Memasuki periode terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono, kecemasan publik terhadap efektivitas pemerintahan kian tinggi. Hal itu lantaran tahun ini merupakan tahun politik dimana pemilihan umum legilstaif dan pemilihan presiden (pilpres) akan dilaksanakan.
Tidak dapat dimungkiri periode terakhir pemerintahan memang merupakan periode paling krusial bagi kelangsungan pemerintahan SBY-Boediono. Kinerja pemerintahan terancam tidak berjalan efektif jika di sisa dua tahun usia pemerintahan para menteri sibuk melakukan kegiatan-kegiatan politik menjelang pemilihan umum tahun 2014 ketimbang melaksanakan tugas-tugas sebagai pembantu presiden.
Inilah sumber utama dari kecemasan publik pemerintahan SBY-Boediono saat memasuki periode terakhir. Kecemasan itu tentu bukan tanpa alasan mengingat praktik politik para elite kita masih mencampuradukan antara kepentingan negara dengan kepentingan politik.
Kecemasan publik tersebut tercermin melalui sejumlah hasil survei. Sebagai contoh, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pernah mengungkapkan sebesar 86,35 persen publik meragukan para menteri dapat tetap fokus mengerjakan tugas-tugas kementerian mendekati pemilihan umum tahun 2014. Sebagai informasi, dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang beranggotakan 34 orang menteri terdapat 16 orang menteri dengan latar belakang partai politik.
Tidak dapat dimungkiri selama ini keberadaan menteri berlatarbelakang partai politik di kabinet memang seringkali memunculkan kerumitan tersendiri. Kerumitan itu tidak lain berupa loyalitas ganda. Yang dimaksud dengan loyalitas ganda adalah loyal kepada presiden sekaligus loyal kepada partai politik tempat ia berasal.
Padahal, sebagaimana dikatakan Presiden Amerika Serikat ke-35 John F Kennedy, loyalitas seorang politisi terhadap partai politik harus berakhir ketika pengabdiannya terhadap negara dimulai. Loyalitas ganda hanya akan mengakibatkan koordinasi di dalam kabinet tidak dapat berjalan optimal.
Akan tetapi, rasa khawatir presiden dan publik terhadap kinerja menteri asal partai politik di tahun terakhir pengabdian KIB II ini sedikit berkurang ketika melihat sepak terjang Hatta Rajasa. Sebagaimana diketahui bersama menteri koordinator perekonomian ini merupakan salah satu menteri yang memiliki latar belakang partai politik. Saat ini Hatta menjabat sebagai ketua umum Partai Amanat Nasional (PAN). Tidak cuma itu, besan Presiden SBY ini merupakan salah satu calon presiden (capres) potensial dalam pilpres tahun 2014.
Namun, posisi politik sebagai ketua umum PAN dan capres potensial tidak membuat Hatta gelap mata untuk melakukan pencitraan diri dan menomorduakan tugas-tugas kementerian. Alih-alih mencitrakan diri sebagai capres, Hatta justru selalu gemar memperlihatkan jurus mengelak jika mendapatkan pertanyaan-pertanyaan terkait kesediaan diri untuk mencalonkan diri dalam pilpres tahun 2014.
Selain itu, sikap tersebut dapat juga dilihat sebagai wujud sikap kesantunan politik Hatta mengingat saat ini ia tercatat masih aktif sebagai salah seorang menteri pada KIB II. Hatta sadar betul bukan merupakan hal yang etis jika seorang pejabat publik mengumbar hasrat menjadi calon presiden secara berlebihan.
Hatta memeberi sebuah contoh teladan bahwa jabatan sebagai menteri dalam KIB II merupakan wahana untuk menunjukan keberpihakan kepada rakyat, bangsa, dan negara. Bukan justru dimanfaatkan untuk mencapai kepentingan-kepentingan politik jangka pendek.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI