Penghasilan wartawan yang ada di berbagai kawasan di tanah air, sunggh sangat timpang. Munculnya ketimpangan penghasilan atau pemasukan keuangan inilah, yang jadi salah satu pemicu seorang wartawan untuk berbuat nakal atau curang. Di satu sisi ada wartawan berpenghasilan sangat tinggi, jauh di atas mereka yang menekuni profesi selain wartawan. Sementara ada seorang yang mengaku berprofesi sebagai wartawan, namun tingkat pemasukan keuangan dari lembaga tempat mereka bekerja sangat minim.Â
Ketimpangan penghasilan di kancah wartawan ini, tidak bisa diperbandingkan dengan profesi lain. Tidak ada profesi apa pun dalam kehidupan ini, yang kondisi gajinya atau tingkat pemasukan keuangan, setimpang profesi wartawan.
Sebagai pembanding, sebut saja misalnya profesi seorang guru, doses, pengacara, direktur perusahaan datau karyawan swasta, tingkat penghasilan terbawahnya bisa jadi bekisar 1-3 jutaan per bulan. Sedangkan tingkat penghasilan tinggi orang yang berprofesi tersebut bisa berkisar puluhan juta rupiah per bulan.
Demikian pula mereka yang berprofesi sebagai tukang kayu, kayu ledeng, tukang batu atau tukang bangunan, kuli bangunan, kuli angkut di pasar, supir angkot atau tukang becak sekalipun, rata-rata penghasilan terbawah mereka berkisar antara 300-500 ribu per bulan, sedangkan pada level atas pada profesi ini bisa mencapai 1-3 juta per bulan.
Namun profesi yang disandang wartawan, tingkat gajinya atau penghasilan resminya sungguh sangat timpang. Seorang wartawan yang duduk sebagai CEO sebuah penerbit besar, bisa jadi pemasukan per bulannya mencapai angka ratusah juta rupiah. Demikian dikancah jurnalistik televisi, mereka yang berada diposisi puncak atau posisi big bos, bisa jadi pemasukan per bulannya dalam kisaran ratusan juta rupiah. Dengan bisnis media masa yang menggurita, income atau pemasukan mereka yang ratusan juta bukan hal yang mustahil.
Namun ada pula orang yang mengaku berprofesi sebagai wartawan atau jurnalis, tapi memilki tingkat pendapatan atau pemasukan yang amat sangat rendah. Meski banyak wartawan dengan gaji yang tinggi, ada pula wartawan yang memilki gaji bahkan di bawah UMR atau berkisar 800.000 - 1 juta rupiah per bulan. Namun ternyata jika kita menyelidiki kehidupan wartawan di beberapa daerah, ada pula yang memiliki penghasilan 400-600 ribu rupiah per bulan.
Inilah ironisme dikancah kunia kewartawanan. Di satu sisi seorang wartawan sering menulis keluhan buruh, yang berunjuk rasa dan menjerit, karena menerima upah di bawah UMK. Namun ternyata gaji resmi sang wartawan juga masih banyak yang berada di bawah UMK. Wartawan sering menyuarakan jeritan kaum buruh yang bergaji kecil, sementara sang wartawan sendiri nasibnya tak beda jauh dengan buruh yang menjerit itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H