Mohon tunggu...
Triyatni Martosenjoyo
Triyatni Martosenjoyo Mohon Tunggu... -

dosen, arsitek, di Program Studi Arsitektur Universitas Hasanuddin

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Raya

5 Februari 2019   11:33 Diperbarui: 5 Februari 2019   12:15 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejak SD hingga SMA saya belajar di sekolah Katolik yang mayoritas siswanya adalah orang-orang Chinese. Saat itu sekolah-sekolah terbaik memang hanya dikelola oleh Yayasan Katolik. Berada dan berbaur dengan kawan-kawan Chinese membuat kami terbiasa saling mengunjungi saat hari raya keagamaan. Ritual yang tetap berlangsung bahkan ketika kami sudah menyelesaikan pendidikan. 

Pada hari raya Lebaran, rumah saya menjadi tempat berkumpul kawan-kawan Chinese.  Menikmati hidangan Lebaran seperti ketupat, lontong, buras, dan lappa-lappa. Lauk pauknya opor ayam, coto, sayur lodeh, ayam gorenag, sambal goreng hati kentang, daging toppa lada. Kue besarnya lapis Surabaya, spekoek, ontbijtkoek, napolitan, dan kue mokka. Kue kecilnya nastar, spekulas, janhagel, kaasstengels, katetong, sultana, kecipot, dan langkoseng. Minumannya lemonade. Semua hidangan kecuali lemonade adalah home-made yang dikerjakan sejak hari pertama puasa. Untuk menikmati semua jenis hidangan, kawan-kawan saya hadir sejak pagi hingga sore hari.

Demikian halnya saat Imlek. Mulai hari pertama Imlek hingga Cap Go Meh, kami sudah membuat kelompok berkunjung ke rumah-rumah kawan di Pecinan, sejak pagi hingga malam hari. Masuk keluar klenteng menyaksikan ritual Imlek. 

Hidangan Imlek berupa kombinasi hidangan Chinese dan peranakan. Karena banyak tamu Muslim, tuan rumah selalu menyediakan makanan halal. Misalnya selalu ada sup hisit, abalone, teripang dan juga pallubasa. Permen dan buah jeruk yang segar untuk cuci mulut.  Kue keranjang goreng berbalut wijen dihidangkan panas. Yang paling saya senangi adalah lumpia yang tidak digoreng. 

Baik saat Lebaran atau Imlek, sejak pagi hari pintu-pintu rumah sudah terbuka menyambut tamu. Tak ada istilah pengumuman open-house, karena hari raya  memang adalah waktu untuk menerima tamu. Tuan rumah dengan ramah selalu duduk dekat pintu rumah menanti tamu-tamu yang berdatangan. Melayani makan, minum, dan bercerita dengan wajah sumringah. Banyak tamu banyak rejeki.  Demikian setiap tahun terjadi. Walau hari raya menyisakan kelelahan tetapi selalu terasa menggembirakan. 

Beberapa tahun terakhir ada gejala yang berbeda. Bisnis yang membesar dan anak-anak penerus generasi tak tertarik lagi dengan ritual silahturahim. Tamu yang datang berbondong-bondong terasa menakutkan bagi generasi yang menghabiskan sekolah di luar negeri. Mereka tak mengenal dan alergi dengan jumlah manusia yang banyak. 

Kita hanya bisa berkunjung bersilahturahmi bila tuan rumah mengumumkan open-house. Bukan hal yang aneh saat berkunjung di hari raya, tuan rumah ternyata sedang liburan di hotel untuk istirahat. Kita akhirnya menjadi ragu untuk berkunjung. Jangan sampai tuan rumah tak ada. Tak semua orang Timur nyaman dengan cara Barat yang mewajibkan memberi informasi saat ingin berkunjung. Terasa aneh, bersilahturahim di hari raya harus minta izin! 

Menurunnya minat silahturahim membuat hidangan-hidangan hari raya sering hanya dinikmati oleh orang rumah sendiri. Misalnya kue-kue hidangan Idul Fitri yang tak habis hingga saat Lebaran haji. Atau kue Imlek yang tetap ada walau ritual Cap Go Meh telah berlalu. Penentuan hidangan hari raya tidak lagi berdasarkan apa yang disukai oleh tamu, tetapi apa yang disukai oleh tuan rumah. Bukan tamu yang akan menikmati hidangan hari raya, melainkan tamu. Hampir tak ada lagi  acara menyiapkan hidangan home-made. Toples-toples dan kotak kue menunjukkan merk produk penjual yang dihidangkan ala kadar. Kita hampir tak lagi menemukan menu ciri khas keluarga tertentu. Meminjam istilah sahabat Chinese saya, semua produk impor. 

Seiring waktu, makna hari raya berevolusi. Walau demikian, setiap komunitas selalu merindukan kehadirannya. Menjadi waktu jeda setelah bekerja keras sepanjang tahun. Gong Die Fat Choi. Selamat Hari Raya Imlek. Semoga musim semi memberi panen yang berlimpah bagi kita semua. Amin! 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun