Belum Menyentuh Kedalaman Nurani
Kita bangga bahwa kita adalah bangsa yang beragama, di KTP selalu ada kolom agama yang kita anut. Akan tetapi betulkah kita sudah beragama? Apakah tindakan kita sudah mencerminkan tanda bahwa kita sudah beragama? Banyak terjadi korupsi, banyak praktek mafia pengadilan sehingga hanya KPK yang nampaknya masih bisa dipercaya. Diduga banyak yang mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, kemudian menggunakan kekerasan dengan dalih agama, apakah semua ini sudah mencerminkan diri bahwa kita telah beragama dengan benar? Jangan-jangan agama hanya dipakai sebagai kedok, dan nafsu yang telah menguasai diri dijadikan penguasa. Kita menuruti nafsu dengan mencari pembenaran dari segi agama. Agama selalu dikaitkan dengan hati-nurani, akan tetapi nampaknya kita akan kecewa berat kala merenungkan apakah mereka yang menyalahgunakan jabatan, mereka yang memberikan vonis ringan terhadap mereka yang melanggar hukum, mereka yang merekayasa kasus untuk menjatuhkan seseorang, mereka yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan telah menggunakan nurani mereka dalam semua tindakannya.
Kasih Sayang Dan Keadilan Telah Lama Ditinggalkan
Salah satu tolok ukur nyata dari negara dengan warganegara yang beragama adalah kasih sayang dan keadilan yang berkembang di tengah masyarakat. Dan, kita akan kecewa melihat praktek peradilan di negeri kita. Sangat jauh dari rasa sayang-menyayangi dan rasa keadilan terhadap sesama. Mereka yang menggunakan kekuasaan apakah itu kekuasaan uang atau jabatan sebagai alat untuk menyingkirkan pihak yang tidak disenanginya telah memakai hukum rimba, siapa yang kuat yang akan menang. Telah terjadi kemunduran keagamaan yang besar. Kasih-sayang dan rasa keadilan sudah ditinggalkan.
Sebagai negara yang seluruh penduduknya beragama, semestinya kita memiliki pengadilan yang bebas dan tidak memihak. Perselisihan antar warga negara harus diselesaikan dengan jernih, bebas dari segala macam campur tangan. Para hakim harus menolak dan menentang campur tangan dari pihak mana pun, mereka harus menggunakan nurani dan pikiran jernih untuk memutuskan suatu perkara. Bagaimana dengan prakteknya? Para Saksi, Jaksa, Hakim, Hakim Agung benarkah telah menjalankan agamanya, bukan hanya menjalankan ritual formal akan tetapi segala tindakannya selalu bernafaskan agama? Sebuah pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban, karena selalu terjawab oleh berita di media masa.
Saksi Yang Bohong di Pengadilan
“Maukah aku kabarkan kepada kalian sebesar-besarnya dosa besar? Itulah Syirk, durhaka kepada kedua orang tua, dan memberi kesaksian palsu.” (HR. Bukhari).
Saksi yang bohong setidaknya telah melakukan dosa besar, pertama dia telah berbohong, tindakan yang tidak disukai Tuhan dan kedua menzalimi orang yang dia persaksikan. Bahwa seseorang berani menjadi saksi palsu, maka dia telah berani melanggar Aturan Tuhan. Akan tetapi saat ini para saksi palsu tidak takut pada Ancaman Tuhan. Bukankah itu berarti agamanya hanya sebatas di KTP, dia lebih tunduk terhadap uang atau kekuasaan seseorang daripada Kekuasaan Tuhan?
Dalam beberapa agama juga disebutkan “apa pun benih yang kau tanam kau akan memetik hasilnya”. Mereka yang bersaksi palsu untuk menzalimi seseorang, maka akan datang suatu saat bahwa dia pun akan menghadapi masalah yang sama. Akan tetapi sejak pengadilan terhadap Socrates (470 Sebelum Masehi), terhadap Gusti Yesus di awal tahun Masehi sampai di abad modern ini masih saja banyak pengadilan yang dijadikan alat untuk menyingkirkan seseorang.
Sejak zaman dahulu, memberikan keterangan palsu dianggap tindakan nista, karena seorang yang memberikan keterangan palsu telah mengelabui masyarakat, bahkan atas nama sumpah yang dilakukannya menurut kitab suci yang dianutnya. Mengenai Sumpah Palsu dan Keterangan Palsu sudah diatur dengan Pasal 242 KUHAP. Pasal 242 ayat (1) menyatakan, Barang siapa dalam hal-hal yang menurut peraturan UU menuntut sesuatu keterangan dengan sumpah atau jika keterangan itu membawa akibat bagi hukum dengan sengaja memberi keterangan palsu, yang ditanggung dengan sumpah, baik dengan lisan atau dengan tulisan, maupun oleh dia sendiri atau kuasanya yang istimewa ditunjuk, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Orang tidak takut terhadap aturan negara karena yakin orang yang dipercayainya bisa menyelamatkan dirinya dari pidana. Orang tidak takut dengan larangan agama, sebab hukum sebab-akibat datangnya masih lama, apalagi surga dan neraka masih sangat panjang. Mereka yakin ada tindakan-tindakan tertentu yang dapat menghapus semua dosa yang telah mereka lakukan.
Contoh Nyata Rekayasa Kasus Terhadap Anand Krishna
Bukan hanya Saksi yang memberikan keterangan palsu, Berita Acara Pemeriksaan pun dapat diubah-ubah oleh petugas. Jaksa pun dengan alat bukti yang lemah pun berani menuntut. Yang penting ada 2 orang saksi atau lebih yang mau menjadi saksi. Walaupun semua saksi tidak mempunyai saksi mata, walaupun saksi tersebut terbukti rekayasa, yang penting dapat diajukan ke muka sidang pengadilan. Hakim pun entah bagaimana akan mengamini tuntutan Jaksa. Bila nanti ditengah jalan ada masalah maka Para Hakim Agung pun bisa membantu sang jaksa.
Kita akan melihat banyak sekali rekaman persidangan yang tidak dapat dibohongi. Contoh nyata adalah Tara Pradipta Laksmi yang mengaku dilecehkan Bapak Anand Krishna yang ternyata sesuai visum Dr. Mun’im Idris dari Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo masih perawan dan tak ada tanda-tanda kekerasan. Bapak Anand Krishna mempunyai penyakit diabetes dan tidak mungkin beliau melakukan perbuatan tersebut. Kita bahkan dapat membaca transkrip rekaman dengan suara asli dengan melakukan search............ “petikan dari documentary membongkar kasus rekayasa anand krishna”........ dimana rekaman tersebut dilengkapi dengan transkripnya.
Saat di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) pertama di Kepolisian bulan Februari 2010, Tara mengaku dilecehkan hanya di pegang, peluk, cium, dan di raba-raba. Waktu kejadian dinyatakan sekitar bulan Feb – Juni 2009. Dan hanya ada 1 saksi mata Maya Safira. Perlu di ketahui Maya sudah membantah seluruh keterangan Tara dalam persidangan.
Saat BAP ke 2 di Kepolisian sekitar bulan Maret 2010, Tara menambah pengakuan dengan menyatakan bahwa dia di masturbasi dan juga di suruh oral. Waktu kejadian masih dipertahankan sesuai BAP sebelumnya . Mengaku juga bahwa yang melihat hanya Maya. Dan, lagi-lagi Maya membantahnya….
Albertina Ho Menggantikan Hakim Lama
Albertina Ho Menggantikan Hakim Lama yang terbukti berselingkuh dengan saksi korban lainnya. Hakim yang bersangkutan kemudian memperoleh sanksi sebagai hakim non palu di Luar Jawa. Setelah dicheck oleh Hakim Albertina Ho di lapangan, kondisi yang dikatakan tempat kejadian itu tidak memungkinkan, bahkan yang namanya masturbasi oral itu apa, yang bersangkutan tidak tahu. Dan, itu semua ada dalam rekaman baik audio di Sidang Pengadilan maupun Video di TKP. Bila Tara betul-betul dilecehkan, maka di tempat perkara dia pasti menangis ingat kejadian yang traumatis. Kenapa dia masih senyam-senyum dan bahkan nampak lokasi TKP pun dia nggak tahu. Semua jelas hanya rekayasa. Sebuah kasus tanpa saksi dan tanpa visum kok bisa dibawa ke Sidang Pengadilan. Setelah terbukti visum masih perawan pun sidang tetap dilanjutkan.
Psikiater terkenal Prof Ni Luh Suryani di depan sidang mengungkapkan: “Seorang yang mengalami pelecehan seksual tidak bisa tersenyum-senyum atau ketawa-ketawa lucu saat muncul beberapa kali di beberapa media televisi nasional. Apalagi sampai dengan mudah menceritakan bahwa dirinya adalah seorang korban yang sudah lama mengalami pelecehan seksual. Kesan yang timbul yang saya perhatikan sang pelapor seperti ingin mencari popularitas saja . Dan 45 kali sesi terapi hipnoterapi dalam waktu 90 hari yang dilakukan oleh ahli hipnoterapi terhadap pelapor bisa-bisa inilah yang disebut brainwashing atau cuci otak.”
Oleh Hakim Albertina Ho Anand Krishna diputus bebas. Akan tetapi hanya sehari setelah putusan bebas tersebut Albertina Ho dipindahkan ke luar Jawa. Dan kemudian Jaksa Martha Berliana mengajukan kasasi.
