Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Interfaith, Perkawinan Bagian 6: Perjalanan Dari Aku Menjadi Kita, Dari Pasangan Hidup Menjadi Sahabat dalam Tugas Suci

6 Oktober 2014   15:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:12 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Bersama teman-teman Anand Ashram

“Ada yang menanyakan kepada saya, ‘Bapak bicara soal agama melulu. Seolah-olah, masalah terbesar yang sedang dihadapi oleh bangsa kita adalah agama.’ Tidak, masalah terbesar yang dihadapi oleh bangsa kita bukan masalah agama. Tetapi masalah conditioning, masalah programming. Dan, masalah ini pula yang dihadapi oleh setiap bangsa, oleh seluruh umat manusia.  Kita sudah terkondisi, terprogram untuk mempercayai hal-hal tertentu. Padahal kepercayaan harus berkembang sesuai dengan kesadaran kita. Jika terjadi peningkatan kesadaran , maka kepercayaan pun harus ditingkatkan.

“Seorang anak kecil mempercayai ibunya. Menjelang usia remaja, ia mulai mempercayai para sahabatnya, pacarnya. Kalau sudah bekerja, ia akan mulai mempercayai rekan kerjanya. Bersama usia dan pengalaman hidup , kepercayaan dia pun berkembang terus. Ia bahkan mulai mempercayai berita di koran. Ia akan mempercayai siaran radio dan televisi. Kepercayaan yang berkembang terus ini sangat indah. Kepercayaan yang berkembang terus itu membuktikan bahwa kesadaran anda sedang meningkat. Sampai pada suatu ketika, anda akan mempercayai Keberadaan. Pada saat itu, kepercayaan anda baru bisa disebut ‘spiritual’.

“Seorang anak kecil di bawah usia lima tahun memperoleh conditioning dari orang tua, mendapatkan programming dari masyarakat. Lalu, berdasarkan conditioning dan programming yang diperolehnya ia menjadi Hindu atau Muslim atau Kristen atau Katolik atau Buddhis, atau entah apa. Ia mulai melihat Kebenaran dari satu sisi, dan seumur hidup ia melihat Kebenaran dari satu sisi saja. Kebiasaan dia melihat Kebenaran dari satu sisi ini yang berbahaya.  Dan, karena kebiasaan ini ditanamkan lewat conditioning agama, solusinya harus lewat agama pula.

“Seseorang yang bisa menerima setiap agama sebagai jalan sah menuju Tuhan telah terbebaskan dari conditioning. Sekarang, ia bisa menerima Kebenaran seutuhnya. Pandangan dia sudah mengalami perluasan. Telah terjadi revolusi dalam dirinya. Membebaskan diri dari conditioning agama juga tidak berarti bahwa anda melepaskan agama. Kenapa dilepaskan kalau agama itu memang merupakan jalan menuju Tuhan? Kenapa pula mempertahankannya  kalau sudah sampai tujuan? Tiba-tiba anda akan memiliki wawasan baru tentang jalan dan tujuan, tentang agama dan Tuhan. Orang-orang yang berwawasan baru inilah yang kita butuhkan. Sekali lagi deconditioning agama hanyalah sarana. Tujuannya adalah revolusi diri. tujuannya adalah kelahiran manusia baru. Dan manusia baru yang didambakan itu tidak akan lahir dari universitas yang berkiblat pada salah satu agama. Ia tidak akan menjadi alumni salah satu universitas. Ia akan  berkiblat pada universe – pada semesta! la akan menjadi alumni universe – alumni semesta!”(Krishna, Anand. (2002). Menemukan Jati Diri I Ching Bagi Orang Moderen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Beberapa pertanyaan dengan jawaban yang tidak memuaskan

Sampai keluarga kami pindah dari Pandeglang ke Semarang pada tahun 1997, sebenarnya masih ada pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. Pertanyaan tersebut sebenarnya sudah mulai mengiang-ngiang saat saya tugas belajar di Canada. Ada seorang teman dari Indonesia lulusan IPB yang melanjutkan kuliah di University of Manitoba. Dia mengirimi buku-buku tentang Saksi Yehovah. Pada hari minggu pun di televisi setempat, kadang saya melihat khotbah Church Non-Denomination, Gereja yang tidak masuk sekte mana pun. Kadang di kampus ada poster tentang Bahai. Ada juga brosur-brosur tentang sekte yang percaya akhir zaman sudah dekat. Saya hanya memperhatikan kebebasan keyakinan di sebuah kampus internasional.

Profesor kami pernah menyampaikan bahwa setelah Hongkong masuk Republik Rakyat China, pada waktu awal tahun pelajaran 2 baris di depan adalah para mahasiswa baru dari China yang rajin-rajin.  Akan tetapi seorang mahasiswa tugas belajar dari China pernah menyampaikan pada saya, bahwa setelah lulus dia harus bekerja di pelosok dan sulit mencari calon istri yang mau mendampingi di pelosok. Ada juga beberapa teman mahasiswa dari India, dan ada juga yang memakai surban seperti kelompok Shikh. Yang beragama Islam juga banyak, pernah kita shalat bareng saat hari Idul Adha.

Pertemuan dengan para mahasiswa dari berbagai negara tersebut, membuat saya merenung. Kalau saya lahir di Amerika, India atau China apakah agama yang saya anut masih sama? Kalau untuk masuk surga harus dengan kriteria yang sama, apakah adil? Ada orang yang berkeyakinan agama tertentu sejak kecil,dan  ada yang sampai tua bahkan mengenal agama yang dapat menyelamatkan pun tidak.

Saya pernah bertanya kepada seorang pendeta di Winnipeg tentang hal tersebut dan dia berkata dia lebih tertarik pada diri saya daripada menjawab pertanyaan tersebut. Sewaktu saya di Banten yang agamis, saya juga pernah bertanya pada beberapa pejabat yang dekat, yang bisa berbicara dari hati ke hati. Ada anak dari keluarga berada, lahir di keluarga yang harmonis, paham bahasa kitab suci, di lain pihak ada anak lain yang lahir di tempat lokalisasi dan tidak tahu siapa ayahnya dan tidak mengenal pendidikan agama. Mengapa anak yang satu akhirnya masuk surga, sedangkan anak yang lain, yang takdirnya berlainan harus masuk neraka? Bukan salah si anak untuk lahir di keluarga harmonis atau keluarga nggak jelas, tetapi mengapa yang satu akan abadi di surga sedang yang lain abadi di neraka?

Bagaimana pun dalam hati saya yakin tentang adanya Allah SWT, Tuhan, walau disebut dengan nama apa saja oleh berbagai keyakinan. Saya yakin juga dengan adanya makhluk-makhluk yang tak terlihat yang mempunyai tugas-tugas khusus yang merupakan wujud kekuasaan Tuhan. Saya juga yakin tentang kebenaran Kitab-Kitab Suci yang berasal dari Tuhan, kalaupun ada perbedaan itu hanya karena interpretasi saja karena kita mendengar lewat dari banyak mulut, dalam beberapa abad. Saya juga yakin dengan para Rasul pembawa peringatan dari Tuhan. Mungkin hanya pemahamannya sampai di kita yang berbeda setelah lewat banyak perantara dalam beberapa abad. Saya yakin akan ada orang/buku yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan saya.

Sampai dengan saat itu, jawaban mereka tidak bisa memuaskan diri saya, termasuk mengapa anak yang lahir kemudian mati akan masuk surga dan abadi di sana, sedangkan mereka yang berusia tua, dengan cobaan yang jauh lebih banyak sering terpeleset dan masuk neraka dan abadi di sana.

Mungkin kelemahan saya adalah saya terlalu terjebak kepada kesibukan bekerja (duniawi), ingin sukses dan kurang merenung. Entah berapa tahun pertanyaan tersebut mengganjal, tetapi saya sibuk urusan duniawi dan tidak serius mencari tahu jawabannya.

1412559968976677658
1412559968976677658

Foto Cover Buku I Ching

Interfaith

Baru dikemudian hari setelah aktif di Anand Ashram, saya memperoleh pemahaman bahwa setiap orang lahir dengan genetik tertentu yang merupakan warisan dari orang tuanya. Kemudian dia memperoleh pelajaran dari orangtua, pendidikan dan lingkungan sera repetitif dan intensif.  Sehingga kebenaran yang dipunyainya adalah kebenaran dengan kerangka pengalaman dia. Apabila dia lahir di negeri berbeda, diasuh orang tua berbeda, pendidikan dan lingkungan yang berbeda, maka pandangan kebenaran yang dimilikinya juga berbeda. Itulah sebabnya kita harus mengapresiasi pendapat orang lain, yang melihat kebenaran dari sisi yang berbeda. Dengan latihan meditasi seseorang berupaya melepaskan diri dari ‘conditioning’ yang membelenggunya sehingga dia bisa berpikir bebas.

Saya dan istri selalu ingat beberapa tahun sebagai referensi. Saya kawin tahun 1984, ketiga anak lahir tahun 1985, 1988 dan tahun 1993. Tugas belajar di Canada tahun 1985-1987. Bekerja di Aceh tahun 1987-1991 dan tertembak pada tahun 1990. Bekerja di banten 1991-1997. Bekerja di Semarang tahun 1997-2010. Mulai mengenal Anand Ashram di tahun 2004.

Setelah menjadi salah satu pengajar One Earth College of Higher Learning, dan mempelajari materi Neo Interfaith Studies dari Bapak Anand Krishna, saya baru memahami interfaith, benang merah kesamaan dari berbagai keyakinan.

Seorang sahabat mengirim artikel dari Newsweek, sebuah artikel yang ditulis pada tahun 2009. Pada tahun 2008 survey di US menyebutkan bahwa 76% penduduk beragama Kristen. Akan tetapi menurut artikel tersebut secara konsep sudah ada perkembangan mengenai keyakinan. 65 % warga yakin bahwa banyak keyakinan yang membawa kepada kehidupan/kebahagiaan abadi. Berbagai keyakinan merupakan berbagai jalan menuju Tuhan. Jelas itu bukan keyakinan Kristen yang dikenal sampai dengan kini. Kemudian disebutkan bahwa sejumlah orang mencari kebenaran spiritual di luar gereja. 30% warga menyebut mereka spiritual dan bukannya religius. Beberapa orang latihan yoga, pergi melakukan pelayanan di Komunitas Katholik, dan mengikuti retret Buddhis. Dan, itu semua diterima masyarakat. Pada tahun 2008, disebutkan bahwa 24 % warga berkeyakinan tentang adanya reinkarnasi. Kemudian lebih sepertiga warga ingin jenazahnya dikremasi, diperabukan. Menghormati berbagai keyakinan sebagai banyak jalan menuju Tuhan, meyakini hukum sebab-akibat, sehingga kita bertanggungjawab penuh atas keadaan diri kita. Kami melihat sebuah interfaith, nampaknya banyak faith, banyak keyakinan berbeda akan tetapi esensinya sama. Dan di kemudian hari saya melihat Visi Anand Ashram, yang merupakan visi Umat Manusia: One Earth, One Sky, One Humankind.

Kita bisa melihat di tengah masyarakat, seandainya mereka benar-benar yakin bahwa surga/neraka itu abadi , maka banyak orang akan takut melakukan kejahatan, menipu, korupsi, menyalahgunakan kekuasaan dan sebagainya. Akan tetapi nyatanya sebagian besar tetap melakukan hal tersebut, minimal itulah yang kita baca di media. Sehingga benarkah mereka meyakini surga/neraka itu abadi? Dalam pembicaraan formal, mereka akan menyangkal, akan tetapi praktek mengungkapkan hal yang berbeda.

Memilih,  Semarang atau Jakarta; Pegawai Daerah atau Pegawai Pusat

“Menjadi manusia itulah suratan takdir kita. Adakah kita sudah menjalani suratan itu? Adakah upaya-upaya konkret untuk mewujudkan rencana itu menjadi kenyataan? Tubuh manusia atau raga kita saat ini hanya sebuah blue print. Kita baru menjadi manusia di atas kertas. Kemanusiaan kita masih berbentuk sebuah proforma. Kita masih harus berupaya untuk memanusiakan jiwa kita.

“Kemampuan manusia untuk ‘memberi’ membedakan dirinya dari hewan. Kemampuan hewan untuk memberi sangat terbatas. Kemampuan manusia hampir tanpa batas. Makanan yang menjadi energi dalam diri seekor hewan, digunakan untuk keperluan dirinya saja. Hanya sedikit yang digunakan untuk sesuatu yang lain. Sebaliknya, manusia sesungguhnya hanya membutuhkan sedikit energi bagi dirinya. Lebih banyak energi yang dapat digunakannya untuk kepentingan umum yang lebih luas. Inilah kelebihan manusia. Inilah keunggulan manusia. Karena itu, sungguh tidak kodrati bila manusia hidup untuk dirinya sendiri. Sungguh tidak alami bila ia hanya memikirkan kepentingan diri. Manusia seperti itu melecehkan kemanusiaan dirinya sendiri.” (Krishna, Anand. (2008). Niti Sastra, Kebijakan Klasik bagi Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Adalah merupakan kebahagiaan tersendiri, kala melihat air mengalir dari bendung yang sudah dibangun dan para petani tampak bahagia. Hal itulah yang mempengaruhi diri saya sewaktu bekerja di Bengkulu, Aceh maupun Banten. Bisa berkontribusi membahagiakan masyarakat petani. Itulah sebabnya kala Bapak Direktur pembinaan Wilayah Barat bertanya apakah ingin bekerja di Pusat, di Jakarta atau menjadi Pemimpin Proyek Irigasi Jawa Tengah di Semarang, saya begitu cepat menjawab. Beliau menyampaikan terjadi tarik-ulur pemilihan Pemimpin Proyek Irigasi Jawa Tengah, apakah saya siap menerima tugas tersebut. Siap! Dan saya sekeluarga akhirnya pindah ke Semarang.

Sewaktu di Banten, ada satu saat kala saya dan istri mengajak karyawan dan istrinya untuk datang ke Solo, mereka menginap di di rumah kami. Satu bis penuh dan beberapa mobil ikut dalam perjalanan tersebut. Juga sewaktu anak bungsu kami yang baru lahir akan dibawa ke Pandeglang, seluruh pengemudi dan pengurusnya datang ke Solo dengan 2 minibis yang masing-masing berisi sekitar 7-8 orang. Dua pengemudi  bersama kami sekeluarga ke Pandeglang, Sedangkan sisanya naik kereta api yang kebanyakan baru pertama kali naik kereta api. Pernah juga pada waktu liburan teman-teman Budi,putra karyawan proyek kami ajak ke Solo, mampir ke Borobudur dan Prambanan.

Bagi beberapa teman mungkin bekerja di daerah tidak begitu menarik, lebih baik bekerja di Pusat. Kelamaan bekerja di daerah bisa melupakan karir untuk menjadi pejabat di Pusat. Karena banyak ke daerah-daerah maka saya mulai banyak membaca buku. Dan, salah satu buku  tersebut adalah (Krishna, Anand. (1998). Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama) kemudian (Krishna, Anand. (1999). Wedhatama Bagi Orang Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama). Buku yang sangat menarik dan mulai membuka cakrawala saya.

1412560024824754394
1412560024824754394

Foto Cover Buku Niti Sastra

Perjalanan ke Chiang Mai

Di tahun 2004, ada tawaran bagi saya untuk kembali ke Ditjen Pengelolaan Sumber daya Air di Jakarta ataupun masuk Departemen Pertanian. Saya tidak shalat istikharah, hanya diskusi dengan istri yang menanggapi, apa yang dicari? Beberapa pejabat di Jawa Tengah mengira saya senang sebagai pemimpin proyek yang basah. Tidak juga, saya dan  istri mensyukuri apa saja yang Tuhan berikan. Kalau mencari karir lebih baik di Pusat, tapi saya di daerah.

Rupanya kesadaran untuk tidak mengejar ambisi kedudukan di Jakrta, ataupun jabatan strategis sebagai pemimpin proyek yang berkuasa berbuah juga. Tidak berapa lama saya mendapat tugas untuk mengikuti pertemuan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air se Asean di Chiang Mai dan istri kami ikut. Salah seorang sahabat kami yang pernah bersama melakukan perjalanan ke Amerika sudah menjadi Dirjen, bertemu di Chiang May, tapi saya berkata saya tidak usah ditarik ke Jakarta.

Di Chiang Mai saya dan istri sempat naik Tuk-Tuk ke Temple Wat Phra That Doi Suthep yang berjarak 15 km dari Chiang Mai. Saya punya peta tetapi saya butuh kendaraan dan butuh pemandu jalan. Maka saya dan istri saya mencharter sebuah Tuk-Tuk untuk pergi ke sana. Setelah sebelumnya pergi ke tempat panggung pertunjukan gajah dan ular. Kami berdua ikut berdoa di temple dan seorang bhiksu menyipratkan air termasuk ke kepala saya dan istri saya.  Setelah itu kami berdua membeli patung buddha dari Jade Hijau. Dan, sepulang saya dari Thailand ada undangan untu latihan meditasi di dekat rumah kami di Semarang. Dan, itu akan mengubah kehidupan keluarga kami.

Ternyata untuk mencapai tujuan wisata, kita memerlukan pemandu, dan kendaraan. Tidak cukup dengan peta saja. Demikian pula mencapai tujuan hidup, kita pun memerlukan Pemandu yang handal yang tahu seluk-beluk tujuan.

Pentingnya Pemandu Kehidupan

Kita sering membaca pernyataan bahwa untuk mempelajari cara masak-memasak, kita butuh guru. Untuk mempelajari pengetahuan ilmiah kita butuh guru, bahkan seorang guru besar. Untuk mempelajari seni kita butuh mereka yang menguasai seni. Untuk membaca dan menulis di sekolah dasar pun kita memerlukan guru. Bukankah anak-anak yang dibesarkan hewan sejak bayi di hutan tidak bisa membaca dan menulis? Akan tetapi ketika berbicara tentang kesadaran banyak yang ragu, apakah membutuhkan guru juga? Setelah otak berkembang apakah kita juga masih memerlukan seorang guru? Bukankah buku-buku dan artikel di internet sudah tersebar, mudah diperoleh, dan secara otodidak seseorang bisa belajar sendiri?

“Kadang kita masih tidak meyakini ketulusan hati pemandu kita. Namun, bagi seorang pemandu, kesiapan diri kita untuk dipandu sudah cukup. Ia menawarkan jasanya tanpa syarat, tanpa keharusan untuk mempercayai ketulusannya. Seorang pemandu, seorang Guru Sejati menerima kesiapan diri kita, walau persiapan kita masih belum matang, masih mentah dan jauh dari sempurna. Sesungguhnya “Guru adalah Govind, Govind adalah Guru” seperti sering dinyanyikan oleh Kabir.  

“Tak ada yang salah dengan kitab-kitabmu. Tetapi, peta hanya dibutuhkan bila kau tidak memiliki pemandu. Lihat, aku siap melayanimu. Aku pemandumu. Ikutilah aku. Peta memang baik untuk dipelajari, tetapi mempelajari peta saja tak dapat mengantar kita sampai ke tujuan. “Berhentilah kalian mempelajari peta. Ikutilah aku. Aku Pemandumu. Berjalanlah bersamaku. Seungguhnya akulah jalan.” Kata Rano dalam buku Ishq Allah. (Krishna, Anand. (2005). Ishq Allah, Terlampauinya Batas Kewarasan Duniawi & Lahirnya Cinta Ilahi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Blog terkait:

http://triwidodo.wordpress.com/

http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/

http://www.oneearthmedia.net/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun