pendidikan. Mereka baru saja menanggalkan tahap sebelum pada akhirnya mereka masuk pada tahap berikutnya.Â
Menjadi kebahagiaan orang tua ketika menyaksikan anak-anaknya tumbuh dan berkembang menjadi bagian dariAnak-anak mengenakan seragam putih merahnya setelah ia keluar dari taman bermain, anak lain mengenakan seragam putih birunya setelah mereka menghabiskan sekian tahun di jenjang Sekolah Dasar (SD), pun dengan para remaja yang mengenakan seragam putih abu-abunya meninggalkan sifat kekanak-kanakannya di tingkat SMP.
Anda, para orang tua tentu saja tidak asal memilih di tempat mana anak anda akan menempuh pendidikan. Bahkan jauh-jauh hari sebelum anak anda dinyatakan lulus di sekolah terakhirnya, orang tua sudah mulai melakukan analisis serta membanding-bandingkan sekolah lanjutan satu dengan lainnya.Â
Tujuannya baik, agar anaknya bisa memperoleh pendidikan terbaik di tempat terbaik pula. Kriteria yang ditetapkan bermacam-macam, mulai dari kepribadian guru, prestasi tahun-tahun terakhir, gaya interaksi siswa dan siswi di lingkungan masayarakat, fasilitas, keterjangkauan, alumni, dan sebagainya. Model berpikirnya sederhana, jika output dari lembaga sekolah baik, maka sekolah itu juga dalam keadaan baik.
Permasalahan yang seringkali diabaikan oleh orang tua adalah perkembangan psikologis anak di sekolah. Beban tugas yang semakin bertambah serta dorongan untuk mampu menjadi peserta didik yang 'pintar' menjadi tuntutan dari orang tua.Â
Evaluasi dilakukan pada akhir semester dengan melihat hasil nilai rapor. Sementara itu aspek-aspek kematangan sosioemosional acapkali luput dari perhatian orang tua.
Salah satu ciri khas dari individu di usia remaja adalah dorongan untuk menjadi yang lebih unggul di tengah lingkungan sekolah. Remaja berlomba-lomba menunjukkan kelebihan yang dimiliki serta membentuk kelompok-kelompok (geng) dengan tujuan agar terlihat memiliki kekuatan. Sebaliknya, remaja yang powerless memiliki konsep diri rendah dan merasa kecil dibandingkan orang-orang di sekitarnya (inferior).
Kondisi ini dipelajari oleh Besag dan dituangkan dalam bukunya yang berjudul Bullies and Victims in School pada tahun 1994 yang menjadi acuan primer dalam menganalisis masalah perilaku individu yang memiliki daya terhadap mereka yang powerless. Perilaku yang merujuk pada dorongan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik, psikis, verbal, dan sosial adalah definisi sederhana dari perilaku bullying.
Bullying umumnya terjadi di lingkungan pendidikan. Ada kelompok-kelompok siswa yang memiliki strata sosial tinggi, anak dari pejabat, berasal dari keluarga kaya, memiliki fisik yang lebih unggul dari orang lain, atau berprestasi, yang menjadi pelaku bullying. Mereka menyerang secara fisik (mendorong, memukul, mencubit, menendang) target korbannya.Â
Ada pula dalam bentuk cemoohan, hinaan, mencaci, dan memaki. Sementara itu kelompok lain mengucilkan individu atau kelompok individu yang dianggap lebih rendah darinya. Perilaku-perilaku tersebut umum terjadi di sekolah, dan mungkin saja hal tersebut bisa terjadi pada anak-anak kita.
Lantas, seberapa berbahaya perilaku bullying ini bagi perkembangan psikologis remaja?