20 Mei: Antara Angka dan Makna
Tahun 1948 merupakan tahun yang berat bagi Republik Indonesia. Republik yang baru lahir ini di satu sisi tengah porak poranda menghadapi agresi militer Belanda dan di sisi lain ancaman disintegrasi mulai menguat. Kondisi kritis itulah yang kemudian mengilhami Ki Hajar Dewantara dan Mr. Ali Sastroamidjojo untuk menjadikan sebuah momen penting dalam sejarah perjalanan bangsa sebagai ‘peringatan’.
Momen yang dapat digunakan sebagai gairah pemersatu kembali. Gairah kebangkitan dari keterpurukan. Gairah baru bagi bangsa yang tengah dilanda krisis dan ancaman perpecahan. Usul ini kemudian sampai di telinga Bung Hatta dan Bung Karno. Dan akhirnya disepakatilah momen kelahiran Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Ada banyak kotroversi atas penetapan Hari Kebangkitan Nasional yang bebarengan dengan lahirnya Budi Utomo itu. Namun saya tak hendak masuk pada perdebatan tersebut. Fakta sejarah yang kita terima saat ini adalah tiap tanggal 20 Mei bangsa ini memperingatinya sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Angka tanpa makna
20 Mei bisa jadi hanyalah sebuah tanggal pada kalender semata. Sebagai salah satu bilangan dalam perhitungan satu tahun masehi. Tanpa ada makna di dalamnya, kita akan melangkahi 20 Mei seperti hari-hari biasa pada umumnya. Minus upacara ataupun politisi yang beriklan di televisi. Karena itulah yang amat penting adalah pemberian makna atas peristiwa yang telah terjadi.
Sebuah simbol akan mempunyai arti dalam benak orang saat simbol itu diberi makna. Diberi arti. Diberi ruh. Hari-hari peringatan pada dasarnya adalah upaya mengabadikan makna atas sebuah peristiwa sejarah. Kita peringati karena kita ingin mewariskan makna itu kepada generasi selanjutnya. Kita peringati karena ada tujuannya. Ada makna yang hendak disampaikan kepada khalayak. Ada pesan, dan ada sesuatu yang harus digairahkan kembali.
Oleh karena itulah, melihat dari latar belakangnya, Hari Kebangkitan Nasional kala itu digunakan sebagai dopping untuk kembali ‘menggairahkan’ persatuan Republik Indonesia. Namun selalu ada persoalan dalam setiap hari peringatan.
Pertama, seringkali peringatan yang kita lakukan hanya berlangsung seremonial semata. Sehingga ada orang yang menganggap bahwa berbagai upacara peringatan sebagai salah satu bentuk pemborosan anggaran. Terjadi degradasi makna karena berbagai upacara tak berkorelasi positif dengan perubahan perilaku.
Kedua, situasi dan kondisi yang dihadapi saat ini sangat jauh berbeda saat peristiwa peringatan itu ditetapkan. Hal ini berakibat pada kurangnya ‘dramatisasi peristiwanya’. Kita lahir dalam sebuah situasi yang berbeda, sehingga penghayatan atas peringatan sebuah peristiwa pun berbeda. Efek emosional yang kita rasakan tidak se-emosional orang-orang saat peristiwa itu diputuskan untuk diperingati.
Tidak mungkin membawa situasi emosional sebuah peristiwa masa lalu pada saat ini. Walaupun kita bisa mendapatkan gambarannya dari film, atau buku sejarah, tapi tetap saja berbeda jauh dari orang yang mengalaminya secara langsung. Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan adalah mewariskan ide dan gagasannya.
Mewariskan ide yang melahirkan peringatan Hari Kebangkitan Nasional, itulah yang perlu disampaikan. Bukan semata mewariskan protokoler upacaranya atau  menghafal tanggal dengan kaku. Sehebat-hebatnya sebuah peristiwa yang paling bermanfaat bagi khalayak adalam inspirasi yang ditimbulkannya.
Tanggal hanyalah sebuah bilangan, tapi kitalah yang memberi makna. Dari makna itu maka muncul inspirasi. Dari insprasi muncul harapan dan pemikiran. Pemikiran melahirkan perbuatan dan perbuatan menimbulkan perubahan.
Inspirasi lahir dari pemaknaan sebuah peristiwa. Itulah alasan tanggal 20 Mei masih substansial untuk dikenang, karena kita membutuhkan inspirasi untuk berbuat dan melakukan perubahan. Tanpa diberi makna, 20 Mei, hanyalah sebuah bilangan matematika semata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H