Mohon tunggu...
Taufik Mahlan
Taufik Mahlan Mohon Tunggu... profesional -

64 th.\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dukun Pengusir Hantu Rumah Turbin

27 Juli 2010   23:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:33 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. MISKIN

Saya diberitahu bahwa saya lahir di desa Tegal Kunir, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, hari Rabu, tanggal 25 November 1953. Buktinya kemudian diperlihatkan kepada saya sebagai akte kelahiran yang baru dibuat ketika saya sudah berumur lebih dari setahun. Akte kelahiran itu diketik diatas kertas bekas. Tulisan di belakang akte kelahiran itu sepertinya dokumen dinas pertanian. Ayah bilang, untuk memperoleh akte itu perlu sidang pengadilan dengan banyak saksi. Saya tidak pernah tanya apakah saya hadir di sidang itu. Sayang, akte kelahiran antik itu hilang tahun 1986, ketika kami pindah dari rumah kontrakan ke rumah kreditan.

Keluarga kami cukup kekurangan, karena ketika ayah pensiun dari pegawai Kabupaten tahun 1982, pangkatnya adalah golongan IIIa. Ayah wafat tahun 1995.

Tahun 1965-66, setelah peristiwa G-30-S, dalam seminggu kami cuma makan nasi sekali. Selebihnya makan nasi-jagung, atau ketela pohon, atau ubi jalar.

Waktu itu saya kelas satu SMP, dan ikut demo dalam barisan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia). Saya tidak mengerti apa yang kami perjuangkan. Tapi saya tahu saya mengagumi beberapa orang kakak kelas, laki-laki maupun perempuan, yang pandai berpidato di depan barisan kami, mengajak kami berjuang. Mereka berpidato dengan berteriak-teriak, karena tak ada pengeras suara. Pengeras suara yang ada di sekolah kami hanya dipakai pada acara apel Senin pagi untuk sambutan Kepala Sekolah atau Guru Piket. Pengeras suara itu baru bunyi setelah sepuluh menit dinyalakan.

2. STM

Ayah saya seorang pegawai negeri yang miskin, bukan teknisi, tapi cekatan dengan golok, gergaji, pahat, serutan kayu. Hasilnya adalah beberapa balai-balai bambu dan kayu yang kami pakai di rumah. Beberapa kali pada waktu menjelang lebaran ayah membuat gapura dari bambu. Bambu yang melintang di atas dan kanan kirinya terbuat dari bambu utuh beberapa ruas. Tiap ruas, bagian tengah atasnya dibolongi, diisi minyak tanah, lalu diberi silinder dari kaleng sebesar kelingking yang diisi kain kaos sebagai sumbu. Malam takbiran kami punya gapura yang menyala dengan sepuluh sumbu. Sangat menyenagkan, karena lampu jalan di rumah kami lebih sering menyala hitam. Katanya putus karena tiangnya selalu dipukuli dengan batu oleh petugas ronda tiap malam.

Pada waktu saya mau naik ke kelas dua SMP, ayah memberi kakak saya sebuah sepeda. Bersama sepeda itu ayah memberikan sebuah kunci inggris, sebuah tang, dan sebuah obeng. Lalu ada instruksi untuk mencari sol sepatu bekas yang terbuat dari karet mentah. Karet itu dimasukkan kedalam kaleng kecil, dituangi bensin, lalu ditutup. Beberapa hari kemudian kakak memberitahu saya bahwa lem untuk menambal ban sudah jadi. Saya diminta mencari selembar seng kurang lebih selebar telapak tangan, lalu seng tersebut dilubangi kira-kira seratus buah dengan paku, lalu ditekuk setengah lingkaran. Seng berlubang itu seperti parutan, gunanya untuk mengamplas ban yang akan ditambal. Kami menjadi penambal ban untuk sepeda kakak, ayah, dan kakek. Kami juga menjadi tukang reparasi sepeda yang ada di rumah kami. Ayah bilang, nanti masuk STM saja, supaya cepat bekerja. Kan sudah bisa reparasi sepeda.

Radio di rumah kami seperti pengeras suara di sekolah. Begitu dinyalakan, baru sepuluh menit kemudian keluar bunyinya. Suatu hari, sudah hampir setengah jam radio yang saya nyalakan tidak juga bunyi. Kakak saya melongok ke dalam radio dari bagian belakang. ”Wah, lampunya gak ada yang nyala, dik. Filamennya ada yang putus,” katanya. Kakak saya itu cuma dua tahun lebih tua dari saya, tapi kelas dua SMP dia sudah bisa memperbaiki radio. Tapi karena dia tidak bisa menyolder kawat yang putus, radio itu diperbaiki oleh tukang reparasi radio.

Meskipun kami berbeda usia dua tahun, kakak cuma setahun diatas saya di sekolah. Ketika saya naik ke kelas tiga SMP, kakak saya masuk STM jurusan mesin.

Sekolahnya di Jakarta, sedangkan kami tinggal di Tangerang, kurang lebih tiga puluh kilometer jaraknya. Kakak biasanya berangkat pagi-pagi sekali, dan baru pulang lewat magrib, kadang dalam keadaan basah kuyup, padahal di rumah tidak hujan. Belakangan saya mengalaminya sendiri, karena saya juga masuk ke STM yang sama, tapi jurusan listrik.

Untuk sampai ke sekolah, kami harus naik bis atau oplet dari Tangerang ke Grogol. Lalu naik bis kota ke Lapangan Banteng. Sekolah kami di Lapangan Banteng. Biayanya begini: Lima belas rupiah bis ke Grogol (dua puluh lima rupiah kalau naik opelet), sepuluh rupiah dari Grogol ke Lapangan Banteng. Jadi total lima puluh rupiah pulang pergi. Ibu memberi kami masing-masing lima puluh rupiah setiap hari. Padahal waktu belajar kami selalu pagi dan sore, tidak seperti SMA tetangga yang masuk selalu jam tujuh pagi dan pulang jam satu siang. Saya dan kakak harus makan siang di sekolah, sementara kami tidak bisa membawa makanan dari rumah, karena tidak ada. Jatah uang kami masing-masing lima puluh rupiah sehari, hanya cukup untuk ongkos bis.

Untunglah, banyak truk pasir mundar-mandir Jakarta-Tangerang. Pada waktu pulang, sore ataupun malam, kami bergerombol di jembatan Grogol (sekarang kurang lebih di depan mal Ciputra). Truk yang akan kembali ke Tangerang banyak yang sengaja mengurangi kecepatan untuk mengajak kami naik. Truk yang sengaja mengajak kami biasanya meminta lima rupiah per orang. Tapi ada juga yang hanya meminta ongkos kepada para pekerja. Kami, para pelajar, dibiarkannya menumpang dengan gratis.

Kalau di tengah jalan hujan, kami jadi basah kuyup. Tapi lebih baik basah kuyup waktu pulang daripada tidak makan siang.

STM tempat saya belajar itu tergolong top pada masanya. Calon pelajar dites dulu, karena yang mendaftar dua kali lebih banyak dari kapasitas. Oleh karena itu, ketika tahu saya juga diterima di STM kebanggaan ini, saya bersiap untuk belajar ekstra keras, karena teman-teman baru saya pasti pintar-pintar.

Ternyata saya kecewa, karena sedikit sekali teman-teman sekelas yang belajar dengan serius. Lebih dari separuh membenci pelajaran goneometri, ilmu gaya, differensial dan integral, dan bahasa Inggris. Mereka bilang:”Ini kan STM, teori nggak penting. Yang penting praktek.” Tetapi pelajaran praktek pun mereka sering bolos juga.

Waktu itu yang paling saya benci adalah perkelahian antar sekolah, suatu penyakit yang mulai muncul sejak zaman demonstrasi tiga tahun sebelumnya. Tapi ini bukan tawuran seperti pelajar dan mahasiswa jaman sekarang. Perkelahian diwakili oleh satu orang wakil dari sekolah kami, dan seorang dari sekolah lawan. Mereka berkelahi di Lapangan Banteng dengan sorak sorai dari penonton. Biasanya sebelum ada yang kalah polisi datang membubarkan kami. Para penonton bubar tidak kembali ke kelas. Saya dan beberapa teman yang setia ada di kelas akan dimarahi oleh guru kami, sebagai perwakilan mereka yang sudah kabur. Aneh juga.

Saya memperoleh peringkat yang baik di sekolah, karena teman-teman lain tidak serius belajar. Melihat nilai saya yang baik, saya bertekad untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang saya inginkan adalah ITB.

Ayah pernah mengajak kami ke Bandung waktu kami masih di SD, dan menunjuk bangunan besar dan hitam di kejauhan, yang kemudian saya ketahui sebagai Aula Barat, sambil berkata: ”Itu ITB. Dulu Bung Karno kuliah di situ”.

3. TIDAK DITERIMA DI ITB, KERJA

Saya lulus akhir tahun 1971 dari STM jurusan listrik dengan flying colours. Kakak saya sudah naik ke tingkat dua di STTN.

Saya pergi mendaftarkan diri ke ITB, di Aula Barat.

”Mana surat pengalaman kerjanya, dik?”

”Belum pernah bekerja, pak. Baru lulus. Kalau surat kerja praktek ada”.

”Wah, kalau dari STM harus bekerja dulu minimal dua tahun, ba ru boleh daftar di sini.”

Saya memperlihatkan rapor dan nilai ujian akhir saya yang keren, dan mencoba mencari peluang agar bisa mengikuti ujian masuk ITB. Tanda penghargaan sebagai bintang pelajar STM se-DKI tahun 1970 yang ditanda tangani Bang Ali (Gubernur DKI, Ali Sadikin) tidak laku. Surat rekomendasi dari Kepala Sekolah juga tidak laku.

Saya kecewa berat dan marah. Tetapi saya tidak menyesali kenyataan bahwa saya adalah lulusan STM, dan tidak pula menyalahkan ayah yang dulu menganjurkan saya masuk STM. Saya bangga dengan prestasi saya di STM. Saya suka jam-jam kosong antara pelajaran pagi dan siang, karena saya bisa pergi ke Gedung Gajah di Merdeka Barat (Musium Nasional), membaca buku-buku bagus karangan Chairil Anwar dan Sitor Situmorang di perpustakaannya. Saya pernah memenangkan lomba baca prosa tingkat SLA di TIM, dan mendapat hadiah uang yang diserahkan pada suatu acara pertunjukkan balet di TIM, dan saya boleh mengajak ayah dan ibu. Uangnya kami belikan durian ketika pulang.

Saya kembali ke Jakarta dan berniat mencari kerja agar dua tahun kemudian bisa mendaftar lagi di Aula Barat.

Seorang teman memberi tahu ada penerimaan karyawan di sebuah perusahaan baru untuk menjadi teknisi radio. Caranya gampang, ikut tes dulu, kalau lulus baru mengisi formulir dan menyerahkan kelengkapan administrasi. Perusahaan itu namanya Elektronika Nusantara, disingkat Elnusa

Saya terlambat mengikuti test di sekolah saya sendiri, tapi boleh saja ikut keesokan harinya di sekolah lain.

Seminggu kemudian saya ada dalam daftar peserta ujian yang lulus, dengan nilai 5 dari 10. Kali ini yang diterima 50 orang dari 500an orang yang mengikuti tes.

Inilah pekerjaan saya yang pertama. Mula-mula jadi teknisi instalasi sistem komunikasi radio yang nama kerennya IOCS (Integrated Oil Communications System). Sistem ini menghubungkan lokasi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak yang beroperasi di seluruh Indonesia dengan kantor pusat mereka di Jakarta. Komunikasi yang disediakan selain suara adalah telex dan fax. Yang namanya mesin fax pada tahun 70an besarnya seukuran KIA Visto (sorry, membual). Enam bulan kemudian jadi operator radio. Enam bulan kemudiannya lagi ditraining selama enam bulan untuk menjadi teknisi radio. Setelah itu ditempatkan di Kalimantan Timur selama dua tahun.

Suatu kali saya dikirim ke Tarakan untuk memperbaiki radio yang rusak di sana. Jadwalnya tiga hari. Tetapi karena beberapa radio lain dilokasi pengeboran di sekitar Berau juga harus saya perbaiki, jadwal saya jadi tiga minggu. Tetapi mendekati minggu ke tiga, operator radio yang saya datangi harus pulang ke Solo karena orang tuanya meninggal dunia. Maka saya harus menunggu dia kembali. Tetapi teman saya ini ternyata tidak kembali ke Tarakan, tapi ditugaskan ke Medan. Jadilah saya menggantikan dia selama tiga bulan kedepan. Belakangan saya tahu bahwa perusahaan minyak yang menyewa radio dan mesin telex (teletype, mesin ketik jarak jauh) itu kepingin yang menjaga radionya adalah teknisi, karena dalam waktu tiga bulan harus pindah lokasi beberapa kali.

Selama tiga bulan itu saya menginap di Tarakan, jadi tiap pagi berangkat ke lokasi, dan sore pulang dari lokasi pengeboran, naik helikopter selama sejam terbang. Biasanya cuma kami berdua, pilotnya dan saya. Jadi saya duduk didepan, dan kadang diminta pegang tongkat kemudi oleh pilotnya yang orang Amerika semua. Helikopternya konon alumni Vietnam, sehingga kemudinya ada dua. Saya tahu selama tongkat itu saya pegang saja, jangan digerak-gerakkan, tak akan terjadi apa-apa. Kayaknya dua pedal di kaki pilot itu lebih menentukan, dan itu tidak diberikan kepada saya. Kaki saya kurang panjang. Saya ingat tipenya Bell 212, ada yang mesinnya dua, ada yang cuma satu.

Pernah terjadi, sudah setengah jam terbang menuju lokasi, pilot memutar arah kembali ke pangkalan. Saya tanya ada apa, dia cuma menjawab:”Ada yang nggak beres, nih.” Tapi saya dengar dia bicara ke pangkalan mengenai gearbox.

Selama saya menunggu chopper lain untuk membawa saya ke lokasi, teknisi di pangkalan, orang bule juga, melepas gearbox yang menghubungkan baling-baling utama dengan mesin, dan menggantinya dengan gearbox cadangan yang selama ini disimpan di pojok hanggar. Teknisi ini bekerja dengan hanya seorang pembantu. Saya tanya teknisi itu, bagaimana pilotnya tahu kalau gearboxnya ada masalah. Jawabnya tidak enak:”Kalau dia tidak tahu, kami sekarang sedang mencari kalian di tengah hutan sana”.

Setelah beberapa kali melintasi rute yang sama setiap hari, saya bisa mengenali kemana kami harus terbang menuju lokasi. Kelokan sungai, bukit, hutan gundul dikenali sebagai kordinat. Tapi hari itu pilot menerbangakan chopper kearah yang melenceng jauh dari rute biasa. Saya menyatakan keheranan saya. Pilot menyahut: ”Kita harus menerbangkan beberapa orang pejabat, lalu membawa orang sakit”.

Kami mendarat di semacam lapangan, kemudian seseorang yang tampak cukup sakit naik, diikuti beberapa orang yang tampak sebagai pejabat. Pilot tak berbicara apa-apa kepada orang-orang ini. Kami terbang lagi setengah jam menuju sebuah tempat yang cukup ramai, mendarat, dan bapak-bapak itu turun sambil mengucapkan terima kasih kepad pilot. Si sakit dibawa ke lokasi kami, diobati oleh perawat di sana. Saya tidak tahu kapan si sakit dikembalikan ke kampungnya. Ketika saya terbang pulang, kami cuma berdua lagi.

Jabatan Superintendent di organisasi pengeboran minyak waktu itu saya pikir cukup hebat. Dia menguasai semua fasilitas: helikopter, traktor, kapal. Di lokasi kami waktu itu tak ada mobil. Semua peralatan diangkut dengan helikopter dari kapal yang lepas jangkar di sungai terdekat. Termasuk komponen buldoser yang menurut saya ukurannya gede banget. Kalau tidak salah ada dua buldoser Caterpilar tipe D8.

Buldoser ini besar sekali, sehingga bila anda duduk di kursi pengemudi, anda tidak bisa melihat apa yang ada dibelakang anda. Dan terjadilah yang tidak diharapkan. Seorang pekerja terlambat menghindar ketika sebuah buldoser mundur. Sebelah kakinya dari lutut ke bawah terlindas rantai buldoser. Saya tidak tahu persis kejadiannya, karena saya menghabiskan lebih banyak waktu di radio shelter. Ketika saya keluar, saya lihat korban terlentang tenang, padahal terlihat sebelah kakinya yang terbungkus celana jeans tidak karuan bentuknya. Saya nyatakan rasa heran saya kepada perawat didekatnya. Sang perawat berbisik: ”Sudah saya suntik dengan morfin.” Pengetahuan baru bagi saya: morfin adalah penghilang rasa sakit. Beberapa menit kemudian dia menemani korban terbang ke Tarakan.

Kalau ada pindah lokasi, maka biasanya saya termasuk yang pertama tiba di lokasi baru untuk menyiapkan perangkat komunikasi. Suatu siang saya diajak oleh sang Superintendent untuk mempersiapkan lokasi baru (bukan pindah). Katanya peralatan masih dalam perjalanan dengan kapal. Dengan chopper kami terbang menuju lokasi kapal yang sedang mengarungi sungai. Kapal mengurangi kecepatan, memberi kesempatan kepada chopper kami untuk mendarat di helipad kapal pengangkut. Saya pikir saya harus memeriksa peralatan komunikasi dan sebagainya. Ternyata saya disuruh santai saja di kapal itu, makan dan minum, menikmati pelayaran kira-kira selama dua jam. Sang Superintendent ngobrol saja kesana kemari, minum-minum juga, leha-leha dibagian teduh kapal. Setelah itu kami naik lagi ke chopper dan kembali ke lokasi lama. Lokasi baru itu tidak pernah saya kunjungi, dan superintendent itu juga tetap di lokasi lama. Saya kira waktu itu kami korupsi waktu saja. Abuse of power dari sang Superintendent.

Ada lagi kejadian yang tak pernah terpikirkan bisa terjadi.

Seorang pekerja yang tugasnya mengaitkan beban ke perut helikopter, baru beli arloji. Karena dirasa menganggu, dia melepaskan arlojinya, dan menyimpannya di ubun-ubun, dibawah hardhat. Dasar nasibnya, ketika dia akan menyangkutkan beban ke perut helikoper seperti biasa, mungkin ada angin yang tiba-tiba bertiup keras, down draft katanya, helikopternya sedikit terhempas kebawah, membentur kepala si pekerja. Helikopter naik lagi, tidak sampai menyentuh landasan, tetapi si pekerja terkapar. Darah mengucur dari kepalanya. Ketika hardhatnya dilepas, arloji barunya melekat ke otak. Pengetahuan baru lagi: jangan menyimpan benda keras antara hardhat dan ubun-ubun.

Ketika tiga bulan berlalu, saya digantikan oleh seorang teman yang pernah sekelas dengan saya di STM, tapi baru diterima di Elnusa. Seminggu kemudian saya mendengar kabar, teman tersebut tewas karena helikopternya jatuh sebelum tiba di lokasi. Konon beritanya ada di radio Australia, tapi tak pernah masuk dalam pemberitaan dalam negeri. Saya teringat gearbox yang rusak setengah perjalanan

4. SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) Palapa

Akhir tahun 1975, Elnusa menjadi subkontraktor tiga perusahaan Amerika yang memenangkan pembangunan 30 Stasiun Bumi SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) di seluruh Indonesia. Elnusa mengirim tiga tim untuk di-training di masing-masing perusahaan (dua tim di Los Angeles, satu tim di San Francisco) selama tiga bulan.

Saya kebagian ikut ke San Francisco.

Trainingnya adalah training mengenai stasiun bumi. Bagi kami teknisi Elnusa tak ada yang aneh, kecuali peralatannya baru, dan antena yang digunakan cukup besar.

Kami diajari berbagai hal mengenai stasiun bumi, bagaimana menangani keadaan darurat.

Hampir setiap alat memiliki alarm indicator, dengan lamp test untuk mengetahui apakah lampu indikatornya masih baik.

Tim kami dibagi dua, satu tim akan ”merusak” alat-alat dalam stasiun, tim satunya mencari masalah dan memperbaikinya.

Tim saya melakukan ”pengrusakan” terlebih dahulu. Kami tidak hanya melakukan pengrusakan pada alatnya, tetapi juga terhadap alarm dan indikatornya. Selain rangkaian alarm kami ganggu, lampu-lampu indikator juga kami ganti dengan lampu yang putus. Mengetahui apa yang kami lakukan, instruktur kami marah besar. Dia bilang kami melakukan sesuatu yang tidak fair, dan menyatakan akan memberitahu tim yang lagi kami kerjain. Kami malah ngeledek sang instruktur, dan mengajak bertaruh makan siang. Kalau tim lawan kami marah karena kami kerjain, dia ditraktir. Kalau tidak, maka dia harus mentraktir seluruh peserta training yang jumlahnya 14 orang.

Tim lawan kami tak perlu lama untuk menemukan rangkaian alarm dan lampu-lampu yang kami ganggu sambil ketawa-ketawa. Jauh dari sakit hati atau marah, malah meledek kami sebagai kurang kreatif.

Ketika posisi dibalik, kamipun tidak mempermasalahkan apapun yang ditimpakan kepada kami oleh tim lawan. Sang instruktur kalah taruhan dan menganggap kami semua gila. Kami bilang, antara genius dan gila memang tipis pembatasnya.

Kembali ke Indonesia, saya menjadi tim leader start up untuk 15 stasiun bumi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Pekerjaan tim saya, bertiga, adalah menyalakan stasiun bumi yang peralatannya dipasang oleh tim instalasi. Kenyataannya, dari 15 stasiun yang harus kami hidupkan, tak satupun bisa langsung kami hidupkan. Hampir semuanya belum memiliki saluran bahan bakar dari tangki utama ke tangki harian, dan dari tangki harian ke mesin diesel penggerak generator. Tim harus belajar memasang pipa (mengukur, memotong, menyenai, menyambung) dengan benar, tanpa ada pelatihan terlebih dahulu.

Di Pekanbaru panel pemindah dari PLN ke Genset kami temukan terbakar, dan semua kabelnya harus diganti. Di Padang dimana salah seorang dari kami ditawari untuk jadi suami seorang gadis dengan iming-iming segerobak durian, UPSnya juga sudah gosong. Di Palembang semua video monitor cuma mengeluarkan satu garis horisontal. Stasiun bumi Bengkulu ditinggalkan tim instalasi dengan sebagian besar kabel masih dalam gulungannya.

Yang paling parah adalah stasiun bumi Palu, Sulawesi Tengah. Antena parabola berukuran 10 meter itu jatuh menunduk, sehingga empat panel harus diganti.

Kami membawa sendiri panel antena pengganti dari Balikpapan. Elnusa mencarter pesawat DC3 (Dakota) Angkatan Udara untuk mengangkut panel ini dari Balikpapan ke Palu.

Kami terbang jam 10 pagi. Jam 11 pesawat memutar balik ke Balikpapan. Sersan teknisi memberitahu saya bahwa dinamo amper pesawat tidak bekerja. Jam 12 kami mendarat lagi di Balikpapan. Teknisi mengganti generator yang rusak dengan generator cadangan. Jam 14 siap terbang lagi, tetapi dianggap terlalu sore, sehingga diundur sampai keesokan harinya. Di dekat cockpit saya menemukan beberapa kaleng oli (kalau tidak salah Mobil-1). Saya tanya untuk apa, teknisi menjawab: setiap terbang dua jam, setiap mesin perlu ditambah olinya satu kaleng. Persis seperti oplet.

Keesokan harinya kami terbang lagi. Sepertinya DC3 ini malas sekali mengudara. Kalau pesawat lain ketika take off itu moncongnya menengadah, DC3 malah nungging dulu baru naik. Naiknya pun ogah-ogahan.

Ditengah penerbangan kami dikagetkan oleh suara ledakan disusul suara gemuruh. Ternyata satu jendela berengsel di belakang kami membuka sendiri. Sersan teknisi meminta kami memeganginya ramai-ramai, sementara dia menjangkau tangkai jendela dan menutupnya kembali. Ada-ada saja.

Ketika SKSD diresmikan, saya bertugas sebagai Kepala Stasiun Bumi Palu, dan direncanakan tinggal di sana selama setahun, sebagai jaminan dari Elnusa kepada Perumtel (sekarang PT Telkom).

Saya lupa siapa gubernur Sulteng waktu itu, tetapi dia minta agar pada upacara peresmian SKSD gambar TV bisa ditayangkan di kantor Gubernur, oleh pesawat TV Gubernur. Ini berarti saya harus menarik kabel video sepanjang 100 meteran, dan memodifikasi pesawat TV Gubernur agar bisa dimasukin sinyal video dari stasiun bumi. Sekarang, ini sama sekali bukan masalah. Tetapi pada waktu itu tak ada pesawat TV yang memiliki video-in port. Harus dibikinkan, dan saya harus minta ijin untuk membongkar TV gubernur.

5. SKALU

Tak terasa tahun 1976 mendekati akhir. Saya lupa bahwa semula saya berniat bekerja untuk dua tahun saja, sekedar untuk memenuhi salah satu syarat agar boleh mendaftar di ITB. Lima tahun sudah saya bekerja, dan terdampar jauh di Palu sana.

Saya baca di surat kabar, ujian saringan penerimaan mahasiswa baru tahun 1977 untuk lima universitas, termasuk ITB, akan melalui ujian bersama, yang diselenggarakan oleh SKALU (Sekertariat Kerjasama Lima Universitas?). Saya terjaga, tapi terlambat tiga tahun.

Pada bulan ke tiga saya di Palu, saya mengajukan surat permohonan mengundurkan diri dari Elnusa, dengan alasan hendak melanjutkan pendidikan. Bagian personalia menunjukkan surat yang pernah saya tandatangani, yang menyatakan bahwa saya akan bekerja minimum selama satu tahun setelah selesai training dari Amerika. Saya baru bekerja kurang dari sembilan bulan. Saya merasa harus segera kembali ke Jakarta untuk mengikuti kursus bimbingan belajar, karena saya tahu salah satu mata ujian SKALU adalah biologi, yang tidak pernah saya dapatkan di STM.

Untunglah beberapa orang atasan saya menyatakan saya boleh pergi tanpa harus mengganti kekurangan masa ikatan dinas saya.

Saya segera mendaftar di salah satu bimbingan belajar di Jakarta, dengan harapan dapat mendongkrak pengetahuan biologi saya dalam waktu sebulan. Saya merasa tidak khawatir dengan fisika, matematika dan kimia.

Tetapi begitu saya menerima modul-modul fisika, matematika dan kimia, segera saya menyadari bahwa saya hanya dapat menjawab sekitar 20% saja dari soal-soal yang diberikan. Lima tahun sebelumnya saya menyelesaikan soal-soal aljabar, goneometri, dan differensial integral STM tanpa banyak kesulitan. Sekarang, semuanya digabung jadi matematika, dan sulitnya minta ampun. Begitu juga kimia. Di STM kimia hanya diberikan sampai kelas dua. Jadi jelas memang banyak kurangnya. Fisika masih lebih baik, karena saya tidak terlalu asing dengan soal-soalnya.

Biologi? Saya tak punya harapan lagi.

Waktu yang sebulan akhirnya habis justru untuk mempelajari dan berlatih matematika dan kimia. Sesekali saya kerjakan soal-soal fisika. Untuk Biologi saya tidak punya waktu.

Ujian SKALU saya tempuh di Stadion Utama Senayan. Seminggu (?) kemudian saya memperoleh kartu ”Dapat Mendaftarkan di Perguruan Tinggi”. Banyak yang sudah menangis kegirangan ketika memperoleh kartu ini, padahal kartu itu bukan tanda diterima di perguruan tinggi pilihan. Saya tahu masih ada kompetisi lagi, sekalipun pasif, di perguruan tinggi tujuan. Saya mendaftar ke ITB dan berdoa semoga nilai saya berada pada kelompok 1200 tertinggi diantara 10000an yang mendaftar.

6. ITB

Seandainya tahun 1972 ada SKALU, saya mungkin sudah lulus dari ITB pada tahun 1977.

Pada usia 23 tahun, saya mengikuti Pekan Orientasi Studi ”putra-putri terbaik Indonesia” di ITB. Saya benci sekali acara itu. Pelecehan terhadap kecerdasan dan hak azasi manusia. Tetapi dalam bidang ini, rupanya putra-putri terbaik Indonesia senior kami ini luar biasa kreatifnya untuk menyusahkan kami. Selama masa yang menyiksa ini saya tak pernah lupa bahwa saya lima tahun lebih tua dari teman-teman seangkatan saya, dan beberapa tahun lebih tua dari senior yang menzalimi kami. OS tidak memberikan kesan yang baik pada saya. Saya bertahan karena solidaritas kepada kawan-kawan, tidak berharap apa-apa, dan merasa tidak memperoleh apa apa, kecuali satu hal yang sangat menyenangkan. Yaitu: akhirnya OS selesai.

Lewat OS, masuklah matrikulasi. Karena matrikulasi adalah SMA kelas empat, ketemu lagi dengan biologi. Alah mak.

Matrikulasi satu semester, dilanjutkan dengan TPB (Tingkat Pertama Bersam) dua semester. Slogan Dewan Mahasiswa: 1. Mari kita perangi kebodohan (ini saya setuju, karena lagi gak ada musuh yang lain). 2. Jangan cepat-cepat lulus, berjuanglah dulu sebagai mahasiswa (yang ini saya tidak setuju. Saya selalu melawan slogan ini dengan: cepatlah lulus, cepatlah jadi produktif). Kapan belajar elektronya, nih?

Malah, ketika TPB hampir berakhir, ada proses penjurusan. Pilihlah tiga jurusan favorit, lanjutkan dengan berdoa. Pilihan pertama saya elektro, kedua fisika teknik, ketiga kosong. Ternyata ada bangku kosong di elektro untuk saya.

Ketemu OS lagi. OS jurusan, katanya. Tapi sebenarnya ini OS HME (Himpunan Mahasiswa Elektro). Tak ada manfaatnya, kecuali sebagai sarana melampiaskan rasa frustrasi sejumlah senior yang keganjel gak lulus-lulus.

Tahun berikutnya saya jadi anggota panitia OS jurusan, dengan niat memperbaiki hal-hal yang sangat tak berguna seperti menyetrum peserta OS di lumpur situ Patenggang. Acara setrum-menyetrum masih ada, tetapi dengan cara yang lebih elegan. Setrumnya dibatasi, dan jika beruntung setrum tidak menyengat anda. Seperti berjudi, gitu.

Saya mulai lega dan nyaman ketika mulai ketemu mata kuliah elektronika dan telekomunikasi. Di bidang ini saya sudah punya pengalaman lima tahun, termasuk satelit. Segalanya menjadi lebih mudah.

Maret 1982 saya ikut wisuda. Tugas akhir: Komunikasi Optik, sebuah studi.

7. KERJA LAGI

Elnusa yang saya tinggalkan tahun 1976, memberi saya beasiswa tugas akhir tahun 1981.

Perusahaan ini memang istimewa. Dulu saya dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi training, sekarang malah dikasih beasiswa. Tapi, sebagaimana biasa, beasiswa dikaitkan dengan ikatan dinas. Jadi, saya harus kembali ke Elnusa setelah lulus nanti. Saya kembali bekerja di Elnusa sampai tahun 1984. Seorang sekretaris yang kerap membantu saya menyusun proposal dijodoh-jodohkan oleh kawan-kawannya dengan saya. Saya mau saja. Kami menikah pertengahan tahun 1983, ketika saya sedang ditempatkan di proyek pembangunan kilang Pertamina di Cilacap.

Penempatan di Cilacap memperkenalkan dunia instrumentasi industri kepada saya. Ini adalah dunia teknologi multidisiplin, sehingga saya harus mengerahkan segala pengetahuan dan pengalaman saya agar dapat menyelesaikan pekerjaan dengan baik.

Hal-hal yang menyangkut listrik dan elektronika secara sendiri-sendiri tidak memberikan kesulitan yang berarti. Sehingga saya dengan segera dikenal sebagai tukang reparasi alat listrik dan instrumen yang handal.

Tetapi ketika peralatan ini digabungkan dengan peralatan lain yang mekanikal dan pneumatik dan membentuk suatu lingkaran pengendalian (control loop), pengetahuan dan pengalaman elektronika dan telekomunikasi sedikit sekali membantu. Pengetahuan mengenai Sistem Pengaturan-lah, dimana saya memperoleh nilai D dua semester berturut-turut, yang dapat membantu. Tetapi, sekalipun saya bodoh dalam bidang ini, saya kira saya tetap berhasil menjaga citra. Pengetahuan saya mengenai elektronika sederhana pernah menyebabkan saya digosipkan sebagai dukun yang dapat mengusir hantu di rumah turbin-generator.

Turbin uap besar penggerak generator listrik (20 MVA) memang dimanja. Ketika start up, peningkatan putaran terhadap waktu harus mengikuti kurva tertentu, untuk menjaga agar frekuensi resonansi sistem mekanis tidak terpicu. Bila melenceng keluar dari wilayah toleransi kurva, sistem kendali akan mematikan sistem, dan proses start up harus diulangi dari awal. Kabarnya berminggu-minggu start up selalu gagal, karena sistem kendali selalu menganggap kurva start up tidak dipatuhi. Teknisi vendor sistem kendali baru bisa datang bulan depan, dan teknisi kontraktor tidak dapat menemukan masalahnya. Sinyal dari sensor kecepatan dapat dibaca, tetapi selalu ngaco ketika mencapai putaran tertentu. Simulasi sinyal dengan generator pulsa memperlihatkan sistem selalu saja shut down sebelum turbin mencapai kecepatan yang diperlukan.

Akhirnya para bule itu tidak lagi memperdulikan gengsi, dan meminta saya, tukang reparasi handal dari instrument shop, untuk memecahkan teka teki di power house.

Secara tak sengaja segera saya ketahui bahwa sistem kendali ternyata tidak dapat menerima pulsa yang terlalu sempit. Sedangkan pulsa dari speed sensor, yang memindai lubang kecil pada poros tubin, memang tidak simetris, dan akan makin sempit ketika putaran makin tinggi. Sayangnya pulsa sudah terlalu sempit sebelum putaran yang dikehendaki, sehingga tidak terbaca oleh sistem kendali. Oleh karena itu sistem menganggap speed sensor rusak dan mematikan turbin sama sekali. Memperlebar atau memperbesar lubang pada poros turbin untuk memperlebar pulsa sama sekali bukan pilihan (”Gila, kali. Mau ngerusak shaft balance?” Begitu kira kira kata bule-bule itu waktu saya jelaskan masalahnya).

Pulsa sempit bukan masalah bagi orang yang kenal dengan one shot multivibrator, atau monostable circuit, yang salah satu kegunaannya adalah memperlebar pulsa. Dua buah transistor, tiga buah resistor, dan sebuah capacitor memecahkan masalah ini (zaman itu, IC555 adalah barang langka dan masih sulit didapat).

Semua orang senang, dan seseorang memulai rumors bahwa saya telah mengalahkan jin penunggu rumah turbin.

Rupanya kondisi ini merupakan trik dari vendor sistem kendali, dengan harapan dia akan mendapat panggilan darurat untuk menanggulangi masalahnya, dan memperoleh bayaran ekstra. Tapi ketika dia datang, turbin sudah jalan. Tentu saja dia kecewa berat. Melihat ada rangkaian pelebar pulsa pada speed sensor dia marah-marah, dan menyatakan itu pekerjaan sia-sia, karena dengan memasang beberapa jumper di sistem kendali, sistem akan dapat membaca pulsa. Tapi cuma dia yang punya instruction manualnya dan boleh masuk ke sistem kendali selama masa garansi. Saya sendiri tidak ketemu dengan teknisi nakal ini, cuma diceritain oleh pengawas rumah turbin. One shot multivibrator saya (dua buah untuk dua turbin) entah dikemanakan.

Pertengahan 1984, ketika anak pertama saya lahir, saya bekerja untuk Masoneilan International Inc., perusahaan yang memasok control valve untuk kilang Pertamina Cilacap. Cuma setahun, kantor kami ditutup, kabarnya karena korupsi di kantor regional di Singapura. Saya pindah ke agen Fisher control valve, pesaing utama Masoneilan. Disini cuma setahun juga, karena kemudian saya kembali ke Masoeilan, bekerja untuk agennya di Indonesia. Disini saya bertahan hampir dua puluh tahun. Sayangnya, tak ada yang istimewa yang dapat diceritakan, karena semuanya jadi rutinitas saja. Saya pensiun tahun 2005.

8. SEKARANG

Saya pensiun dengan hati yang berat. Tetapi perusahaan harus menjalani regenerasi, dan akan memulai arah yang saya tak punya kompetensi. Kalau tak bisa membantu, sebaiknya jangan menganggu.

Seorang teman pengusaha mengajak saya bergabung mendirikan sebuah perusahaan yang bergerak di bidang yang saya tak tahu apa-apa sebelumnya. Untunglah perusahaan ini bisa jalan sendiri. Saya mondar-mandir Jakarta-Bandung, jadi ”Pembimbing III” anak pertama saya yang mulai mengerjakan tugas akhir di elektro ITB, telekomunikasi. Tugasnya adalah membuat multiplexer 16 kanal untuk fiber optic. Multiplexer ini akan digunakan untuk praktikum.

Sepanjang hidup, saya menganut prinsip: tak ada rotan akar pun jadi. Oleh karena itu saya punya masalah dengan anak saya ini, karena dia berprinsip: jika tak ada rotan, cari dulu rotannya. Segala sesuatu harus sesuai denga teori dan tata nilai yang dianut. Idealistik. Ini sering menyebabkan pilihan menjadi sangat sempit, bahkan bisa jadi mustahil.

Mempelajari elektronika digital menyadarkannya bahwa proses yang tidak sempurna dapat memberikan hasil yang sempurna. Sekalipun pulsa-pulsa dalam multiplexernya tidak persegi sempurna, berita bisa dikirim dan diterima dengan sempurna. Digitalisasi sudah lama menyerbu kita dari segala penjuru. Digitalisasi sebenarnya membuang berita yang asli, dan hanya menangkap ciri-ciri berita. Itupun dengan cara kira-kira. Hasil kira-kira ini yang dikirim untuk direproduksi di tujuan. Itulah yang sehari-hari kita lihat dan dengar di TV, PC, PDA, HP.

Anak saya, angkatan 2002, lulus sidang tugas akhir S1 tanggal 1 Februari 2007. Kampus yang sama, jurusan yang sama, bahkan sub jurusan yang sama pula dengan saya. Seperti napaktilas saja. Umurnya belum lagi 23 tahun. Waktu seumur dia, saya baru ujian SKALU.

Saya harap dia segera menjadi lebih realistis menghadapi dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun