Gambar Sati Mahadeva menikah sumber www metromasti com
Bhagavad Gita 4:24 : “Persembahan adalah Brahman – Gusti Pangeran, Sang Jiwa Agung, Tuhan Hyang Maha Esa; tindakan mempersembahkan pun Dia; dan Dia pula yang mempersembahkan kepada Api Hyang Menyucikan, yang adalah Dia juga. Demikian, seseorang yang melihat-Nya dalam setiap perbuatan, niscaya mencapai-Nya.” (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Mempersembahkan hidupnya pada Mahadeva
Kisah Sati mencintai Mahadeva sejak kecil adalah sebuah pelajaran bagi manusia yang selalu minta harta benda, kekuasaan, dan ketenaran dari Tuhan. Padahal kesemuanya itu tidak ada yang abadi, tidak sesuatu pun dapat membahagiakan manusia selamanya. Yang abadi adalah Dia, maka fokus manusia seharusnya bukanlah pada milik-Nya akan tetapi pada Dia Hyang Maha Memiliki. Inilah contoh yang diberikan Sati bahwa dia tidak tergoda oleh kemewahan istana orang-tuanya, tidak tergoda oleh kekuasaan yang dimilikinya sebagai putri seorang Prajapati, bahkan Sati tidak tertarik kepada para Raja dan Pangeran yang disodorkan ayahandanya sebagai calon suaaminya. Sati hanya mendambakan Shiva sang Mahadeva. Dalam kisah memang digambarkan bahwa Sati maupun Mahadeva berwujud manusia, akan tetapi itu adalah contoh bagaimana seorang manusia yang sungguh-sungguh sangat mencintai Gusti Pangeran.
“Wahai Hyang Maha Tinggi, Sang Pencipta dan Pemelihara Semesta, Hanyalah Engkau yang kurindukan! Bukan kemewahan, pun bukan kekayaan, Anak, siswa, murid, pujian dan kedudukan. Tak satu pun yang kuhendaki. Aku tak butuh pengakuan sebagai. Seniman, penyair, atau penulis. Adalah kesadaran akan KasihMu yang. Tulus nan tanpa pamrih. Hanyalah itu yang kuinginkan dalam Setiap masa kehidupanku.” (Krishna, Anand. (2010). The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Jalan yang dilakukan Sati adalah lewat persembahan. Tindakan Sati meninggalkan istana untuk hidup di pertapaan tempat pemujaan Shiva di tengah hutan adalah sebagai persembahan. Tidakan Puasa Sati, untuk mengurangi konsumsi makanannya juga dilakukannya sebagai persembahan. Bertahun-tahun Sati menjalani hal demikian dan dia selalu mengurangi konsumsi makanannya sehingga akhirnya dia hanya makan satu helai daun sehari. Puasa digunakannya untuk mendekatkan diri pada Hyang Maha Kuasa.
Sati memberikan keteladana bagaimana menjadi ‘Murid’
“Seorang ‘Murid’, dalam pemahaman bahasa Sindhi, bahasa ibuku, adalah seorang yang memiliki ‘murad’ atau keinginan tunggal yang sungguh-sungguh untuk mencapai kesadaran tertinggi. Silakan menyebut kesadaran tertinggi itu kesadaran murni, atau jika lebih suka dengan penggunaan istilah Gusti, atau Tuhan, maka gunakanlah istilah itu. Keinginan untuk menyadari kehadiran Gusti, Sang Pangeran, Hyang Maha Tinggi, atau Tuhan di dalam diri itulah keinginan tunggal yang dimaksud. Bila kita masih menginginkan sesuatu dari Tuhan, dan bukan Tuhan itu sendiri yang kita inginkan, maka kita belum menjadi murid. Murad kita, keinginan kita, masih belum sungguh-sungguh. Kita masih menginginkan manfaat dari Tuhan. Kita masih ingin memanfaatkan Tuhan. Apakah kesadaran kita sudah mencapai tingkat tempat kita bisa mengatakan bahwa hanya Dia Hyang Mahatinggi? Jika kita belum menganggapnya Hyang Mahatinggi, kita tak akan pernah memiliki murad atau keinginan tunggal untuk memiliki kehadiranNya dalam keseharian hidup kita. Bila kita belum menyadariNya sebagai Hyang Mahatinggi, kita akan menyejajarkan keinginan kita untuk menyadari kehadiranNya dengan keinginan-keinginan lain. Dan, itulah saat tercipta ilusi Dia sangat jauh.” (Krishna, Anand. (2010). The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Dengan kesungguhan Sati, maka Shiva sang Mahadeva tergerak menemui Sati . Shiva menyelesaikan tapanya yang bahkan tidak tergerak saat dirayu Sang Kamadeva melalui gadis jelita Vasantha ciptaan Brahma. Vasantha sendiri adalah nama dari musim semi, musim yang membuat manusia berbahagia.
Shiva sang Mahadeva tergerak menyelesaikan tapanya dan menemui Sati yang telah mempersembahkan hidupnya kepadanya. Dikatakan bahwa Tuhan bersemayam dalam dada seorang panembahnya.
Saat Sati menyampaikan keinginan untuk menjadi istrinya, Mahadeva menyanggupinya dan berjanji akan segera meminangnya ke istana orang tuanya.
Shiva menikahi Sati
“Diriku ini Milik-Mu. Inilah penyerahan diri. Inilah keikhlasan dan kepasrahan diri yang sempurna. Tanpa embel-embel. Inilah cinta yang tak terbatas, dan tanpa syarat. Cinta seperti ini adalah suatu ‘kejadian’ yang jarang terjadi. Inilah kejadian yang ditunggu-tunggu oleh jiwa. Inilah kejadian yang dapat mengantar jiwa pada tahap evolusi berikutnya, tempat ia ‘menjadi’cinta. Tahap pertama adalah penyerahan diri: ‘Aku milik-Mu’. Inilah ‘kejadian’ awal. Saat kejadian ini, ego kita sudah knock out, flat on the ground. Ia sudah tidak berdiri tegak lagi. Ia sudah tidak berdaya. Diri-Mu adalah Milikku. Inilah langkah kedua setelah penyerahan diri. Setelah penyerahan diri, sekarang pernyataan kepemilikan diri. Aku telah menjadi milik Gusti Pangeran, sekarang Gusti Pangeran menjadi milikku. ‘Cintaku untuk-Mu semata untuk Melayani-Mu’ tak ada kepentingan pribadi, tak ada tuntutan birahi, tak ada urusan kepuasan diri. ‘Harapanku padaMu’, bukanlah supaya kau membalas cintaku, tapi ‘semoga Kau berkenan atas ungkapan kasihku padaMu’. Cinta macam apakah ini? Inilah Cinta Sejati, inilah Kasih Ilahi. Nafsu birahi selalu menuntut, cinta penuh emosi memberi, tapi selalu mengharapkan balasan/imbalan. Cinta sejati adalah ungkapan kasih ilahi yang selalu memberi, memberi, dan memberi. Ia tidak menuntut sesuatu. Ia tidak mengharapkan imbalan. Ia tidak peduli akan balasan.” (Krishna, Anand. (2010). The Ultimate Learning Pembelajaran Untuk Berkesadaran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)