Mohon tunggu...
Triwidodo Djokorahardjo
Triwidodo Djokorahardjo Mohon Tunggu... lainnya -

Pemerhati kehidupan http://triwidodo.wordpress.com Pengajar Neo Interfaith Studies dari Program Online One Earth College of Higher Learning (http://www.oneearthcollege.com/id/ )

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Berakhirnya Zaman Edan dan Lahirnya Indonesia Baru

4 Mei 2013   03:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:08 421
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merebaknya Epidemi Egoisme

Egoisme telah beranak-pinak menumbuhkembangkan individualisme, materialisme dan hedonisme ke seluruh negeri. Kekuatan dunia benda amatlah nyata. Melihat tayangan iklan tentang rumah dan apartemen mewah, ajakan berlibur ke ujung dunia, kendaraan dan perabot supermewah, mestinya sudah tak ada seorang warga negarapun yang kelaparan, yang tak sanggup mendapatkan nasi dalam kesehariannya. Betapa banyaknya rumah mewah yang dikuasai seorang pejabat yang terkena kasus KPK, mestinya tidak ada lagi perjuangan berat bagi seorang kepala rumah tangga di ibukota untuk memperoleh sertifikat Rumah Sangat Sederhana. Tetapi yang semestinya tersebut belum terjadi, ada yang bermewah-ria dan ada yang kesulitan hidup membelitnya. Masyarakat sudah sangat konsumtif sehingga dana yang seharusnya untuk memutar roda ekonomi dipakai untuk keperluan konsumtif. Anggaran Pemerintah pun digerogoti untuk memenuhi kebutuhan konsumtif para koruptor.

Demi perkembangan perusahaan, pabrik perakit kendaraan harus memutar otak mempengaruhi masyarakat agar mengganti kendaraan lama dengan kendaraan baru berdasar nilai gengsi diri, walaupun kendaraan lama masih laik jalan. Ego selalu dipicu untuk memenuhi “more” dan mengabaikan “enough” dan memikirkan kepentingan “all”. Bukan hanya dalam hal transportasi dalam segala bidang masyarakat selalu dipicu untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Sebuah ilusi besar yang menyemarakkan epidemi egoisme.

“Ego selalu terburu-buru. Selalu tergesa-gesa. Selalu mencari jalan pintas, short cut. Dan, demi kepentingannya, ia bisa mengabaikan kepentingan umum. Demi keuntungannya, ia bisa menyengsarakan, merugikan orang lain.“ (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Zaman Edan: Zaman Penuh Ketidakpastian

Epidemi egoisme telah menciptakan zaman edan seperti yang kita baca setiap hari di media masa. Mengikuti gelombang zaman edan kita menjadi galau, mana yang benar? Mana yang rekayasa? Putusan hakim atau hakim agung mana yang murni dari pertimbangan nurani tanpa pengaruh luar? Dakwaan Jaksa mana yang murni mempertimbangkan keadilan masyarakat? Berita Acara Pemeriksaan Polisi mana yang sesuai kaidah keprofesionalan. Pertimbangan Wakil Rakyat mana yang benar-benar mewakili rakyat dan bukan kepentingan pribadi atau golongan? Fatwa instansi keagamaan mana yang bersih dari kepentingan politik dan kekuasaan? Apa yang melatar belakangi Ujian Nasonal masih dilaksanakan, walau kasasi pemerintah telah ditolak Mahkamah Agung? Masih banyak deretan masalah yang tidak akan ada habisnya. Kesemuanya itu berakar pada egoisme yang mencari jalan pintas untuk memperoleh kepuasan pribadi/kelompok dengan menghalalkan segala cara.

Terjadi banyak disorientasi di tengah masyarakat, seperti penjelasan Anand Krishna, “Umumnya, manusia memang berorientasi pada Otak atau Hati. Ada yang ‘Head-Oriented’, ada yang ‘Heart-Oriented’. Orientasi pada Otak melahirkan para saintis, para politisi, para pengusaha yang mahir mencari keuntungan……. Sementara itu, Orientasi pada Hati melahirkan para seniman, para penyair, penulis, dan tentu saja para pendidik dan para pemuka agama. Kelompok kedua ini tidak terlalu pintar dalam urusan hitung-menghitung……. Di tanah air kita ada kalanya terjadi tumpang-tindih. Seorang artis, seorang pemandu kerohanian yang “heart oriented” menjadi pejabat, memasuki ranah politis. Kemudian seorang pengusaha yang “head oriented” memasuki bidang pendidikan, sehingga tujuan pembinaan anak bangsanya terpinggirkan oleh pencarian keuntungan semata.” (Krishna, Anand. (2007). Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan.Pustaka Bali Post)

Perkembangan Zaman Baru

Bagaimana pun gelombang lama selalu terdorong gelombang baru ke tepi pantai, zaman edan akan terdorong oleh zaman Indonesia Baru. Sejarawan Arnold Toynbe mengingatkan bahwa semua peradaban itu mengalami kelahiran, mengalami perkembangan sampai mencapai puncak dan kemudian mulai mengalami degradasi, penuaan dan akhirnya mati. Zaman Edan ini sudah mulai menunjukkan ketuaannya. KPK perlu didukung agar korupsi dan manipulasi mengalami degradasi lebih cepat. Kita juga lebih baik mulai berfokus dan merawat perkembangan zaman baru, bayi kesadaran, kebaikan dan keadilan agar berkembang dengan sehat.

Anand Krishna mempunyai visi tentang Manusia Baru, “Manusia Baru adalah Manusia Sempurna dalam pengertian “The Total Man”. Manusia “Lengkap”. Manusia Baru yang tidak diperbudak oleh hati maupun otak. Ia mengendalikan keduanya. Ia tahu persis kapan menggunakan hati, dan kapan mengunakan otak. Ia bukanlah “Pembantu” hati atau otak, ia adalah “Majikan” yang mengendalikan keduanya. (Krishna, Anand. (2007). Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan.Pustaka Bali Post)

Anand Krishna dalam buku “Be Happy!” merujuk pengamatan Dr. David R.Hawkins yang menyampaikan tingkatan Level Kinesiologi dari orang yang putus asa, egois sampai orang yang memperhatikan kesejahteraan seluruh umat manusia. Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari gerak (the science human movement) yang diaplikasikan dan menjelaskan tentang gerak tubuh manusia.

Level 20. level terendah yang dapat dideteksi tanpa peralatan canggih. Ketika seseorang dalam keadaan memalukan, dipermalukan, atau mempermalukan orang lain. Energi power sangat rendah , maka mereka berusaha mencari energi force dari luar diri dengan cara yang merusak. Para teroris berada pada level ini.

Sedikit di atas level 30. seseorang merasa bersalah.

Level 50 adalah level para apatis. Ia merasa tidak berdaya. Padahal perasaan itu bukanlah nperasaan yang benar. Perasaan itu muncul karena energinya berada pada level yang rendah.

Level 75. Seseorang selalu berduka. Bagi orang-orang pada level ini hidup di dunia sungguh tragis.

Level 100. Rasa takut. Orang byang menakut-takuti pun hanya mengungkapkan apa yang ada di dalam mereka sendiri. Pada level ini manusia tetap gelisah.

Level 100. Border line antar sifat manusiawi dan hewani. Berada di atas ini kita baru menjadi manusia.

Level 125. Baru muncul keinginan.

Level 150. Amarah. Tidak terpenuhinya keinginan membuat kita kecewa, marah.

Level 175. Kebanggaan / keangkuhan.

Level 200. Semangat yang membara. Saat ini hanya 15% warga dunia yang berada di atas level 200. kira-kira 85% yang lain berada antara level 175 dan 200. level yang berbahaya kalau mereka terjebak dalam keangkuhan diri bisa turun dalam level sebelumnya.

Level 250. Seseorang meraih keseimbangan. Ia bekerja tanpa pamrih. Setidaknya tidak hanya mementingkan diri dan kelompok kecil lingkaran terdekatnya.

Level 310. Kesiapsediaan. Kesigapan.

Level 350. Kita menerima diri sepenuhnya.

Level 400. Manuasia menjadi bijak.

Level 500. Cinta. Inilah level aman. Bila sudah mengenal cinta, kesadaran kita tak akan banyak merosot. Warga dunia yang mencapai ini tidak lebih dari 4%.

Kedamaian di masa lalu hanyalah sebuah mitos yang terlanjur kita percayai. Perbudakan masih dibenarkan. Pembunuhan masih diterima. Orang yang berada pada tingkat energi yang rendah telah mengacaukan dunia kita.  Mereka adalah orang yang percaya pada kekerasan dan paksaan. Mereka yang berada pada level 500 sudah pasti gelisah melihat keadaan dunia saat ini. Mereka menggunakan energi kegelisahan mereka untuk secara aktif menciptakan dunia baru.

Level 540. Meraih keceriaan.

Level 600. Pembawa kedamaian.

Level 700-1.000. Pencerahan sempurna.

“Aku yakin bahwa setidaknya kita dapat mengubah keadaan kita sendiri. Kemudian, diri yang berubah itu dapat menjadi bibit bagi perubahan. Bibit yogurt secuil dapat mengubah secawan susu menjadi yogurt. Bibit yogurt, susu dan yogurt, alam yang bekerja sesuai dengan hukumnya. Aku hanya berusaha untuk menciptakan bibit, itu saja. Selanjutnya apa yang terjadi adalah kehendak Ilahi.” (Krishna, Anand. (2008). Be Happy! Jadilah bahagia dan berkah bagi dunia.  Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

Anand Krishna tidak ingin mendapatkan kedudukan atau kekayaan dari buku-bukunya. Anand Krishna konsisten menyebarkan kesadaran, yakin bahwa Indonesia berubah bila warga negaranya mulai berubah. Melihat status jejaring sosial Facebook, Twitter, Kompasiana dan lain-lain sudah mulai tampak bangkitnya kesadaran di tengah masyarakat. Keberhasilan Jokowi Ahok menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jaya adalah salah satu bukti bahwa masyarakat yang sadar bisa mengalahkan status quo .  Gelombang lama selalu terdorong ke pantai oleh gelombang baru. Kesemrawutan bangsa dalam zaman edan akan terdorong oleh gelombang baru kesadaraan dalam Zaman Indonesia baru.

Indonesia Baru

“Kita sedang menuju dunia (baru) di mana kasih dan kesadaran akan kemahahadiran Tuhan menjadi landasan bagi setiap interaksi antarmanusia, sehingga terwujudlah harmoni yang sejati.” (Krishna, Anand. (2012). Sanyas Dharma Mastering the Art of Science of Discipleship Sebuah Panduan bagi Penggiat Dan Perkumpulan Spiritual.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)

“Indonesia Baru yang kulihat ialah Indonesia buatan Putera-Puterinya sendiri. Indonesia yang dibuat oleh Orang-Orang Indonesia sendiri, dengan kesadaran “keindonesiaannya”......... Yang Mempersatuan Kita Bukanlah Sekedar Penderitaan, Musibah Atau Kesamaan Nasib... Yang Mempersatukan Kita, Putera-Puteri Indonesia, Adalah Sebuah “Kesadaran” Bahwasanya Di Balik Segala Macam Perbedaan Yang Terpandang, Adalah Kesatuan Dan Persatuan Ilahi. Betapa mulianya, betapa luhurnya cara pandang para leluhur kita yang bijak “Kita berbeda, namun itu tidak berarti bahwa aku harus memusuhimu, harus pilih kasih, dan berperilaku beda terhadapmu.” Kau Muslim, Kau Katolik, Kau Kristen, Kau Buddhis, Kau Konghucu, Kau Hindu, Kau Bahai, Kau Tidak Berada Dalam Salah Satu Agama Formil Namun Percaya Pada Kekuatan Ilahi... Siapa Pun Kau, Kau Orang Indonesia... Dan, Aku Cinta Kau!” (Krishna, Anand. (2005). INDONESIA  BARU. One Earth Media)

Indonesia Baru akan cepat terwujud bila masyarakat yang telah sadar selalu berbagi kesadarannya sesuai kemampuan yang dimilikinya. Gelombang lama selalu terdorong ke pantai oleh gelombang baru. Kita semua dapat mempercepat gelombang baru tersebut dengan berbagi kesadaran. Disusun oleh TW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun