Sekolah merupakan salah satu sarana yang sampai saat ini masih dikembangkan baik dari segi peningkatan mutu pendidikan maupun sarana dan prasarana pembelajaran oleh pemerintah. Dari segi peningkatan mutu pendidikan pemerintah mengembangkan kurikulum yang mendukung proses pembelajaran dan dijadikan sebagai acuan dalam memberikan ilmu guna mencerdaskan anak-anak Indonesia.Â
Dalam peningkatan sarana dan prasarana pembelajaran pemerintah menyokong pembiayaan melalui dana BOSP (Bantuan Operasi Satuan Pendidikan) yang disalurkan melalui dua tahapan. Yang mana penyaluran dana BOSP (Bantuan Operasi Satuan Pendidikan) tersebut merupakan bentuk dukungan pemerintah kepada sektor pendidikan.
Namun, pada peristiwa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sekitar bulan Juni ini terjadi kontroversi antara orang tua siswa dengan sekolah yakni permasalahan tingginya biaya masuk sekolah. Tingginya biaya pendidikan di sekolah negeri memang selalu menjadi topik hangat setiap tahun ajaran baru. Banyak pro dan kontra mengenai pemungutan biaya sekolah ini. Bagi orang tua siswa yang memiliki status ekonomi tinggi tentunya hal tersebut tidak menjadi masalah. Akan tetapi bagi orang tua siswa dengan status ekonomi sedang atau bahkan rendah hal tersebut menjadi hal yang memberatkan.
Padahal orang tua siswa memilih menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atas dasar terkenalnya sekolah negeri sebagai sekolah yang tidak dipunggut biaya. Sekolah negeri memang tidak memunggut biaya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan). Tetapi berdasarkan faktanya sekolah masih memungut biaya dalam bentuk sumbangan komite. Padahal tidak semua orang tua siswa mampu untuk membayar sejumlah biaya yang dibebankan pihak sekolah apalagi dengan nominal yang cukup besar. Hal tersebut menjadi alasan mengapa banyak anak dengan keterbatasan kondisi ekonomi memilih tidak melanjutkan sekolahnya.
Pemungutan biaya pendidikan yang cukup tinggi tersebut memang dipergunakan untuk perbaikan sekolah dari segi fasilitas, sarana, dan prasarana yang tidak bisa terpenuhi dari dana BOSP (Bantuan Operasional Satuan Pendidikan) yang disalurkan oleh pemerintah. Pemungutan biaya yang cukup tinggi tersebut meliputi biaya seragam untuk tiga tahun, biaya iuran-iuran, biaya ekstrakurikuler, biaya les, atau bahkan biaya pengadaan fasilitas baru di sekolah termasuk biaya pembangunan gedung dan segala macam lainnya.
Akan tetapi, sering terjadi peristiwa dimana biaya pembangunan fasilitas yang dibayarkan tidak selalu dinikmati oleh siswa yang membayarkan biaya tersebut. Sebagai contohnya pembangunan gedung lab atau pembangunan mushola yang pembangunanya baru terealisasi setelah 2-3 tahun ke depan.
Apakah permintaan penarikan biaya dengan dalih sumbangan komite tersebut sesuai dengan prinsip sekolah negeri? Hal inilah yang masih menjadi perdebatan dan perlu dicari solusi dari kebenaranya.
Masalah dalam dunia sekolah apalagi berkaitan dengan pembebanan biaya yang cukup besar dirasa kurang tepat apabila diterapkan di jenjang sekolah menengah atas, sekolah menengah pertama maupun sekolah tingkat dasar. Pemerintah seharusnya melakukan kontrol guna mengatur jalannya alur pembiayaan sekolah. Mengingat bahwa sekolah negeri tidak memunggut biaya lain, selain biaya seragam sekolah ketika pertama kali menjadi siswa.
Permasalahan pemungutan biaya sekolah yang memberatkan orang tua murid harus dikaji ulang dan tidak sepatutnya sekolah negeri memungut biaya dengan jumlah diatas satujuta rupiah. Meskipun dengan dalih pembangunan sekolah agar lebih unggul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H