Mohon tunggu...
triutari
triutari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Kesmas ter-cool yang pernah kamu lihat

Mahasiswa semester tiga kesehatan masyarakat yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan

14 Desember 2024   09:35 Diperbarui: 14 Desember 2024   09:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Hujan (Sumber:Pinterest)

Begitulah hujan menunjukkan cinta dengan caranya.

Sehabis mengangkat jemuran pakaian yang basah tertimpa hujan yang turun tanpa aba-aba, kubawa tubuh yang basah berkeringat ini duduk di lantai dapur dekat pintu. Di luar atap, tungku tempat tadi aku merebus air, kini basah sepanci-pancinya. Asap pembakaran kayu sisa pemadaman paksa hujan itu samar masih tercium. Dari jendela dapur yang remang, terekam di mataku seekor induk ayam mengapit anak-anaknya dengan kedua sayapnya sebagai perlindungan. Duhai, aku baru paham fungsi sayap ayam selain menjadi sayap goreng.

Karena itu, aku menyukai hujan, menikmati basahnya, kecuali saat di mana harus menuruti apa kata Bapak.

Hujan seperti saat ini, duda tua yang sejak ditinggal mati istrinya saat melahirkanku, yang kini kulitnya legam terbakar sinar matahari, itu memanggil-manggil, menyuruh dibelikan gula pasir seperempat kilo saja. Maksudku, bisakah dia membuatku sejenak menikmati hujan dengan segala keindahannya?


"Belikan gula! Kenapa kau diam saja di sana, Zahid? Suara Bapak terdengar lantang sampai ke ruang belakang. Memaksaku untuk berdiri meninggalkan kenikmatan hujan yang turun di luar. Tanpa suara, kuiyakan sebelum asap tembakau yang keluar dari mulut hitamnya itu meracuni hidung pesek persis sepertinya.


"Belikan beras! Ambil kembaliannya, belikan aku obat sakit kepala."


"Lilin sudah habis, belikan ya? Takut malam nanti mati lampu." Begitu hariku diisi dengan titahnya.

Meski tak kenal cuaca dan waktu, aku tidak pernah membantah secara langsung kepadanya kecuali hanya dalam bentuk omelan kecil yang hanya bisa kudengar. Kujalani tanpa bantahan ini dan itu. Sebab selain karena uang mulut bisa dibungkam, ikatan pertalian darah menjadikannya luwes sebagai seorang rezim otoriter. Anggaplah untukku sebagai alat tutup mulut dan sebagai alat balas budi dibesarkannya.

Di buku berjudul Life Is Miracle yang kubaca, dikatakan ada dua macam tipe kebebasan di dunia ini. Tipe pertama adalah kebebasan untuk berkeinginan, dan tipe kedua adalah kebebasan dari keinginan. Kita tahu bahwa kebebasan tipe pertama sangat kita sanjung. Paham yang mendapat piagam hak asasi manusia. Di tipe pertama ini, aku bebas mempunyai harapan, untuk ingin berkeinginan memiliki sosok yang kupanggil Bapak, yang mungkin seorang Elon Musk yang akan mewarisi perusahaan sosial medianya, atau minimal Rafi Ahmad, agar bisa mendapat apa yang aku inginkan dengan sekali tunjuk. Tetapi yang kupunya hanyalah figur realistis dari pemecah batu yang sepenuh hidupnya didedikasikan untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Tubuhnya adalah gambaran efek jangka panjang terik meradiasi badannya. Sosok itulah yang menjadikan titah sebagai satu-satunya media untuk kami berkomunikasi.

Dari kebebasan untuk berkeinginan, kebebasan dari keinginan muncul sebagai angin segar di dalam dada yang penuh sesak. Dengan kebebasan tipe kedua ini, aku bahkan sering mengutuk diri untuk tidak berkeinginan menjadi seperti Bapak ketika telah menjadi orang tua.
Sialnya, ketika sekarang aku seusia Bapak di waktu itu, Ganang, putra tunggalku, dia menjadi aku di usia muda. Pekerjaan di kantor  kujadikan sebagai alat untuk gila kerja, sampai aku kehilangan momen bersamanya. Aku sering berpikir, jika aku bisa kembali ke masa muda, apakah aku akan memilih untuk lebih banyak berada di rumah, menghabiskan waktu bersama Ganang? Tetapi sekarang, di usia yang hampir sama dengan Bapak saat itu, aku merasa aku malah lebih terperangkap dalam rutinitas yang sama---pekerjaan, kerja, dan kerja. Aku melupakan momen-momen kecil yang penting. Ganang, seperti aku dulu, lebih banyak menghabiskan waktu dengan dunia luar daripada dengan ayahnya. Aku lupa bahwa yang dia butuhkan bukan cuma uang atau materi, tapi perhatian yang lebih dari sekadar perintah yang tanpa henti.

Hujan dengan bentuk keindahannya membawaku kepada ketakjuban ilahi yang diciptakan-Nya. Aku terbuai dengan suasana gerimis, deras, bahkan petir yang kilatnya menjulang di atas sana, bagaimana gagahnya di langit sore itu. Bagiku hujan lebih dari sekadar air, ia seperti guru kehidupan yang mengajarkan bagaimana gerimis, deras, bahkan petir yang menyambar tak kenal siap atau tidaknya kapada bumi. Tetapi di antara semua hal itu, hujan akan membawa kepada pelangi yang indah di suatu waktu. Bertahun-tahun berlalu, setelah menjadi orang tua, aku masih tetap menjadi Zahid yang menyukai hujan dengan bentuk yang dibawanya kepada bumi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun