Tahun 1995 bangsa Indonesia baru saja merayakan hari jadi yang ke-50 dan dikenal sebagai Indonesia Emas. Namun tiga tahun setelah itu, bangsa ini dilanda krisis moneter yang berlanjut kepada krisis multidimensi. Dan di tahun 2014 ini kondisi perekonomian boleh dikatakan mulai pulih walau belum sempurna karena tanggungan hutang luar negeri pun seolah tak kunjung selesai.
Sebelum era reformasi sumber energi migas (energi fosil) menjadi andalan pemerintah di dalam melunasi hutang luar negeri dan merupakan sumbangan terbesar di APBN. Tapi kini keadaan sudah berubah, sumber energi fosil bukanlah primadona yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah hutang luar negeri Indonesia. Dan bukanlah hal yang aneh jika saat ini sektor pajak mulai digenjot untuk mengatasi masalah tersebut.
Di dalam artikel ini penulis tertarik kepada masalah sumber energi fosil yang sudah semakin langka. Dapat kita lihat tabel produksi minyak bumi yang semakin menurun untuk periode 2004 s/d 2012 di bawah ini.
Maka tak mengherankan jika sekarang kampanye hemat energi pun mulai digembor-gemborkan di mana-mana. Mengingat salah satu ciri dari masyarakat modern adalah soal penggunaan energi yang semakin berlipat ganda. Bahkan jika digambarkan dalam suatu grafik pun menunjukkan hubungan yang sudah tidak linier, tetapi eksponensial. Pertanyaannya sekarang adalah adakah sumber energi alternatif yang mampu menggantikan posisi sumber energi fosil ? Beberapa pakar di bidang energi pun mulai berfikir tentang hal ini. Ada upaya yang mulai mengarah kepada pemanfaatan sumber energi baru terbarukan atau dikenal sebagai renewable energy. Namun perkembangan penggunaan renewable energy saat ini belum begitu menggembirakan, walau dari tahun ke tahun untuk periode 2005 s/d 2010 menunjukkan adanya peningkatan. Mari kita lihat data statistik perkembangan energi baru terbarukan di Indonesia saat ini.
Sumber energi fosil selain minyak bumi, yaitu gas bumi juga hampir mirip jumlah produksinya cenderung menurun, walau untuk produksi batu bara dari tahun 2004 s/d 2011 masih menunjukkan peningkatan dalam hal jumlah produksi per tahunnya.
Akankah sumber energi baru terbarukan menjadi primadona setelah tahun 2020 ? Suatu konsep kebijakan penggunaan energi yang dikenal dengan Energy Mix memang perlu kita terapkan. Jadi ketergantungan akan sumber energi fosil dapat kita hindari. Seperti apa yang digagas oleh Pak Dahlan Iskan dengan inovasi mobil listrik, penggunaan mobil dengan bahan bakar minyak pun dapat ditekan jumlahnya. Sehingga penghematan BBM masih dapat diperpanjang sampai ke anak cucu kita. Atau kampanye penggunaan mobil dengan bahan bakar nabati (bio diesel) perlu didorong agar pertumbuhan pemanfaatan energi baru terbarukan semakin menggembirakan.
Pasokan batubara dan gas memang masih ideal untuk mensuplai pembangkit-pembangkit listrik di Indonesia yang termasuk ke dalam pembangkit thermal (PLTU, PLTG, dan PLTGU). Di tahun 2009 pun PLT Biomassa mununjukkan peningkatan yang cukup berarti dilihat dari kapasitas yang dibangkitkan yaitu sekitar 1.628 MW. Sedangkan PLTS di tahun 2009 kapasitas yang bisa dibangkitkan hanya sekitar 13,5 MW. Suatu jumlah yang sangat kecil mengingat negara kitaberada di daerah khatulistiwa tetapi penggunaan energi matahari sebagai pembangkit listrik belum begitu menggembirakan. Pemanfaatan energi matahari sebagai PLTS oleh BPPT memang sudah dirancang dan banyak diterapkan di pulau-pulau kecil yang terletak jauh dari jaringan listrik milik PT. PLN (Persero).
Kesimpulan akhir dari tulisan ini adalah BBN (Bahan Bakar Nabati) ideal untuk kebutuhan energi di bidang transportasi, sedang gas dan batubara masih ideal sebagai bahan bakar untuk memproduksi listrik dari jenis pembangkit thermal. Semoga kampanye penggunaan energi baru terbarukan akan semakin populer dan sumber energi fosil yang semakin langka bukanlah suatu ancaman bagi krisis energi di negara kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H