Mohon tunggu...
Agung Budi Santoso
Agung Budi Santoso Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan teknik dan penulis lepas tinggal di Kabupaten Kendal, Jawa Tengah

Engineering consultant, content creator, and traveler.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membiasakan Kegiatan Tulis Menulis

10 April 2014   00:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terus terang saya masih begitu canggung di dalam kegiatan tulis menulis. Dan boleh dibilang amatir atau pemula. Namun segala sesuatu pastilah pada awalnya dimulai dari "nol". Dan sebenarnya sejak kita belajar di tingkat SD pun sudah diajari untuk menulis. Dari yang awalnya didikte dalam menulis, hingga belajar menulis lewat karangan bebas di dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Setelah lulus perguruan tinggi pun nampaknya kita tetep dituntut untuk bisa menulis. Terbukti sebagai syarat kelulusan kita harus membuat skripsi atau tugas akhir.

Lalu mengapa kita masih bingung jika kita diminta untuk menulis ? Itu tak lain dan tak bukan karena kita belum membiasakan dalam urusan kegiatan tulis menulis. Seperti contoh kasus, membuat surat lamaran kerja, curiculum vitae, surat ijin tidak masuk kerja, membuat proposal kegiatan, membuat perjanjian sewa rumah, dan lain-lain. Dan semua itu kadang kita masih bingung. Malah kalau gak ingin repot, sekarang cenderung searching di Google untuk mencari contoh sebagai bahan panduan di dalam melakukan kegiatan tulis menulis tadi.

Kalau mau menulis artikel bagi seorang pemula memang ada dua teknik, yaitu free writing dan re-writing. Cara pertama adalah menulis secara bebas. Pokoknya apa yang ada di pikiran kita ya ditulis saja sampai akhirnya mentok tidak ada ide lagi di dalam menulis. Sedang cara kedua adalah re-writing. Cara ini adalah termasuk cara yang mudah karena kita hanya mengumpulkan beberapa referensi, untuk selanjutnya kita ramu sendiri menjadi tulisan baru walau secara substansi mungkin ada kesamaan tema atau topik. Tapi yang jelas kita tidak asal copas di dalam menulis.

Nah, kalau menulis cerpen atau novel menerapkan teknik free writing kadang kita dapat menemui yang namanya writer block alias kebuntuan ide. Penulis pernah mencoba menulis cerpen dan akhirnya menemui yang namanya writer block. Kalau sebelumnya kita sudah punya kerangka acuan di dalam menulis cerpen mungkin kita tidak menemukan kebuntuan ide. Karena secara garis besar kita sudah merencanakan bagai mana cerpen itu diawali dan kapan diakhiri.

Dan kalau toh di dalam menulis cerpen butuh waktu yang lama (sekitar dua hari atau lebih). Kita tetap tidak ketinggalan ide cerita, karena secara garis besar cerpen sudah kita rumuskan terlebih dahulu. Apalagi jika kita memakai metode GMC alias Goal, Motivation, and Conflict. Atau kita perlu membuat suatu lembar kerja yang secara garis besar sudah menentukan siapa tokoh utama, siapa tokoh antagonist, setting cerita, menentukan point of view, permasalahan yang dihadapi tokoh utama, hambatan yang dihadapi tokoh utama, penentuan klimak cerita, dan penyelesaian cerita (sad ending atau happy ending).

Nah, kalau menulis artikel opini atau reportase penulis merasa akan menjadi hambar jika tulisan kita tidak dilengkapi oleh data dan fakta yang lengkap. Malah nanti terkesan akan subyektif sekali. Namun yang namanya opini kan pendapat pribadi dari penulis artikel. Ya, sebaiknya kita beropini dengan data dan fakta yang pernah kita lihat, atau pernah kita baca, atau kita rasakan sehingga nanti opini kita tidak terkesan ngawur. Seperti contoh kita akan beropini tentang fried chicken, kalau kita belum pernah merasakan dan membedakan fried chicken yang crispy dan yang original tentu nanti kita akan diketawain orang. Wong belum pernah mencoba dan merasakan kok sudah berani beropini. Dan itulah mengapa di dalam menulis artikel yang berbau opini atau reportase penulis tidak mau gegabah dan sembrono. Namun kalau tulisan yang berbau fiski ya penulis merasa suka-suka si penulis dalam berimajinasi sih. Namun kalau tulisan fiksi itu kadang tidak logis ya kadang pembaca juga merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam tulisan fiksi tersebut.

Berbeda lagi kalau menulis artikel yang berbau curhat. Ini sih paling gampang. Mau dibilang subyektif atau obyektif wong namanya saja curhat ya suka-suka penulisnya sih. Akhirnya di dalam tulisan ini penulis hanya mampu menyemangati saja. Biasakanlah kegiatan tulis menulis, lama kelamaan kegiatan itu akan menjadi suatu hobi yang menyenangkan dan menambah teman sekaligus wawasan. Salam Kompasiana.

Bahan referensi :

[1] Buku Mahir Menulis, karangan Prof. Mudrajad Kuncoro, Ph.D.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun