Wajah cerahnya menyambutku setelah membukakan pintu. Dengan keramahan yang tidak
dibuat-buat, dipersilahkannya aku untuk menduduki kursi rotan di ruang tamu.
Dia ... cantik masih seperti dulu.
Kami sama-sama diam membisu. Lalu setelah remaja perempuan yang diperkenalkannya sebagai
si bungsu yang menghidangkan teh panas di depanku berlalu, pandangannya jauh kepada
jendela, kepada pot bunga yang berjejer rapi seperti barisan Pramuka kami dulu.
"Jadi ada apa?"
"Tidak ada, hanya rindu."
"Rindu apa yang baru bertemu setelah kau kembali ke desa lima tahun lalu?"
Aku tahu pertemuan tiba-tiba kami menciptakan euphoria ketika saat bersama, sekaligus
canggung yang luar biasa. Karena dulu ikatan kami dekat, kecanggungan itu berubah menjadi
obrolan yang mengalir seperti air yang keluar dari pipa.
"Dulu Kenapa kau tidak datang, Rud?" tanyanya. Suaranya terdengar datar, tetapi matanya
menyiratkan sesuatu yang dalam.
"Ayahku tiba-tiba dipindah tugas ke luar kota," jawabku pelan. "Aku ingin pamit bahkan waktu
untuk itupun tidak ada." Kalimat itu terasa hambar di lidahku.
Aku pernah menjajikannya untuk menunggu di teras rumahnya. Tempat biasa aku menemaninya
belajar sampai lilin yang dinyalakan Abinya padam. Papa tidak memberiku sedikit waktu saja
sekadar untuk menemuinya, sekadar mengucap salam perpisahan sebelum kami berjumpa lima
belas tahun kemudian. Itu aku jelaskan kepadanya.
Ia mengangguk mendengarkan.
Obrolan kami hanyut kepada kisah masa lalu, ia adalah kekasihku. Aku telah dicintainya sejak
duduk di kelas pertama SMP, fakta yang aku tahu setelah duduk di sela obrolan kami tadi. Aku
yang dahulu terkenal di kalangan siswa perempuan populer dari sekolah manapun, tidak sempat
berpikir akan melirik gadis pendiam sepertinya. Maksudku dia cantik tetapi tidak populer seperti
gadis yang selalu di dekatku kala itu. Aku ingat di bulan Juni, bulan dimana aku mulai tertarik
dan mendekatinya di tahun kedua menengah atas. Makanya puisi Hujan di Bulan Juni
mempunyai tempat sendiri di hati kami.
Duduk berhadapan dengannya, mengingatkanku kepada dahulu ketika aku yang menemaninya
belajar di teras rumahnya sampai lilin yang dinyalakan Abinya padam. Sebagai syarat
diizinkannya kami pergi ke pasar malam. Dingin dan dengan pencahayaan yang tidak seberapa di
desa mengantarkan kami sampai di tempat tuju. Dia mengajakku pulang segera saat sekumpulan
pemuda beradu jotos di gerbang masuk pintu utama area pasar malam. Tetapi aku keras kepala,
memaksanya tetap melewati kerumunan dan kericuhan yang sudah biasa terjadi di desa kami, toh
kami tidak punya masalah dengan mereka. Aku tidak ingat bagaimana, tetapi sebuah botol kaca
berhasil membuat pelipisku terluka. Melihatnya menangis, aku juga menjadi panik. Darah keluar
sampai melewati muka, semua mengerumuniku tetapi sebelum semuanya gelap, aku ingat dia
sempat menutup sesuatu pada pelipisku yang terluka dengan kain yang kutahu ternyata adalah
jilbabnya. Jilbab yang selalu menutupi keindahannya, kain yang menjaga kehormatannya.
Kami tertawa kecil bukan karena lucu, tetapi karena naifnya kami dulu. "Dua minggu aku di
kurung Abiku, " katanya, senyum pahit di bibirnya." Katanya aku melanggar aturan Tuhan.
Semua demi seorang pemuda keras kepala." Aku bisa merasakan panas di pipiku. Dan sejenak,
aku kembali menjadi remaja yang tidak tahu apa-apa, yang hanya bisa menatapnya dari jauh,
penuh penyesalan.
Orang tuanya telah tiada tak lama setelah pernikahan hasil perjodohan orang tuanya diadakan.
Suaminya ikut berpulang tak lama kelahiran anak ketiganya. Aku membayangkan gadis pendiam
itu menelan setiap kepahitan hidup dalam sunyi, memikul beban dunia tanpa satu keluhan pun,
tetapi ia teguh seperti karang yang dihantam ombak. Tetapi masalah besar tengah menimpanya.
Adik laki-laki satu-satunya itu meminjam uang dengan jaminan tanah dan rumah. Dia tak ingat
bahwa itu adalah aset satu-satunya yang mereka punya. Pemuda yang dulu putus sekolah itu
tidak aku sangka akan membawa perkara saat telah tua. Usahanya gulung tikar dan dia lepas
tangan begitu saja. Padahal itu adalah tempat berharga untuk ia membasarkan anak-anaknya.
"Aku tidak punya pilihan lain, Rud," katanya dengan suara gemetar, tetapi matanya teguh.
"Tanah ini ... rumah ini ... hanya inilah yang kami punya. Aku harus mempertahankannya. Entah
bagaimana caranya." Ada kesungguhan dalam ucapannya.
" Caranya?"
Dia menggeleng.
"Aku akan baik-baik saja, Rud," katanya tersenyum saat melepasku setelah hari beranjak sore.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku tidak lepas dari mantan kekasih yang selalu berkorban
untukku itu. Aku tidak pernah melakukan hal baik untuknya tidak pula yakin akan mampu
seperti apa yang ia lakukan kepadaku malam itu. Bahkan sampai akhirpun aku hanya
meninggalkannya dengan sisa kenangan bersama tanpa kejelasan, tanpa jejak kepastian. Tetapi di
balik kain penutup kepalanya itu, aku melihat ketulusan yang tak pernah kupahami sebelumnya.
Dunia mungkin melihatnya sebagai seorang yang kalah, tak punya apa-apa. Tetapi aku tahu, di
mata Yang Maha Kuasa, ia adalah jiwa yang paling teguh, paling murni.
Mataku kemudian melirik kepada pakaian dinas yang tersampir di jok sebelah. Sebagai Jaksa
yang baru saja selesai menyelesaikan kasus perdata, pakaian dinas itu nilainya jauh lebih kecil
dibandingkan nilai ketulusan dari jilbab yang ia korbankan. Tetapi ia tidak tahu dengan pakaian
itu akulah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H