Memiliki orangtua yang bekerja sebagai ASN tak lantas membuat seseorang memiliki privilige “kehidupan bebas minta fasilitas”. Kadang kala ada iri yang terbersit dalam hati tatkala melihat teman-teman yang menikmati manisnya fasilitas yang diberikan orangtuanya yang berprofesi sebagai ASN. Sebut saja fasilitas telpon seluler atau ponsel. Penulis yang terlahir dari orangtua yang dua-duanya berprofesi sebagai ASN, tidak menikmati fasilitas ponsel bahkan hingga SMA.
Sekitar awal tahun 2000an, ponsel merupakan barang yang mampu mengkatrol tingkat sosial seseorang dalam pergaulan sekolah di daerah. Semakin mahal ponsel yang dimiliki seseorang, semakin tinggi pula tingkat sosialnya di sekolah (meskipun dia berasal dari keluarga yang biasa saja).
Dengan berbekal ponsel mahal, seorang siswa yang “cupu” sekalipun akan gampang masuk ke dalam pergaulan yang dihuni oleh sekumpulan anak-anak populer. Populer disini bisa karena memiliki paras cantik/ganteng, kaya, pintar, ataupun aktif terlibat dalam organisasi sekolah.
Apalagi jika memiliki kelebihan plus ponsel mahal, otomatis tingkat penerimaan di dalam lingkaran pergaulan akan semakin besar. Bisa dibayangkan bahwa ponsel menjadi kunci penerimaan seseorang dalam pergaulan kala itu. Hal ini kemudian menyebabkan banyak remaja berlomba-lomba untuk mendapatkan ponsel dalam rangka menaikan grafik eksistensi mereka.
Dulu sempat terpikir kok teman-teman yang ortunya ASN bisa-bisanya membeli ponsel mahal terbaru. Tanpa bermaksud merendahkan gaji ASN daerah, untuk membeli ponsel terbaru nan ciamik saat itu perlu merogoh kocek setidaknya 5-7 juta di awal era 2000an. Saat itu harga 7 jutaan untuk ponsel termasuk angka fantastis terutama di daerah.
Beberapa teman mengungkapkan bahwa mereka membeli ponsel mahal itu dengan menabung uang jajan dan kemudian orangtua mereka dengan sangat murah hatinya menambahkan kekurangannya. Alasan yang cukup masuk akal terlepas dari benar tidaknya hal itu.
Nah, hal yang sama tampaknya juga terjadi pada anak-anak jaman sekarang. Lingkaran pergaulan dapat dimasuki begitu memiliki ponsel keluaran terbaru yang mahal.
Ternyata hal ini belum juga terkikis ya. Setidaknya hal itu yang diamati penulis pada anak-anak sekolah di sekolah swasta terkenal di Jakarta. Hal ini seolah-olah menjadi peraturan tidak tertulis yang “dipatuhi” secara tidak sadar pada pergaulan anak-anak sekolah saat ini.
Bahkan ada beberapa perkumpulan anak-anak yang membentuk grup pertemanan berdasarkan jenis ponsel mereka. Apakah hal ini punya dampak baik? Bisa ya bisa tidak.
Di sela-sela kesenggangan penulis saat menjadi guru kala itu, terdapat sekelompok anak-anak yang saling mengulik kelebihan ponsel mereka. Nah, kebaikan ini kemudian dibagi di grup.