Kasasi yang Cacat Hukum
Pengabulan Kasasi dalam kasus Anand Krishna memang perlu mendapat perhatian akibat adanya kesalahan-kesalahan seperti berkas sengketa merek sebagai pertimbangan hukum untuk memutuskan kasasi. Di samping itu, 2 (dua) di antara 3 (tiga) Hakim Agung yang menjadi Majelis Hakim Agung di kasus Anand Krishna, telah tersangkut kasus yang merusak kredibilitas mereka, yaitu dugaan suap 1,7 M (pada Hakim Agung Zaharuddin Utama) dan upaya pemalsuan vonis (pada Hakim Agung Achmad Yamanie). Anand Krishna sudah divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang dipimpin oleh Albertina Ho pada tanggal 22 Nopember 2011. Dan sesuai KUHP putusan bebas tidak bisa dikasasi. Jaksa Agung pun mengatakan di depan DPR hanya perkara korupsi dan yang menyangkut kerugian negara yang bisa dikasasi walau sudah divonis bebas.
Banyak kejanggalan hukum dan kasasi tidak memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan oleh Pasal 197 (1) ayat d, e, f dan h UU No. 8/1981 tentang KUHAP. Bila Susno Duaji belum juga dipaksa masuk penjara karena tidak memenuhi unsur yang disyarakatkan pasal 197, terhadap Anand Krishna diperlakukan lain.
Dalam Putusan MA itu juga tidak ada pertimbangan hukum bagi pengabulan kasasi dan memuat pertimbangan yang berasal dari kasus pidana pemalsuan merek dari Pengadilan Tinggi Jawa Barat di tahun 2006 yang sama sekali tidak terkait dengan kasus ini.
Segala kejanggalan ini membuat putusan cacat hukum dan karenanya batal demi hukum. Anand Krishna jelas berhak melakukan perlawanan terhadap upaya eksekusi yang tidak sah di mata hukum. Kejanggalan Putusan MA ini juga diamini kalangan akademisi hukum, seperti Prof Dr Nyoman Serikat Putrajaya SH MH (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro), Prof Dr Edward Omar Sharif Hiariej SH MHum (Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada), Dr I Dewa Gede Palguna SH MH (Mantan Hakim Konstitusi 2003-2008) dan Dr. IB Surya Jaya SH MH (Ahli Hukum Pidana Universitas Udayana) dalam Eksaminasi Publik atas Kasus Anand Krishna ini di Jogjakarta (18/10) dan Denpasar (25/10) pada tahun 2012.
Demikian pula pendapat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang berpendapat bahwa proses kasus terhadap kasus ini berindikasi adanya pelanggaran HAM terhadap Anand. Komnas HAM telah menulis surat kepada Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung dan Kepolisian untuk tidak menahan Anand Krishna.
Hukuman Bagi Orang Yang Zalim
“Dan janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. Mereka datang bergegas-gegas memenuhi panggilan dengan mengangkat kepalanya, sedang mata mereka tidak berkedip-kedip dan hati mereka kosong” (Terjemahan Qur’an Surat Ibrahim [14]: 42-43).
Disebutkan bahwa kafir adalah mempersekutukan Tuhan dengan sesuatu. Orang-orang yang menukar kebenaran dengan uang sebenarnya mereka telah “menuhankan” uang. Mereka telah kafir karena mempersekutukan Tuhan dengan uang. Disebutkan pula bahwa orang zalim adalah mereka yang berani melanggar terhadap aturan Tuhan. Mereka yang berani melakukan dusta dalam pengadilan termasuk mereka yang zalim.
Hukum sebab-akibat berjalan sangat rapi. Seseorang yang melakukan kejahataan dan masih tampak sejahtera, disebabkan oleh tumpukan kebaikan yang pernah dilakukan sebelumnya. Bila tumpukan kebaikan telah habis, bila benih kejahatan yang ditaburkannya telah menjadi pohon yang berbuah dan buah kejahatannya telah matang, maka buah kejahatan tersebut akan jatuh dengan sendirinya.
Mungkin mereka yang ikut ambil bagian dalam rekayasa kasus Anand Krishna, merasa di atas angin karena telah memasukkan Pak Anand ke Cipinang. Akan tetapi ingat, semakin lama Pak Anand di Cipinang dan dengan segala upaya keji untuk merusak mental beliau, maka semakin besar pula tumpukan karma baik mereka yang terlibat rekayasa berkurang dengan cepat. Mereka malah mempercepat kejatuhan mereka sendiri. Menurut kami, akan ada waktunya bagi mereka untuk merasakan hidup dalam penjara. Bila mereka belum sempat merasakan penjara semasa hidup mereka, maka dikehidupan selanjutnya mereka tetap akan merasakannya, mereka akan lahir lagi untuk merasakan derita. Mereka yang diam membisu kala kebenaran dizalimi, suatu saat juga akan merasakan hal yang sama kala orang yang mereka sayangi dizalimi. Bersuaralah! Disusun oleh TW.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H