Memasuki usia yang ke 488 pada bulan Juni ini, Jakarta dalam usianya menjelang lima abad, semakin memunculkan beragam fenomena Kota Metropolitan dan ibukota sebuah negara Berkembang. Wajah modernitas dengan gedung-gedung pencakar langit, pusat hiburan, gemerlap malam dan pembangunan transportasi massal modern seperti MRT dan LRT serta kegiatan binis dan ekonomi yang terus tumbuh. Hal ini pula yang mengundang pendatang dari berbagai daerah, status sosial dan strata pendidikan untuk terus mengadu nasib di Jakarta. Sementara disisi lain Jakarta masih mengalami problem serius seperti kemacetan, banjir, kemiskinan dan pemukiman padat dan kumuh, serta kriminalitas yang semakin tinggi. Dengan keadaan dan segala kompleksitasnya, apakah warga Jakarta sudah bahagia ?
Â
Potret kebahagiaan warga Jakarta relatif terukur dan bisa dilihat dari hasil survey Indeks Kebahagiaan penduduk tahun 2014 yang belum lama dilansir oleh Badan Pusat Statistik. Hasil survei BPS tersebut menunjukan Indeks Kebahagiaan Penduduk Jakarta  sebesar 69.21. Angka Indeks Kebahagiaan Jakarta ini sedikit lebih tinggi dari pada Indeks Kebahagiaan Nasional yang sebesar 68,28. Hal ini wajar mengingat jika menggunakan ukuran kemajuan pembangunan, Jakarta bisa dikatakan kota paling modern di Indonesia dengan pendapatan perkapita penduduk tertinggi dan jauh diatas pendapatan per kapita nasional. Namun nyatanya Jakarta juga bukan merupakan propinsi dengan Indeks Kebahagiaan tertinggi di Indonesia. Beberapa propinsi memiliki Indeks Kebahagiaan yang lebih tinggi dengan tiga teratas adalah Riau dengan Indeks 72,42, Maluku 72,12 dan Kalimantan Timur 71,46. Angka ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi bukan merupakan variabel utama penentu kebahagiaan. Oleh karena itu Indeks kebahagiaan juga sering dikenal pengukuran yang "beyond GDP"
Â
Riau, Maluku dan Kalimantan Timur adalah propinsi dengan angka kemiskinan yang masih cukup tinggi. Secara ekonomi, Riau dan Kalimantan Timur memang daerah kaya sumberdaya alam seperti minyak dan gas bumi maupun mineral. Namun Maluku yang tidak memiliki minyak dan gas bumi justru menunjukkan Indeks Kebahagiaan yang juga lebih tinggi dari Jakarta. Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara juga memiliki indeks kebahagiaan yang lebih tinggi dari Jakarta yaitu masing-masing 69,80 dan 70,79. BPS menggunakan 10 indikator yang kemudian membentuk indeks komposit kebahagiaan. Indeks dibentuk dari tingkat kepuasan atas 10 indikator yaitu : 1) kesehatan, 2) pendidikan, 3) pekerjaan, 4)pendapatan rumah tangga, 5) keharmonisan keluarga, 6) ketersediaan waktu luang, 7) hubungan sosial, 8) kondisi rumah dan aset, 9) keadaan lingkungan, dan 10) kondisi keamanan.
Â
Jika ditelusuri lebih jauh dari 10 indikator tersebut, ternyata tingkat kepuasan paling rendah untuk Jakarta adalah untuk indikator pendidikan, pendapatan dan pekerjaan. Warga Jakarta cukup puas dengan keamanan, hubungan sosial dan keadaan lingkungan yang selama ini diduga menjadi image jelek lingkungan perkotaan. Tingkat kepuasan tertinggi diberikan untuk keharmonisan keluarga.
Â
Tingkat kepuasan yang rendah untuk indikator pendidikan, pendapatan dan pekerjaan yang menyebabkan indeks kebahagiaan warga Jakarta belum cukup tinggi tentu harus menjadi perhatian Pemda DKI Jakarta, karena ketiga indikator ini sangat lekat dengan kebijakan pemerintah. Pelayanan pendidikan adalah salah satu pelayanan dasar yang harus disediakan oleh pemerintah, selain kesehatan. Pendapatan dan pekerjaan terkait dengan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan lapangan pekerjaan yang layak bagi warganya melalui iklim usaha yang kondusif dan mendukung pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah serta sektor informal. Indeks kebahagiaan yang rendah untuk ketiga indikator tersebut menunjukkan masih belum optimalnya Pemda DKI dalam memberikan pelayanan pendidikan dan kebijakan yang belum mendukung untuk penyerapan lapangan kerja yang tinggi untuk penduduk Jakarta yang terus meningkat. Secara demografi, indeks kebahagiaan terendan di Jakarta juga terdapat pada penduduk dengan usia 24 tahun ke bawah, yang memiliki harapan yang cenderung tinggi namun tidak bisa terpenuhi.
Â
Jika kita melakuan pengukuran yang lebih dalam tentang kebahagiaan penduduk khususunya untuk perkotaan misalnya dengan ukuran Konsep Happy City seperti yang dikemukakan oleh Charles Montgomerry, mungkin hasilnya akan lebih memprihatinkan lagi. Montgomerry menggambarkan Happy City sebagai kota dimana ruang publik begitu banyak dan nyaman sehingga penduduk lebih sering berinteraksi di ruang publik yang terbuka, transportasi publik dan moda transportasi non mesin menjadi pilihan utama penduduk yang membuat mereka sering berinteraksi satu-sama lain. Penduduk saling terkoneksi satu-sama lain. pemerintah bersama warganya secara bersama-sama meningkatkan kualitas hidupnya melalui pelayanan dasar dan pelayanan publik yang semakin baik dan nyaman. Sehingga menghasilkan warga yang kreatif termasuk dalam mengembangkan kegiatan ekonomi. Sementara Jakarta dengan ruang publik dan interaksi masyarakat yang masih kurang dan transportasi publik yang masih buruk, kebahagiaan akhirnya hanya dinikmati mereka yang berpenghasilan tinggi dan menjadikan mall dan kafe-kafe sebagai tempat berinteraksi. Sementara sebagian lagi dalam tekanan yang tinggi di jalan raya akibat kemacetan yang tak kunjung terurai. Jadi, bagaimana Potret Kebahagian Warga DKI Jakarta sesungguhnya? []