Mendengar revisi UU Terorisme, saya mendengar HAM lagi menjadi masalah dari revisi UU ini. Meskipun saya bukan orang hukum, saya sering melihat HAM menjadi alasan yang berujung pada banyak sesat pikir (logical fallacy). Mengingat Indonesia masih negara yang berkembang dan adat yang digunakan penuh dengan sikap Hitam-Putih pada penerapan moral, argumen HAM dalam menyusun RUU/UU terorisme dapat berpotensi menjadi bumerang bagi penegakan HAM tersebut.Â
Konsep HAM dalam hukum adalah bukan sesuatu yang saya mengerti, jadi mohon orang hukum dapat menjabarkan hal ini lebih luas, tapi saya tahu dalam hukum ada hirarki moral. Ini bisa dijabarkan dengan contoh sbb :
"Membunuh itu dosa kecuali kalau kamu diserang tiba-tiba dan melakukannya tanpa tahu dan orang itu memang berniat membunuhmu" Dalam hal ini, membunuh tidaklah dosa atau melanggar hukum karena bela diri dan berpotensi menyelamatkan orang lain juga.
"Berbohong itu dosa dan salah, kecuali kepada tentara NAZI yang menanyakan apa ada orang Yahudi di gudang rumahmu."
Dalam hal ini, berbohong bukanlah salah paling tidak secara hukum, karena nyawa tentu lebih berharga dari kejujuran naif ke orang jahat.
Terkadang HAM yang dimaksud oleh kalangan yang 'radikal' menjabarkan HAM ini jika dipikirkan, malah membuat mereka secara tidak langsung melanggar 'HAM' itu sendiri, dengan membahayakan orang banyak. Berikut adalah argumen yang menjadi sesat pikir pencanang HAM yang sering dilakukan orang2 awam di Indonesia :
Â
Kesesatan pikir yang mungkin dirasakan orang dalam pencegahan terorisme mayoritas adalah adalah Appeal to Emotion atau argumentasi berdasarkan emosi. Hal ini sama dengan contoh seperti berikut ;
"Aduh kasihan ya, bebek itu dibunuh kejam saat diambil dagingnya, maka saya tidak setuju orang menjual daging bebek"
"Aduh anjing itu lucu ya, maka saya nggak setuju daging anjing boleh dimakan/anjing tidak boleh dibunuh"
Argumentasi ini tidak hanya sesat pikir fatal, karena lebih berempati pada hal yang tidak membutuhkan itu dibandingkan memang orang yang butuh empati tersebut seperti korban bom dan penembakan. Tentu kalau ada orang yang membunuh orang banyak, kita harusnya lebih bisa berempati ke banyak orang yang memang pantas mendapatkan empati anda, anak-anak, ibu, saudara, ayah, dan lainnya adalah potensi korban tindak kejahatan terorisme ketimbang beberapa orang sosiopatik yang terbenam dalam delusi ideologi mereka.