Mohon tunggu...
Yoshua Reynaldo
Yoshua Reynaldo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang : Kristen, Filsuf Stoa amatir, penikmat sejarah era tengah dan modern, dan manusia yang terbiasa menganalisis dan kritis pada banyak hal.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengikis Ideologi Fundamentalisme: Peran Sosial Masyarakat

4 Agustus 2016   13:54 Diperbarui: 4 Agustus 2016   14:13 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini adalah tambahan penjelasan dan tanggapan positif dari Artikel oleh Asep Bachtiar.

FPI dam organisasi se-spesiesnya mungkin salah satu thorn in the side dari kehidupan Demokrasi Modern. Saya setuju dalam hal ini, FPI tidak dapat 'dibubarkan' secara resmi, mengingat negara kita menjamin kebebasan berpendapat, dan tentu saja -- FPI dan fundies lainnya adalah bukan pengecualian. Seperti yang sudah saya jelaskan di sini, kelompok Fundies bukanlah orang yang pintar dan cerdas dalam mempertahankan idiologinya, sehingga mereka cenderung terkonsentrasi dalam Ghetto, yang merupakan society sosial yang homogen. Tidak heran mereka melakukan aksi sweeping pun hanya bisa di daerah 'kekuasaan' mereka, e.g. mereka tidak berani di daerah pusat metropolis modern, karena no one gives a shit tentang urusan mereka, begitu juga tidak mungkin mereka menggerebek tempat minum di Mall misalnya, sekalipun itu daerah mereka.

Tidak hanya itu saja, dalam daerah di mana komposisi penduduk lokalnya adalah 40-60% nonmuslim, yang pastinya bersifat heterogen, seperti di Kelapa Gading, tidak ada satupun orang yang berani berbuat aneh-aneh di sekitar sini, seperti membubarkan kebaktian, membubarkan persekutuan rumah agama Kristiani seperti track record mereka. Tidak hanya masalah jumlah yang lebih banyak, tetapi orang-orang muslim yang terbiasa hidup secara heterogen dan berbaur pun menganggap hal ini adalah faux pas yang besar. Aksi yang pernah mereka lakukan pun, hanya satu di Kelapa Gading selama beberapa dekade ini, dan itu hanya membangun posko penampungan korban kebakaran di dekat MAG, yang kebetulan juga adalah daerah Ghetto, yang menurut kabar angin adalah orang pendatang (bukan asli Jakarta atau Jawa).

Dengan alasan-alasan di atas, saya berkesimpulan bahwa FPI dkk. adalah tipe orang yang memanfaatkan kolektivitas masyarakat untuk menanam ideologi mereka. Asosiasi mereka dengan forum-forum masyarakat yang cenderung kolektif seperti FBR menguatkan hal ini, dan cara berfikir simpatisan mereka yang menolak demokrasi tentang ekualnya suara 'pelacur' dan 'pemuka agama', yang merujuk pada karakteristik honor-shame society dimana ada kasta sosial informal dalam masyarakat. Sistem yang mirip di daerah India juga pernah dilakukan, tapi tentu saja, tidak separah sistem di India. Dalam kasta sosial ini, reputasi seseorang sebagai pemimpin (entah itu suku atau agama atau sesepuh) memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan seorang awam/orang yang dikucilkan.

Kuncinya adalah pada kolektivitas masyarakat ini. Kolektivitas masyarakat memiliki kecenderungan menolak sesuatu yang asing, hal ini tidak masalah selama orang yang melakukannya berotak dan berpendidikan seperti orang Jepang dan Arab yang maju seperti Qatar atau Mesir, tetapi orang-orang yang terjebak dalam fundamentalisme sepertinya rata-rata kurang berpendidikan atau yang berpendidikan pun, memiliki pandangan yang terlalu hitam-putih, yang keduanya menjelaskan kekakuan dan kemalasan berfikir. Dalam hal ini, kolektivitas yang men-solidkan masyarakat menjadi senjata makan tuan jika diinfiltrasi virus fundamentalisme. Jadinya adalah satu RT penuh Moronicus Mk1 semua. Dan akibatnya apa? Jadilah orang goblok yang nama pencetus teori evolusi saja bisa keliru jadi 'Thomas Darwin' dan masih menanggap Amerika dan Eropa adalah pasukan 'Salibis' yang jelas ketinggalan jaman sekitar 400 tahun. Dimana yang paling lucu juga, saya pernah bertemu orang yang menyebut Amerika 'sekuler' dan 'salibis' dalam bersamaan. 

Jadi apakah solusinya menghilangkan kolektivitas masyarakat? Itu salah satu solusi, tetapi memiliki risk yang lebih tinggi, di mana kasus yang mirip seperti 'awkarin' yang sempat populer bakal terjadi. Hal ini terjadi karena dalam struktur individualis (yang kontra dengan kolektif), kekang sosial yang berfungsi memelihara moral dan kebenaran akan kehilangan pengaruhnya. Hal ini bisa mendukung beberapa individu yang mencari jati diri (terutama remaja) untuk terlibat fundamentalisme. Tidak heran, dalam beberapa kasus, teroris yang tertangkap oleh Densus 88 bersifat tertutup dalam masyarakat, karena teroris pun masih makhluk sosial, dan paham radikalnya akan menjadi Faux pas di dalam masyarakat. Oleh dari itu, maka propaganda positif pun perlu dikumandangkan, tentang cara beragama yang konservatif tetapi moderat secara sosial dan masih menggunakan pikiran dan bertoleransi, menghilangkan sistem honor sesuai dengan Pancasila yang menimbulkan kasta sosial informal yang kurang baik bagi kehidupan masyarakat yang terbuka.

Sayangnya, solusi di atas adalah hal yang lebih efektif, tapi dalam jangka pendek, saya rasa perlu memutasikan masyarkat Indonesia dengan individualisme, karena hal itu adalah pendorong yang paling efektif untuk pikiran yang plural dan terbuka. Mungkin Jepang adalah salah satu yang menggunakan solusi ini,  id mana secara individual, mereka adalah orang yang terbuka, tetapi masih menggunakan ikatan sosial yang kuat sebagai dasar kontrol sosial mereka. Halmodern seperti game, anime, dan lainnya sepertinya dapat membuat semacam 'void' dalam pemikiran hitam-putih masyarakat kita. Modernitas, Globalisasi, layaknya dijadikan dan dimanfaatkan sebagai pedang untuk menggerus konsep fundamentalisme yang harmful di tengah pembangunan yang mulai memberikan oportunitas pada rakyat kecil. Tapi idealnya setiap RT/RW tetap membangun kolektivitas yang plural agar tetap teguh berakar dalam masyarakat.

Cara mudah menghancurkan ideologi Fundamentalisme adalah mematikan akar yang mendasari orang berfikir seperti Fundie. Seandainya organisasi seperti FPI dan kawan-kawannya dibubarkannya pun (meskipun cukup solutif, karena menghancurkan batang-batang yang menghambat pertumbuhan ideologi itu), yang efektif adalah tidak memberikannya lingkungan yang tepat, yang akan membuatnya mati atau berkurang seiring dengan berjalannya generasi kita, itulah cara mengikis yang paling efektif : menggunakan senjata mereka sendiri, kolektivitas sebagai senjata dengan mengucilkan mereka dan memaksa mereka melakukan faux pas dengan tindakan mereka.

Daftar Istilah :

- Faux Pas : Diambil dari kata Faux (Salah/Bohong) dan Pas (Langkah) yang berarti Langkah yang salah, merujuk pada kesalahan etika dalam bermasyarakat. (e.g. menawarkan/meminum Bir di Turki, memberikan bunga yang disimbolkan duka di kultur tertentu kepada orang dalam rangka berbahagia).

- Ghetto : Istilah yang merujuk pada sebuah wilayah padat homogen dalam suatu daerah, yang dapat sengaja/tidak sengaja dibuat. Digunakan saat era PD II sebagai tempat yang dibuat Nazi pada Yahudi.

Salam.

Neo (4/8/2016, 13:44 PM)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun