Ilustrasi Raja Yayati dikutuk Shukracharya menjadi orang tua sumber ajitvadakayil blogspot com
“Jangan seperti pembantu di rumah, yang ikatannya dengan sesama pembantu, bukan dengan majikannya. Sehingga jika satu keluar, yang lain pun ikut keluar dengan dalih solidaritas. Solidaritas seperti itu lazim bagi para pembantu, tetapi tidak lazim bagi hamba Pangeran. Jadilah seorang hamba yang berhamba pada Gusti Pangeran. Hubungan Anda dengan sesama hamba Pangeran adalah karena cinta, bakti, pengabdian, dan penghambaan Anda pada Dia, bukan karena keterikatan Anda dengan sesama hamba. Ketika seorang sudah tidak berhamba lagi, Anda tidak berurusan dengannya. Apa yang menjadi tujuan Anda berhamba? Cinta Anda, kasih Anda, bakti Anda terhadap Gusti Pangeran. Anda ingin dekat denganNya, inilah yang disebut peningkatan kesadaran. Inilah kemajuan rohani, dan inilah pengembangan jiwa.” (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Devayani, dan Sharmistha merasa sebagai hamba-hamba Gusti Pangeran. Akan tetapi perlu waktu untuk mengalami kehidupan yang berliku-liku guna memahami hubungan utama adalah dengan “Sang Majikan”. Selama ini hidup mereka terfokus pada rasa iri sesama pelayan. Ingin pelayan lain tunduk terhadap mereka. Shukracharya memahami hal tersebut dan mengarahkan mereka kepada tujuan hidup sejati.
Perkawinan Raja Yayati dengan Devayani
Raja Vrishaparva, sangat tersentuh dengan pengorbanan sang putri yang bersedia menjadi pelayan Devayani. Dengan membawa 100 dayang-dayangnya, Sharmishta memakai pakaian sederhana dan hidup di padepokan Shukracharya sebagai pelayan Devayani. Raja Vrishaparva yakin bahwa Devayani adalah putri seorang Master dan dengan berjalannya waktu hatinya pasti luluh. Devayani sendiri mulai malu dengan keputusannya, dan rasa sakit hatinya akan penghinaan Sharmistha mulai mencair.
Beberapa waktu kemudian, Raja Yayati pergi ke hutan dan bertemu lagi dengan Devayani dengan Sharmistha dan 100 dayang-dayangnya. Devayani kemudian mengajak sang raja menemui ayahandanya. Shukracharya tahu bahwa Raja Yayati adalah raja yang baik dan bijaksana, sehingga kemudian dia berkata, bahwa walaupun pernikahan antara ksatria dengan putri brahmana belum diterima masyarakat, menurut Sastra Suci hal tersebut diperbolehkan. Shukracharya berpesan, bahwa dia menyetujui perkawinan putrinya dengan Raja Yayati akan tetapi mengingatkan bahwa sudah menjadi kebiasaan seorang raja mempunyai beberapa istri, akan tetapi janganlah Yayati menyakiti hati Devayani. Sang raja juga dingatkannya agar tidak menikahi Sharmistha yang sekarang menjadi pelayan Devayani. Devayani akhirnya diboyong di istana dan Sharmistha dengan 100 dayang-dayangnya pun pindah ke istana Raja Yayati.
Perkawina Raja Yayati dengan Sharmistha
Di halaman istana yang luas Sharmistha dan 100 dayangnya melayani Devayani yang telah menjadi istri Raja Yayati. Pada suatu hari kebetulan sang raja bertemu dengan Sharmistha di halaman belakang istana. Dan, Sharmistha pun piawai dalam menarik perhatian sang raja dengan menceritakan kejadian yang menimpanya. Raja Yayati terpesona oleh gaya cerita Sharmistha. Terketuk oleh kebesaran jiwa Sharmistha, sang raja mengajak Sharmistha kawin secara gandarwa. Pernikahan gandarwa adalah tradisi pernikahan para kesatria zaman dahulu yang berdasarkan suka sama suka antara seorang pria dan seorang wanita, tanpa ritual dan tanpa saksi. Akhirnya terjadilah perkawinan gandarwa antara Raja Yayati dengan Sharmistha, putri raja Vrishaparva. Dari Devayani lahirlah dua putra Yadu dan Turvasu. Dan dari Sharmistha lahirlah tiga putra Druhyu, Anu dan Puru.
Devayani tidak pernah mengira bahwa tindakannya menjadikan Sharmistha sebagai pelayannya justru berakibat menyakiti dirinya sendiri. Pada suatu hari, kala Devayani sedang beristirahat di taman istana dia melihat dua anak remaja tampan sedang bermain. Setelah ditanya mereka mengaku bahwa ayahnya adalah Raja Yayati sedangkan ibunya adalah Sharmistha. Devayani shocked, dan ingat kata-kata Kacha bahwa dia bukan hanya tidak akan memperoleh suami seorang brahmana, bahkan dia akan dimadu dengan pelayannya. Devayani segera meminta ayahandanya datang ke istana.
“Keinginan berlebihan akan selalu mengecewakan, karena tidak setiap keinginan akan terpenuhi. Matematika alam tidak bekerja sesuai dengan apa yang kita inginkan dan pikirkan. Hukum Alam bekerja sesuai dengan Kehendak-Nya. Janganlah kita diperbudak oleh keterikatan serta keinginan kita.” (Krishna, Anand. (2002). Fiqr Memasuki Alam Meditasi Lewat Gerbang Sufi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama)
Shukracharya paham bahwa kejadian ini harus dilalui dan akan membuat Devayani, Sharmistha dan Yayati mengalami peningkatan kesadaran. Shukracharya menemui sang raja dan mengatakan bahwa sang raja masih terikat dengan pola bawaan seorang raja yang terbiasa kawin lebih dari seorang dan bahkan telah melanggar pesannya untuk tidak menikahi Sharmistha. Shukracharya kemudian mengutuk sang raja untuk menjadi tua, penglihatannya menjadi lemah, pendengarannya hampir tuli serta ketampanan sang raja berubah menjadi keriput. Raja Yayati, Devayani dan Sharmistha kaget melihat kondisi sang raja. Sang raja kemudian mohon ampun atas kesalahan dirinya dan mohon agar kutukannya dicabut. Shukracharya berkata bahwa apabila salah seorang putranya bersedia mengambil ketuaan sang raja, maka kutukannya segera hilang.
Pesan Shukracharya kepada sang Putri
“Pertemuan antara pria dan wanita, umumnya hanyalah pertemuan antara dua ego. Dan pertemuan antara dua ego tidak pernah bertahan lama. Selalu terjadi tarik-menarik, masing-masing ingin menguasai yang lain. Dari hubungan seperti itulah lahir ego baru dengan segala kelemahan dan kekuatannya. Namun jika terjadi pertemuan agung di dalam Tuhan, maka hasilnya adalah kreativitas yang tertinggi, kesempurnaan abadi, kebahagiaan sejati.” (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Sebelum Shukracharya pergi meninggalkan istana, beliau memanggil Devayani dan berkata bahwa dulu Devayani memintanya agar Raja Yayati mengawini dirinya, kemudian kini Devayani memintanya agar Raja Yayati dikutuk. Devayani belum mencintai sang raja, Devayani hanya mencintai dirinya sendiri. Devayani diminta Shukracharya untuk merenungkan kehidupan.
Devayani dan Sharmistha sangat sedih melihat kondisi Raja Yayati. Devayani semakin sedih kala kedua putranya Yadu dan Turvasu menolak memberikan kemudaaannya kepada ayahandanya. Demikian pula Sharmistha merasa sedih kala dua putranya, Anu dan Druhyu juga menolak memberikan kemudaannya. Kedua wanita tersebut merasa bahwa mereka belum bisa membina putra-putra mereka untuk berani berkorban demi kemakmuran rakyat banyak yang akan berkurang dengan Raja yang uzur.
Adalah Puru putra ketiga Sharmistha yang bersedia mengorbankan keremajaannya dan memberikannya kepada sang ayah. Raja Yayati kemudian mengumumkan bahwa putra mahkota yang akan menggantikan dirinya nanti adalah Puru.
Raja Yayati menjadi muda kembali dan memerintah kerajaan dengan adil dan bijaksana. Kemarahan Devayani terhadap Sharmistha sudah berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Bahkan kini Devayani telah dikaruniai seorang Putri bernama Madavi. Dewayani bahkan memberikan penghormatan kepada Puru atas pengorbanannya. Sharmistha sedih melihat putranya yang kelihatan tua, tetapi sekaligus bangga mempunyai putra yang berjiwa agung.
Akhir Kisah Raja Yayati, Devayani dan Sharmistha
“Umumnya keterikatan kita pada dunia benda, harta kekayaan, keluarga dan kerabat yang menjadi penyebab ‘susah mati’. Kita tidak rela meninggalkan segala apa yang kita miliki. Kita tahu bila segalanya mesti di sini, tetapi tidak menyadarinya, baru sekedar tahu. Maka kita tidak rela meninggalkannya. Sanyas Ashram adalah suatu masa di mana sesungguhnya kita mencicipi kebebasan mutlak. Sayang sekali, seperti burung-burung yang sudah terbiasa hidup di dalam sangkar, kita pun tidak rela meninggalkan sangkar dunia ini. Masa transisi dari Vanaprashta menuju Sanyas tidak bisa ditentukan. Bisa satu tahun, dua tahun, atau sepuluh tahun. Bisa juga sehari, seminggu, sebulan. Semuanya kembali kepada diri kita sendiri, kepada persiapan diri masing-masing.” (Krishna, Anand. (2012).Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Setelah mempunyai beberapa putra, sesungguhnya ikatan antara suami istri telah mulai mengendor, ikatan suami dan istri terhadap anak-anak mereka menguat. Bila anak-anak sudah berkeluarga ikatan dengan anak-anak pun mengendor. Hal yang alami tersebut penting agar saat meninggal dunia keterikatan terhadap keluarga berkurang sehingga seseorang bisa meninggal dengan rasa ikhlas.
Pada suatu ketika Raja Yayati, Devayani dan Sharmistha bisa memahami nasehat Shukracharya untuk mengubah cinta kasih suami-istri menjadi kasih sayang kepada mitra hidup dalam menjalani peningkatan spiritual. Akhirnya pada suatu hari Raja Yayati memanggil Puru untuk mengembalikan kemudaannya. Puru setelah menjadi muda kembali, kemudian dinobatkan sebagai raja pengganti Yayati. Raja Yayati juga sudah memaafkan para putra yang lain, Yadu diminta menjadi raja di Daerah Selatan, Druhyu menjadi raja di Barat Daya, Turvasu dan Anu di daerah Utara. Yayati kemudian menjalani Vanaprastha, meninggalkan istana bersama Devayani dan Sharmistha mendekatkan diri kepada Hyang Widhi agar pada suatu ketika dapat mengalami kebebasan sejati.
Keturunan Yadu disebut Yadava dan Sri Krishna terlahir sebagai seorang Yadava. Korawa dan Pandawa adalah keturunan Puru. Dinasti Puru disebut Pauravas disebutkan dalam Rgveda dan mereka berkembang di tepi Sungai Sarasvati.
Note Tambahan
Seorang penulis dari Kerala, India mempunyai keyakinan Raja Yayati telah mengembangkan wilayah meliputi Sapta Sindhu. Lima anak nya Yadu, Druhyu, Puru, Anu dan Turvashu berkaitan dengan suku-suku utama Rgveda dari 5000 SM. Keturunan Druhyus, juga disebutkan dalam Rgveda. Mereka tinggal di wilayah sungai Sarasvati dan kemudian bermigrasi Utara saat sungai mengering pada tahun 4000 SM akibat perubahan tektonik di mulut sungai di Himalaya. Mereka membangun Stonehenge dan disebut Druid. Bagi sang penulis masih ada kaitan antara Suara Pranava Om dengan Amen, Shalom dan Omkar. Aristoleles menulis Yahudi berasal dari Kalani, menurut penulis tersebut yang dimaksud adalah Kerala.
Sindhu, Shin, Chin, Shintu, Hindu, Hindia, Indo mempunyai kaitan. Ramayana terjadi sekitar tahun 8000 Sebelum Masehi kala Peradaban Sindhu dari India sampai Australia masih merupakan satu benua.
“Peradaban Sindhu terhampar dari Sungai Sindhu di India sampai Astraleya, Australia yang pada zaman dahulu masih merupakan satu Continent. (Krishna, Anand. (2010). Spiritual Astrology, The Ancient Art of Self Empowerment, Bhakti Seva, Terjemahan Bebas, Re-editing, dan Catatan Oleh Anand Krishna.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Situs artikel terkait
http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/
http://www.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
http://www.kompasiana.com/triwidodo
November 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H