fathers kita multietnik dan multireligia. Secara tidak langsung, Religia mewakili identitas suatu etnik. Hal ini di-share juga oleh Malaysia, dimana hukum Malaysia menghendaki etnis Melayu (etnis asli Malaysia) haruslah beragama Islam. Jadi dari poin ini, kita mengetahui, Agama adalah IDENTITAS ETNIS PENDUDUK INDONESIA. Jadi, suku di Bali memiliki Identitas HINDU, Minahasa, Batak, Toraja, dan Papua memiliki identitas KRISTIANI.
Permasalahan kedua adalah demografi negara kita. Demografi kita, meskipun sudah heterogen, cukup banyak daerah signifikan secara luas yang memiliki mayoritas agama minoritas, contohnya adalah Bali, NTT, Sulawesi Utara, dan Papua. Tentu saja, dalam daerah ini memiliki ras yang n0tabene homogen (sebelum program transmigrasi besar-besaran Soeharto dilakukan). Secara logis, tidak menghormati penduduk lokal daerah ini dengan mengabaikan kepercayaan mereka, jika yang nuraninya masih bekerja adalah BODOH.
Permasalahan ketiga yang berkaitan dengan alasan kedua, adalah BENTUK NEGARA. Bentuk negara kita adalah KESATUAN. Jika negara kita federal, tentu tidak perlu mayoritas 'menoleransi' minoritas, karena setiap negara bagian dapat memiliki hukum negara bagiannya masing-masing. Negara kesatuan idealnya memiliki hukum yang sama semua daerah di negaranya (kecuali daerah khusus seperti Aceh dan Yogyakarta). Aceh pun masih menganut hari raya semua umat beragama, karena memang otonomi memiliki limited rights juga. Penghormatan pada etnis/umat beragama minoritas adalah hukum yang WAJIB secara norma sosial dan etika jika memang ingin membuat negara yang bersifat kesatuan. Jika negara federal, seperti Malaysia, setiap negara bagian dapat membuat hari rayanya masing-masing.
Tentu saja, jika mereka tidak mau menghormati, say good bye ke daerah seperti Sulawesi Utara, NTT, Bali, dan Papua. Hal ini juga pernah menjadi masalah saat kaum agama menuntut Indonesia berbasis sharia pada penyusunan awal, A.A Maramis dan golongan nonmayoritas pernah menggertak akan memisahkan diri dari Indonesia. Beberapa fundies mengatakan ini 'Tirani Minoritas', yang disayangkan, mereka tidak memiliki kekuasaan saat itu, jadi 'tirani' bukanlah kata yang cocok. Yang melakukan tirani adalah sebenarnya orang yang memaksa daerah signifikan suku Minahasa, NTT, Bali, dan Papua yang dimana sudah terkandung identitas agama mereka pada etnis mereka mematuhi aturan agama mayoritas yang 'vague' dan tidak dikenal oleh mereka. Anggaplah, suku Amish dipaksa mencukur jenggotnya, dalam hukum USA, ini adalah 'hate crime' yang bisa berujung penjara. Intinya kaum seperti ini justru berlaku mirip penjajah yang mereka maki2 setiap hari.
Bayangkan ada orang MEMINTA anda masuk ke dalam kelompok kerjanya, tapi anda harus bekerja semua kerjaannya, dia tidak menghormati anda, dan yang mengajak ini berkata : "Ah sudah bagus lu gua masukkan ke kelompok'. Pemikiran seperti ini adalah tipikal arogan, selfish, atau kalau orang ini ignorant pada keburukan perbuatannya, dapat dikategorikan INSANE. Untungnya, Soekarno dan golongan agama founding fathers masih memiliki rasa malu yang tinggi, sehingga menurut saya mereka sudah mengerti ini adalah risiko dan wajib mereka lakukan.
Jadi dengan demikian, penghormatan pada hari raya beragama pada minoritas adalah KEWAJIBAN dan RISIKO umat mayoritas jika ingin membuat negara kesatuan, terutama pada hari raya penting umat minoritas tersebut, misalnya : Natal, Paskah, Waisak, Nyepi. Terutama, jika etnis yang memeluk agama tersebut signifikan seperti Indonesia.
Kesimpulan :