Foto bersama Budi dan Pipik di Baro Raya Aceh th 1989
Tertembak di Aceh Limpa Diangkat Paru-Paru Kiri Dijahit
“Pasangan kita bukanlah milik kita, karena hanya Dialah Pemilik Tunggal Alam Semesta – Al Malik Syukurilah keberadaannya disamping Anda, karena Ia telah menitipkannya kepada Anda.” (Krishna, Anand. (2006). Saptapadi, Tujuh Langkah Menuju Keluarga Bahagia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Lebih kurang dua minggu sebelum kejadian, saya mengantar Bapak Dirjen Pengairan Subandi inspekasi Proyek Bendung Pante Lhong. Kemudian saya mengantar rombongan Bapak Dirjen ke Proyek Jamboaye Aceh Timur dan ke Medan Sumatera Utara. Tidak lama kemudian istri dan anak menyusul ke Medan dan segera naik pesawat ke Jakarta selanjutnya ke Solo. Setelah itu saya kembali ke Bireuen. Waktu itu bulan puasa dan rencananya Idul Fitri, saya akan berlebaran di Solo bersama keluarga yang telah duluan ke Solo.
Pada saat umur saya 36 tahun, dengan semangat bekerja yang tinggi saya telah diberi tugas sebagai Pemimpin Proyek Irigasi Aceh Utara di Bireuen, Aceh. Pada hari Saptu 7 April 1990, pada pertengahan bulan puasa, sehabis makan sahur dan belum menginjak waktu subuh, dalam perjalanan dinas ke Banda Aceh saya tertembak. Ada peluru M 16 mengenai mobil dan tiga pecahannya mengenai tubuh saya. Satu pecahan mengenai kulit di pinggang, satu lagi mengenai ujung paru paru dan satu pecahan peluru lainnya mengiris limpa saya.
Allahu Akbar, refleks teriakan saya. Seperti ada cahaya di mata saya, kemudian selama beberapa detik saya tidak bisa melihat apa-apa, kecuali cahaya menyilaukan. Setelah tenang saya minta dibawa pengemudi memundurkan mobilnya lapor ke yang menembak bahwa saya adalah Pimpro Irigasi yang sedang tugas ke Banda Aceh. Kami melanjutkan perjalanaan dan saya minta berhenti di Puskesmas yang ada di tepi jalan. Karena masih terlalu pagi, belum ada Puskesmas yang buka. Perjalanan diteruskan sampai Rumah Sakit Sigli, 30 km dari tempat kejadian. Saya minta salah seorang teman menghubungi Ir. Amril Thaher Pimpro Irigasi Baro Raya di Sigli, dan kemudian saya mencoba turun dari mobil dan selanjutnya saya tidak ingat apa-apa lagi. Pingsan.
Kata teman saya dibawa dengan ambulan ke Banda Aceh dengan jarak 112 km dari Sigli. Pengemudi saya dari Bireuen dan pengemudi kala saya bekerja di Sigli mendampingi dalam ambulan. Kata orang sampai di Banda Aceh tekanan darah saya 60/0 dan mereka tidak berani menggerakkan kereta dorong tempat saya dibaringkan, kata orang kalau kereta goyang, maka lepas pula nyawa saya. Teman-teman saya sudah siap-siap, karena kejadian pada hari Saptu, maka sebentar lagi bank akan tutup. Mereka bermusyawarah siapa yang akan membawa ke Solo kalau saya dipanggil pada saat itu.
Cover Buku Reinkarnasi
Tidak ada yang bersifat kebetulan
“Yang namanya kebetulan itu memang tidak ada. Pertemuan kita, perpisahan kita, semuanya merupakan bagian dari cetak-biru yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun, kita dapat menentukan cetak-biru baru untuk masa depan kita. Hal ini perlu direnungkan sejenak. Yang namanya takdir itu apa? Memang yang tengah kita alami sekarang ini merupakan takdir kita, sudah ditentukan oleh masa lalu kita. Tetapi yang menentukannya siapa? Kita, kita juga. Apa yang kita buat pada masa lalu menentukan masa kini kita. Nah, Sekarang, apa yang kita buat sekarang, dapat menentukan masa depan kita. Takdir sepenuhnya berada di tangan Anda. Bagi mereka yang mengetahui mekanisme alam ini, hidup menjadi sangat indah. Ia tidak akan menangisi takdirnya. Ia tahu persis bahwa ia pula yang menentukan takdirnya sendiri. Ini yang disebut Hukum Karma, Hukum Sebab Akibat. Karma berarti tindakan, karya. Karma bukan berarti tindakan baik, ataupun tindakan buruk, sebagaimana anda tafsirkan selama ini. Anda yang menderita, anda katakan itu Hukum Karma. Hubungan-hubungan Anda pada masa lalu, menghubungkan Anda kembali dengan mereka yang menjadi kawan Anda, keluarga Anda pada masa kini.” (Krishna, Anand. (1998). Reinkarnasi, Melampaui Kelahiran Dan Kematian. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama)
Hari itu adalah hari Saptu dan setelah sahur kami berangkat menuju Banda Aceh untuk melakukan rapat koordinasi. Beberapa teman duduk di belakang mobil dan saya duduk di depan di samping pengemudi. Pada saat sampai di Kecamatan Samalanga, pengemudi minta saya tidur lagi karena belum saatnya subuh.
Tidak lama kemudian kata pengemudi, beberapa orang berambut gondrong menghentikan mobil. Pengemudi kami takut dengan orang-orang yang tidak memakai seragam tersebut, sopir kami melarikan kendaraan dan senjata M-16 ditembakkan ke mobil kami. hanya ada 3 pecahan peluru setelah menembus body mobil kijang. Satu pecahan mengenai pinggang, satu pecahan mengiris limpa dan satu lagi melubangi paru-paru kiri sehingga kempis.
Tidak ada yang terjadi secara kebetulan. Seandainya saya berangkat Jum’at malam sehabis Buka Puasa, maka peristiwa tersebut tidak akan terjadi. Seandainya pengemudi kami tidak takut dihentikan oleh beberapa orang gondrong bersenjata, maka peristiwa tersebut juga tidak terjadi. Seandainya saja orang-orang proyek tahu bahwa saat itu ada program keamanan DOM (Daerah Operasi Militer), maka saya dan teman-teman tidak akan berangkat sehabis sahur. Banyak kejadian yang bisa membatalkan, akan tetapi peristiwa itu memang harus terjadi. Maka terjadilah.
Saya siuman saat didorong di atas tempat tidur beroda menuju ruang operasi. Saya mendengar beberapa teman saya bilang, nyebut, nyebut! Nyebut apa saya juga tidak tahu. Mungkin maksudnya agar saya menyebut nama Allah dan kalaupun saya meninggal saya bisa menuju Allah. Beberapa teman bilang siapa yang beli tiket pesawat dan mengantar ke Solo, memang ada seorang pejabat proyek yang merupakan teman saya satu kost sewaktu kuliah di Jogja yang bekerja di Banda Aceh yang ikut membantu mengurus saya.
Tidak berapa lama, istri saya datang bersama anak perempuan saya yang masih bayi beserta ayah saya dari Solo ke Banda Aceh. Setelah selesai operasi, dalam keadaan setengah sadar saya merasa melayang diatas sungai, saya tidak tahu dan tidak peduli apakah itu roh saya atau saya sedang fly karena minum obat keras penghilang rasa sakit. Yang jelas operasi pengangkatan limpa dan penjahitan paru-paru berjalan sukses. Dokter Ahli Anestesi yang rencana mutasi ke Jawa pun saat itu masih berada di Banda Aceh. Menurut dokter, tugas limpa sebelum usia 21 tahun adalah membuat butir-butir darah merah, akan tetapi setelah itu hal tersebut dilakukan oleh sumsum tulang belakang. Tugas limpa bersama kelenjar limpa yang lain adalah terkait dengan kekebalan. Alhamdulilla sampai saat ini kami masih sehat walau perlu memperhatikan kesehatan tubuh.
Selain pejabat PU dari Aceh dan para kontraktor menengok saya di rumah sakit. Beberapa ibu pejabat juga datang dan ada yang mulai memberikan sumbangan dalam amplop ke istri saya. Di luar kebiasaan yang selama ini terjadi di Aceh, istri saya tidak mau menerima amplop dan mengatakan mohon ibu-ibu mendoakan suaminya sembuh. Saya lihat ibu-ibu pejabat lain memasukkan kembali amplop ke dalam tas. Adalah sudah biasa, bila menegok orang sedang diopname di rumah sakit, ibu-ibu berkontribusi meringankan biaya perawatan. Hanya saya yang bisa paham bahwa istri saya tidak mau membayangkan saya akan meninggal. Istri hanya fokus saya sembuh dan tidak mau berpikir tentang uang. Padahal setelah beberapa bulan dia bercerita bahwa uangnya tinggal sedikit dan dia minta uangnya dibawa oleh ayah saya.
Puluhan tahun berikutnya, setelah masuk Komunitas Anand Ashram, saya sadar bahwa hukum sebab-akibat pasti terjadi. Dalam program “Karmic Binding” di Bali saya pernah memperoleh pengetahuan bahwa, salah satu arti karma adalah nasib seseorang atau takdir yang tak dapaat dielakkan. Hanya bila kita berbuat banyak kebaikan, good karma, selfless service, pelayanan tanpa pamrih, maka kita bisa menjalaninya dan ada saja bantuan datang kepada kita dalam menjalani karma tersebut.
Waktu itulah saya baru sadar, apabila saya meninggal bagaimana kehidupan istri dan dua anakku waktu itu? Mulai saat itulah aku mulai berpikir memiliki rumah untuk keluargaku, selama ini aku tinggal di rumah dinas atau dikontrakkan oleh Proyek. Alhamdulillah tidak berapa lama kami mulai memiliki rumah.
Aceh adalah Tanah Tumpah Darah Kedua bagi saya
Aceh adalah tanah tumpah darah kedua bagi saya. Darah saya tumpah di Aceh. Kata teman ada 8 orang teman mendonorkan darah Golongan O kepadaku. Jumlah darah tambahan adalah 1.5 liter. Dalam diriku ada darah berbagai suku, Jawa, Batak, Aceh Selatan, Pidie dan bahkan darah seorang wartawan pun pernah masuk ke dalam tubuhku. Mungkin itulah sebabnya aku cinta Indonesia, tanpa membeda-bedakan suku. Entah berapa lama darah teman dari berbagai suku itu berpengaruh terhadapku, tapi itu membuat saya sangat mencintai Indonesia.
Setelah itu aku dibawa ke Jakarta untuk diopname di Rumah Sakit Sumber Waras Jakarta. Direktur Irigasi, Bapak Ir. Soenarno M.Sc menawari saya untuk berobat ke Singapura. Aku tidak tahu apa yang membuatku berani bicara demikian pada waktu itu. “Bapak, selama ini saya selalu percaya pada diri saya. Dan saya yakin pada hati nurani saya. Hati nurani saya memberitahu bahwa saya akan sembuh. Kini Bapak menawari saya pergi berobat ke Singapura yang pasti lebih baik dan sekaligus bisa menjadi refreshing bagi saya. Akan tetapi dari dulu saya percaya pada diri saya, bila saya pergi berobat ke Singapura, berarti saya memilih tidak mempercayai keyakinan saya sendiri. Oleh karena itu saya ingin berobat di Indonesia dan Prof. Dr. Syamsu Hidayat adalah pilihan saya.”
Sebagai seorang Bapak, Pak Direktur juga menawari saya bila ingin balik ke Jawa. Handai tolan saya juga bilang untuk apa bekerja jauh-jauh dan menderita bahaya. Kedua orangtua dan kedua mertua menyerahkan pada saya bagaimana baiknya. Saya didukung istri saya untuk tetap bekerja di Aceh. Kalau saya langsung pulang ke Jawa maka saya seperti orang yang kalah perang. Saya ingin menyelesaikan pembangunan proyek Irigasi Pante Lhong.
Setahun kemudian Bendung Pante Lhong selesai, airnya mengalir ke ujung saluran bahkan yang di samping rumah tempat tinggal kami. Bendung diresmikan oleh Ketua Bappenas Dr. Saleh Affif dan pada saat itu saya diberi anugerah Bintang oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan. Di Dep. PU saya juga menerima Piagam Satya Lencana Pembangunan dan tak lama kemudian saya mutasi menjadi pemimpin Proyek Irigasi Teluk Lada di Pandeglang. Bupati Aceh Utara memberikan tanda mata rencong yang sampai saat ini masih saya simpan. Pada waktu peresmian, proyek mengundang ratusan anak yatim dan pesta “megang”, memotong 2 ekor sapi. Dan, masyarakat Aceh pun bersyukur kepada Proyek Irigasi Aceh Utara.
Pada saat menulis ini, saya baru sadar bahwa itu semua bukan keberhasilan saya. Bahwa saya selamat, bahwa saya diberkati keluarga sejahtera dan bahagia,itu semua bukan upaya saya. Semuanya adalah Rahmat, Karunia Gusti. Tanpa Rahmat, Karunia Gusti semuanya tidak akan terjadi. Mungkin Gusti masih memperkenankan saya memperpanjang peran saya di panggung sandiwara dunia. Kalau ingin peran yang baik, saya perlu memberdaya diri dan meningkatkan kesadaran.
Cover Buku Bhagavad Gita
Yang Mati hanya Raga tetapi Jiwa tetap Hidup
Near death experience, memang mengubah pandangan hidup saya. Dan, 15 tahun setelah peristiwa tertembak di Aceh, saya baru memperoleh pemahaman tentang kematian:
“Kehidupan bersifat siklus atau cycle bersifat circle, bulatan. Jika Anda memahami kehidupan sebagai garis datar, entah horizontal atau vertikal, maka Anda tidak bisa tidak bersedih hati atas kematian orang yang Anda sayangi, karena kehidupan sudah berlalu. Tidak ada kemungkinan bagi Anda untuk bertemu dengannya lagi. Pertanyaannya: Apa iya demikian? Jika kita memperhatikan alam, lingkungan sekitar kita, atau jika kita memahami hukum-hukum kebendaan, antara lain sebagaimana terungkap dalam Ilmu Fisika, maka kita sudah pasti memahami pula bila sesungguhnya kematian adalah mitos. Perubahan adalah abadi.
“Materi berbuah bentuk terus. Jika kita memahami rumusan Einstein tentang relativitas, maka sesungguhnya materi adalah energi dalam bentuk lain. Dan, energi itu sendiri tidak pernah hilang, selalu ada, hanya berubah bentuk. Inilah sebab para bijak yang memahami kehidupan sebagai siklus, tidak akan berduka atau bersedih hati bagi mereka, yang sesungguhnya sedang menjalani proses perubahan wujud.” (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
“Badan, raga, fisik pun, sesungguhnya hanyalah tampak mati, punah, dan sebagainya. Padahal, yang terjadi, setelah apa yang kita sebut kematian, adalah penguraian elemen-elemen alami yang meng-“ada”-kan badan. Yaitu; tanah, air, api, angin, dan eter atau substansi ruang. Elemen-elemen tersebut hanyalah kembali ke asalnya. Kembali menjadi bagian dari alam. Dan di balik itu…
Jiwa yang Bersemayam di dalam Badan atau, lebih tepatnya, Jiwa yang menggerakkan badan, menghidupinya – tidak ikut mati, tidak pula terurai. Ia tetaplah Abadi sebagaimana sedia kalanya.
Jiwa inilah identitas diri kita yang sesungguhnya. Bukan badan, bukan indra, bukan mind atau gugusan pikiran dan perasaan – semua itu entah terurai, atau berubah. Tidak demikian dengan Jiwa, yang adalah hakikat diri kita, hakikat diri setiap makhluk.” (Krishna, Anand. (2014). Bhagavad Gita. Jakarta: Pusat Studi Veda dan Dharma)
Blog terkait:
http://triwidodo.wordpress.com/
http://kisahspiritualtaklekangzaman.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H