Mohon tunggu...
Triya Rohmatul
Triya Rohmatul Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

hobi membaca dan menulis. manusia sedikit bicara ini akan banyak bicara jika diperlukan

Selanjutnya

Tutup

Film

Diamnya Institusi: Kritik terhadap Respons Sekolah terkait Kasus Bullying dalam Film "Everyone Is There"

3 Juni 2024   14:55 Diperbarui: 4 Juni 2024   12:31 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film ‘Everyone Is There’ bukan hanya sebuah cerita tentang dua saudara kembar yang menghadapi kesulitan di sekolah, tetapi juga kritik tajam terhadap kurangnya responsif pihak sekolah dalam menangani kasus bullying. Bullying merupakan masalah serius yang mempengaruhi kesehatan mental dan emosional korban, serta menimbulkan dampak jangka panjang. Melalui karakter dan plot yang mendalam, film ini menggambarkan realitas yang sering dihadapi oleh banyak siswa di seluruh dunia yakni ketidakmampuan institusi pendidikan untuk melindungi mereka dari kekerasan dan intimidasi. Meskipun banyak sekolah mengklaim memiliki kebijakan anti-bullying, terkadang respon nyata yang harusnya mereka berikan sering kali tidak memadai.

Soo-yeon, salah satu saudara kembar dalam film ini, menjadi korban bullying yang brutal dan berkelanjutan dari teman-teman sekelasnya. Tindakan bullying yang dialaminya bukan hanya fisik, tetapi juga psikologis yang merusak kesejahteraan mentalnya. Ketakutan dan rasa tidak aman yang dialami Soo-yeon menggambarkan dampak mendalam dari bullying yang sering kali tidak terlihat dari luar.

Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam film ini adalah bagaimana pihak sekolah merespons kasus bullying yang dialami Soo-yeon. Ketidakpedulian dan respon yang lamban dari pihak sekolah menunjukkan kelemahan serius dalam sistem pendidikan yang tidak mampu menyediakan lingkungan aman bagi semua siswa. Meskipun Soo-yeon dan keluarganya melaporkan insiden tersebut, pihak sekolah tampak enggan untuk mengambil tindakan tegas terhadap pelaku bullying. Ketidakpedulian itu mencerminka bagaimana institusi pendidikan sering kali memprioritaskan reputasi mereka diatas kesejahteraan siswa.

Sosiologi pendidikan menawarkan kerangka teoritis yang penting untuk memahami dinamika bullying. Seperti dalam konsep teori konflik yang sangat relevan untuk menganalisis kasus tersebut. Teori konflik yang dipopulerkan oleh Karl Marx, menyatakan bahwa konflik antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat adalah pendorong utama perubahan sosial. Dalam konteks sekolah, konflik ini muncul antara siswa yang memiliki kekuasaan sosial dan mereka yang tidak. Sering kali, sekolah sebagai institusi gagal untuk menengahi konflik ini secara efektif sehingga mencerminkan kekuasaan ketidaksetaraan yang lebih besar dalam masyarakat.

Dampak psikologis dari kurangnya respons terhadap bullying juga sangat signifikan. Soo-yeon mengalami kecemasan, ketakutan, dan isolasi sosial akibat perlakuan yang diterimanya. Menurut teori labelling yang mengkaji bagaimana label atau stigma dari orang lain dapat mempengaruhi identitas dan perilaku individu. Ketika korban bullying diberi label negatif atau diabaikan , hal ini dapat memperparah efek psikologis sosial bullying. Selain itu, pelaku bullying yang tidak diberi konsekuensi yang tepat mungkin merasa diberdayakan oleh label mereka. Tampak pada Gyu-jin pelaku bullying dalam film ini yang tidak merasa bersalah sama sekali dan bahkan masih mengulangi perbuatannya. Hal ini, disebabkan oleh keyakinannya bahwa ketika melakukan tindakan kejam tersebuttidak akan ada konsekuensi yang menimpa dirinya. Akibatnya, ia merasa aman dan nyaman ketika melakukan tindakan bullying. 

Film 'Everyone Is There' mengirimkan pesan kuat tentang perlunya kebijakan dan tindakan yang tegas dari pihak sekolah dalam menangani kasus bullying. Sekolah harus memiliki sistem yang efektif untuk mendeteksi, melaporkan, dan menanggapi kaus bullying tanpa takut akan pembalasan. Ini termasuk menyediakan layanan konseling dan dukungan psikologis bagi para siswa yang menjadi korban untuk membantu mereka pulih dari trauma. Selain itu, harus ada pendidikan dan pelatihan bagi staf sekolah untuk menangani situasi ini dengan sensitif dan proaktif.

Melalui narasi yang kuat dan emosional, 'Everyone Is There' mengungkap realitas pahit dan kurangnya responsif pihak sekolah terhadap kasus bullying. Film ini mengajak penonton untuk merenungkan pentingnya tindakan cepat dan tegas dalam menghadapi bullying dan mendukung korban. Dengan memahami dan memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih aman dan inklusif bagi semua siswa. Institusi pendidikan juga harus lebih responsif dan proaktif dalam menangani kasus bullying untuk mencegah trauma jangka panjang dan memastikan kesejahteraan semua siswa. Namun, perlu diingat bahwa tindakan balas dendam terhadap pelaku bullying yang dilakukan oleh saudara kembar Soo-yeon dalam film ini tidak patut ditiru. Masih banyak cara lain untuk membuat pelaku jera tanpa harus menggunakan kekerasan yang setara sebagai balasan.

Sumber Referensi:

Efendi, Gunawan, and Ari Wahyudi. "PENGARUH JENIS LABELING SISWA IPS TERHADAP TINGKAT PERILAKU MENYIMPANG DI SMA NEGERI 1 SEKARAN." Paradigma 04, no. 03 (2016): 1--5.

Rohman, Nur. "PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF STRUKTURAL KONFLIK." AT-TAHDZIB 5 (2020).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun