Mohon tunggu...
triutari
triutari Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Kesmas ter-cool yang pernah kamu lihat

Mahasiswa semester tiga kesehatan masyarakat yang sedang belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hujan

14 Desember 2024   09:35 Diperbarui: 14 Desember 2024   09:35 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Hujan (Sumber:Pinterest)

Aku masih ingat bagaimana aku harus kedinginan dan menahan perih di punggung ketika dipaksanya pergi dari rumah di masa itu. Dia memaksaku pergi meninggalkan kampung ini dengan bus tua yang bau ketiak dari penumpang di dalamnya, terhimpit antara lautan orang beserta ambisinya.

"Di sini kamu mau apa, Zahid? Kamu mau tua dan miskin kaya Bapak?" katanya menatapku tajam di tengah perdebatan kami malam itu. Meski keras, aku masih bisa mendengar getar di dalam suaranya.

"Justru karena Bapak miskin, Zahid gak mau kuliah!" bentakku tak mau kalah malam itu. Dengan muka yang penuh amarah, dia menghantam punggungku dengan rotan yang biasa dia genggam tanpa kata. Biasanya, rotan itu akan dibuatnya untuk gagang palu untuk memecah batu olehnya. Kini, dihantamkannya kepada punggungku. Tanpa kata ampun, Bapak seolah tuli dengan teriakan kesakitanku.

Gambar Hujan (Sumber:Pinterest)
Gambar Hujan (Sumber:Pinterest)
Saat muda dulu, aku bingung dengan perasaanku. Semua bercampur antara rasa kecewa dan marah kepada Bapak di dalam bus tua yang membawaku. Aku merasa bahwa Bapak selalu punya cara untuk mengabulkan kehendaknya. Konon kata rekan seperjuangannya, Bapak selalu punya strategi bagaimana cara memecah batu dengan ukuran sesuai permintaan pelanggan. Tangannya cekatan, seolah batu besar itu sudah dalam genggamannya. Dia selalu punya cara dalam merealisasikan mimpinya, termasuk merancang masa depanku untuk berkuliah di masa miskinnya kala itu. Terbayang di kepalaku akan kulaporkan segala kekerasan yang dilakukannya saat tiba di kota tempatku menuntut ilmu nanti, kota yang menjauhkanku dengan Bapak sampai aku tidak ada di hari pemakamannya. Aku tersenyum bukan karena merasa lucu, tetapi mengingat bagaimana naifnya dulu. Jika bukan karena kerasnya dia, tidak akan ada aku yang kehidupannya jauh lebih baik secara materil dari Bapak.

Sejak kematian Gayatri, istriku, setahun lalu, kebiasaan menyuruh Bapak kujiplak karena aku adalah seorang gagal yang tidak tahu cara berbicara dengan anaknya. Putra satu-satunya yang kupeluk dan kucium ketika bayi dulu itu hanya tahu berbicara dengan ibunya. Lalu ketika ibunya tiada, ia lupa cara berbicara dengan ayahnya. Dan  itu adalah salahku.


"Aku muak, Pak." Tolaknya, seolah permintaan pertolongan yang aku minta terdengar tidak masuk akal dalam pikirannya.


                Setelah mengatakan hal yang membuat dadaku sakit, besoknya dia pergi meninggalkan rumah, tak tahu ke mana. Padahal aku hanya sering merepotkannya, minta dibelikan bahan masakan untuk makan kita. Di titik inilah aku menyadari bahwa Ganang sepenuhnya adalah isi hatiku ketika aku menjadi pesuruh Bapak. Beruntungnya, aku tak pernah mengatakan kalimat serupa kepada Bapak. Jika iya, alangkah sakit hatinya menjadi seorang Bapak.

Sebelum telepon itu, meski seatap aku seperti merasa sendirian. Hariku sepi dengan Ganang yang asik dengan layar ponselnya. Layar  ponsel itu  memangkas jarak, terlihat lebih menggugah dimatanya dibandingkan dengan  melihat wajah aku Bapaknya. Setiap  kali aku bertanya tentang sekolah dan teman-temannya, jawabannnya selalu singkat. Ganang lebih suka berbicara dengan ibunya yang telah tiada dibandingkan dengan Ayahnya. Sementara aku adalah seorang Ayah yang tidak tahu bagaimana cara berbicaran dengan anaknya, bahkan suaraku seperti angin berlalu yang dihiraukannya.


"Antarkan Bapak ke rumah sakit. Dada Bapak sakit."


"Gak bisa, Pak." Jawabnya cepat, hampir tanpa jeda, lalu sambungan telepon itu terputus begitu saja. Aku mendengar bunyi detak jantungku yang semakin cepat, seakan-akan setiap detakan itu membawaku lebih dekat pada kesalahan yang kuperbuat.

Saat sebelum semuanya gelap, bumi terasa berhenti berputar. Di luar, hujan masih turun, mengguyur bumi dengan keras.  Di momen ini aku menyadari bahwa hujan bukan hanya menunjukkan cinta dengan caranya, tetapi hujan juga menunjukkan seberapa besar cinta manusia dengan caranya. Saat ini, aku melihat bagaimana Bapak merentangkan tangannya seolah menyambutku, dan saat semuanya benar gelap, dengan penuh harap kepada Bapak dan Ganang, aku hanya meminta satu hal: maaf.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun