Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) menyampaikan keinginanya untuk membentuk Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) untuk pengelolan transportasi publik massal Light Rail Transportation (LRT) Â yang direncanakan akan dibangun. Pada tahun ini direncanakan akan dibangun 2 koridor LRT untuk mendukung pelayanan transportasi saat penyelenggaraan Asian Games 2018. Untuk pengelolaan 2 LRT dan selanjutnya koridor pembangunan berikutnya itulah Pemprov DKI Jakarta akan membentuk BLUD dengan permodalan awal sebesar Rp. 1 triliun. Dana Rp. 1 triliun akan berasal dari pengalihan anggaran pembelian Palyja kepada BUMD PT. Jakarta Propertindo yang batal (Rp. 600 miliar) dan PT. Pembangunan Jaya (Rp. 400 miliar). BLUD ini nantinya akan mengelola pelayanan LRT yang akan mencapai 7 koridor yang melingkari Jakarta, khususnya menghubungkan pusat-pusat bisnis dan kegiatan ekonomi, termasuk sampai ke Bandara Soekarno-Hatta. Pembangunan LRT tersebut juga akan melibatkan pihak swasta khususnya para pengembang properti.
Pengelolaan transportasi publik massal, apalagi yang akan dibangun sampai 7 koridor sepanjang 70 kilometer tentu bukan pekerjaan yang ringan. Apalagi didalamnya ada keterlibatan swasta dalam pembangunannya serta ada aset-aset yang akan dikelola dari infrastruktur yang dibangun. Pengelolaan sarana transportasi massal menuntut pelayanan yang baik kepada pengguna. Apalagi jika Pemprov DKI berkeinginan pengguna kendaraan pribadi mau berpindah ke transportasi publik modern ini, maka aspek pelayanan menjadi sangat penting. Demikian pula jika Gubernur berharap nantinya pengelolaan LRT ini akan memberikan keuntungan untuk dikembangkan lebih lanjut dan mengembangkan transportasi publik lainnya, maka aspek pengelolaan usaha termasuk dalam mengelola aset dan melakukan kerjasama bisnis juga menjadi hal yang sangat penting). Keuntungan yang cukup dan didukung manajemen keuangan dan pengelolaan usaha yang baik, akan sangat mendukung untuk perbaikan layanan secara terus menerus.
Belajar dari pengelolaan Transjakarta, banyak kelemahan yang muncul dan menghambat peningkatan kualitas pelayanan maupun pengembangan perusahaan ketika masih berstatus BLUD. Bahkan sejarah pengelolaan Transjakarta menunjukkan pengelolaan Transjakarta dalam bentuk Badan Pengelola (BP) masih lebih baik dalam hal fleksibilitas dan kewenangan dibanding status BLUD. BP yang berada langsung dibawah Gubernur dapat melakukan pelaporan dan konsultasi langsung kepada Gubernur dalam pembuatan keputusan yang strategis. Sementara BLUD dengan status dibawah SKPD (Dinas Perhubungan) menyebabkan jalur birokrasi yang ditempuh menjadi lebih panjang, padahal kewenangan untuk keputusan strategis tersebut berada di Gubernur
Pengelolaan melalui BLUD menyebabkan pengelolaan anggaran akan mengikuti siklus APBD dan berdasarkan Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) yang sudah disusun sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 23 Tahun 2005 yang telah diubah dengan PP No 74 Tahun 2012. Dengan demikian, manajemen akan memiliki kewenangan yang terbatas dalam pengambilan keputusan yang strategis seperti penambahan armada busway, perbaikan halte dan jalur, pengelolaan asset di halte dan sebagainya. BUMD juga harus dipimpin oleh seorang PNS eselon 3, meskipun pada level manajer bisa diisi dari Non PNS (misalnya dari Kepolisian). Sehingga pilihan untuk mencari orang yang tepat dan memahami dengan baik pengelolaan transportasi publik khususnya LRT menjadi terbatas.
Dalam konteks memberikan pelayanan yang baik kepada pengguna, pengelolaan LRT melalui BLUD menyebabkan manajemen LRT tidak memiliki ruang kebebasan yang cukup dalam melakukan usaha-usaha dalam rangka perbaikan pelayanan tanpa sepengetahuan atasan (Kepala Dinas Perhubungan). Segala inisiatif maupun kreativitas untuk peningkatan pelayanan tetap harus mendapat persetujuan atasan. Demikian pula dalam hal pengelolaan keuangan dan peningkatan permodalan dalam rangka perbaikan pelayanan dan ekspansi kegiatan. Manajemen di bawah BLUD memiliki keterbatasan dalam hal mencari sumber pendanaan/investasi untuk pengembangan usahanya seperti melalui kemitraan strategis karena banyaknya aturan yang diikuti. Meskipun dalam PP No. 74 Tahun 2012 terdapat perluasan kewenangan bagi BLUD dalam pengelolaan asset dan keuangan, namun tetap harus mengikuti ketentuan perundang-undangan yang berlaku, termasuk aturan keuangan negara dan daerah.
Pendapatan dari jasa pelayanan yang diberikan dan hasil kerjasama BLUD dengan pihak lain dan/atau hasil usaha lainnya, meskipun dapat dikelola untuk membiayai belanja sesuai RBA, tetap harus tercatat sebagai Pendapatan Daerah Bukan Pajak (PDBP) dan pengelolaannya mengikuti ketentuan dalam PNBP/PDBP. Fleksibilitas pengelolaan belanja BLU juga harus dalam ambang batas RBA yang sudah disusun dan tidak boleh melampui ambang batas tersebut kecuali dengan persetujuan SKPD diatasnya. Belanja yang dilakukan oleh BLU juga harus mengikuti ketentuan dalam belanja daerah karena harus dilaporkan sebagai belanja barang dan jasa SKPD.
Belajar dari pengalaman Transjakarta, pengelolaan yang tidak fleksibel dan dinamis terutama dari sisi keuangan dan otoritas ini menyebabkan sulitnya pelayanan yang diberikan mencapai Standar Pelayanan Minimum. Bagaimanapun BLUD adalah institusi pemerintah daerah sehingga segala sesuatunya dijalankan secara birokratis sehingga operasionalnya menjadi relatif rumit. Ketergantungan terhadap instansi pendukung yang masih tinggi, koordinasi yang lambat antar instansi, mekanisme tentang Investasi yang belum jelas dan tidak adanya payung hukum dan aturan untuk menjalankan Sistem BRT secara komprehensif. Hal inilah kemudian yang mendorong lahirnya BUMD PT. Transjakarta melalui Peraturan Daerah.
Disisi lain, pengelolaan lewat BLUD juga berpotensi membuat manajemen tidak kreatif dan innovatif serta memiliki ketergantungan yang tinggi kepada Pemprov DKI Jakarta. Manajemen kurang memiliki jiwa kompetisi untuk mengelola perusahaan menjadi yang terbaik dalam memberikan pelayanan transportasi kepada masyarakay. Pada gilirannya perusahan kurang optimal memberikan keuntungan/pendapatan bagi Pemprov DKI Jakarta bagi pengembangan selanjutnya.
Pengelolaan melalui BUMD berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana pada PT. Transjakarta diyakini akan lebih baik dalam pengelolaan transportasi publik. Studi yang dilakukan oleh INSTRANS (2013) menyebutkan potensi pengelolaan yang lebih baik ini mengingat keputusan-keputusan untuk melakukan perbaikan dapat diambil oleh para direksi sendiri, tanpa harus menunggu petunjuk dari atas. Dengan bentuk BUMD juga memiliki keleluasaan untuk mendapatkan dana yang lebih besar, di luar dari uang tiket penumpang (non fare box revenue), seperti misalnya dari iklan, kerjasama dengan pihak ketiga, atau CSR tanpa harus minta persetujuan atasan, sehingga pelayanan dapat ditingkatkan tanpa harus membebani penumpang dalam bentuk kenaikkan tarif sesuai dengan biaya operasional. Dengan bentuk UPT/BLUD, pengelola Transjakarta tidak bisa menggali dana dari sumber-sumber lain, seperti iklan dan kerjasama dengan pihak ketiga secara lebih leluasa karena pemasangan iklan di halte-halte Transjakarta atau di bus menjadi domain Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Tapi dengan bentuk BUMD semuanya itu akan dapat terselesaikan secara mudah di tingkat direksi. Hal yang perlu diingatkan adalah agar perusahaan tetap berorientasi kepada kualitas pelayanan dan tidak semata pada mengejar profit yang sebesar-besarnya.
Jika pengelolaan LRT sudah dilakukan melalui BUMD dalam bentuk PT, maka akan terdapat tiga BUMD yang mengelola transportasi publik massal ibukota yaitu PT. MRT, PT. Transjakarta dan PT. LRT. Tahap selanjutnya adalah mengintegrasikan pengelolaan transportasi publik dalam suatu lembaga khusus semacam Badan Integratir dan/atau Regulator transportasi publik Jakarta. Keberadaan badan ini lebih untuk memudahkan koordinasi pengelolaan khususnya dalam melakukan integrasi dan interkoneksi antar transportasi publik di Jakarta yang akan memudahkan penumpang seperti integrasi halte, ticketing dan sebagainya. Kesamaan bentuk kelembagaan pengelolaan dan adanya badan yang mengkoordinasi ketiga perusahaan pengelola transportasi publik ini akan memudahkan proses konektivitas operasional transportasi publik di Jakarta. Pada tahap berikutnya, konektivitas dan integrasi ini sangat mungkin juga dilakukan dengan transportasi publik lain yang dikelola BUMN seperti pengelola Commuter Line (PT. KJC). Lembaga ini juga yang nantinya akan merintis pengelolaan transportasi publik lainnya seperti bus reguler AC/Non AC, Kopaja, metromini dan moda angkutan umum lainnya secara lebih terintegrasi, setidaknya melalui pengaturan standar pelayanan dan operasional yang lebib baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H