Mohon tunggu...
Tri Utami Prihatiningsih
Tri Utami Prihatiningsih Mohon Tunggu... -

Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Potret Pendidikan di Gumelar

2 Mei 2015   11:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:27 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

POTRET PENDIDIKAN DI GUMELAR

Oleh : Tri Utami Prihatiningsih

Tingkat kemajuan suatu desa dapat dilihat dari tingkat kemandirian masyarakat desa itu sendiri. Mulai dari pembangunan, penyediaan lapangan kerja, serta ketersediaan sumber daya manusia yang dapat mengolah sumber daya alam di desa tersebut. Letak sumber daya alam yang berada di desa, membuatnya belum terjamah oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sehingga keasrian dan keberlangsungan sumber daya alam tersebut masih dapat dirasakan manfaatnya dari generasi ke generasi.

Keterampilan mengolah sumber daya alam juga beragam. Artinya masyarakat mendapat keterampilannya ada yang secara otodidak ataupun hasil dari mengikuti kursus. Tentunya hal tersebut juga dapat untuk mengukur tingkat pendidikan mereka. Karena pendidikan merupakan pengantar yang baik agar mudah menghadapi segala bentuk kemungkinan yang terjadi.

Seperti halnya kondisi masyarakat desa Gumelar, yang terletak di sebelah barat kota Purwokerto atau sekitar 54 km dari pusat kabupaten Banyumas. Gumelar sebagai salah satu desa dengan kondisi alamnya yang masih asri, mampu menghidupi perekenomiannya yang cukup mandiri. Baik dari sektor jasa, bahan, dan pangan yang dikelola oleh perorangan maupun industri rumahan.

Keterampilan tersebut didapat oleh masyarakat Gumelar dari kerabat, otodidak, bakat, dan sebagian kecil dari mereka mendapat keterampilan dari pendidikan formal dan informal.

Pendidikan di Gumelar sendiri sudah dapat diakses dengan mudah. Mengingat keberadaan sekolah dari berbagai tingkatan sudah memadai. Terdapat beberapa sekolah untuk anak usia dini, lebih dari 7 sekolah dasar, 5 sekolah menengah pertama, dan sebuah sekolah menengah atas swasta (PGRI).

Menyoal pendidikan di desa Gumelar, sebenarnya banyak yang sadar dengan pendidikan. Seperti halnya yang diungkapkan Farhan salah satu siswa kelas X SMA PGRI Gumelar. Ia mengakui bahwa pendidikan di desa sangat dibutuhkan untuk menunjang sumber daya manusianya agar dapat berkontribusi kepada pembangunan di desa Gumelar khususnya. Meskipun ia hanya bersekolah di sekolah swasta di desa dan tidak sebagus di kota, namun ia sudah mempunyai keinginan untuk tetap melanjutkan pendidikannya.

“Saya dan teman-teman ingin meningkatkan kualitas diri agar bisa memajukan desa Gumelar. Hitung-hitung sebagai balas budi, karena di Gumelar masih peduli dengan pendidikan,” lanjutnya.

Namun, yang menjadi kendala bagi mereka adalah karena keterbatasan biaya untuk mengakses pendidikan. Sedikit yang saya ketahui, bahwa ternyata uang SPP siswa SMA di Gumelar tidak berbeda jauh dengan uang SPP dengan SMA yang berada di kota, hanya selisih sedikit saja. Mengingat pada jenjang SMA tidak ada uang BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Hal tersebut tentu yang menjadi faktor utama banyaknya anak-anak tidak melanjutkan ke SMA karena latar belakang pekerjaan orang tuanya yang mayoritas adalah petani, buruh, dan serabutan.

Banyak yang menginginkan pendidikan gratis dari SD hingga perguruan tinggi. Dengan demikian, anak-anak usia sekolah akan merasakan bangku pendidikan, mendapat bekal untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta terpenuhinya hak mereka sebagai warga negara. Selain itu, dengan adanya program pendidikan gratis, diharapakan akan meningkatkan antusias dari para pemuda untuk menunda pernikahan dini.

Di tempat lain, saya juga menemui teman saya ketika SMP. Dia sudah bekerja di sebuah outlet HP di daerah rodamas. Sama seperti Farhan, teman saya pun menginginkan agar biaya sekolah gratis dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Ia langsung bekerja selepas lulus dari SMA. Padahal, ia mempunyai kesadaran tinggi dalam hal pendidikan, bahkan ia berminat melanjutkannya ke perguruan tinggi. Namun, lagi-lagi kendalanya adalah biaya. Sebenarnya mudah saja jika ingin melanjutkan ke perguruan tinggi namun tidak ada biaya, karena sekarang sudah banyak jenis beasiswa yang dapat diakses oleh semua orang. Namun, karena keterbatasan informasi serta prosedurnya yang cukup panjang, menjadi salah satu faktor kendala.

Dari dua narasumber yang saya temui, saya dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya masih banyak generasi muda yang peduli akan pentingnya pendidikan. Bahkan, salah satu dari mereka tidak memperdulikan darimana pendidikan itu didapat, yang terpenting adalah mereka mampu menunjukan bahwa mereka adalah makhluk yang berkualitas.  Bukan hanya generasi muda saja yang sadar dengan pentingnya pendidikan. Para orang tua pun masih tetap menomor satukan pendidikan di sela-sela kesibukan mereka. Tidak hanya untuk anak mereka, namun juga untuk dirinya sendiri. Siti Aprilia Rohmah seorang ibu rumah tangga berusia 30 tahun yang sekarang sedang melanjutkan sekolah kejar paket C. Beliau mengaku sangat antusias mengikuti program kejar paket C, meskipun di kelasnya hanya beliau dan dua temannya yang sudah berumah tangga. Keinginannya bekerja diusia 19 tahun pada waktu itu, membuat beliau tidak melanjutkan sekolah di SMA. Padahal orang tua beliau menghendaki agar beliau melanjutkan sekolah saja. Setelah berumah tangga, barulah beliau merasakan ingin melanjutkan sekolah. Menurutnya, menjadi seorang ibu dan seorang istri dalam sebuah keluarga juga perlu dibekali dengan pengetahuan, agar tidak melulu bekerja mengurus rumah, anak dan suami. Saya salut dengan beliau, karena masih sadar dan berpartisipasi dalam meningkatkan sumber daya manusia melalui pendidikan.

Tak hanya Ibu Siti yang sangat antusias dengan dunia pendidikan di usianya yang sudah tak muda lagi, seorang aktivis di Gumelar juga menunjukan kepeduliannya akan urgensi pendidikan bagi semua orang. Pak Teguh namanya, bapak satu orang anak ini salah satu pendiri dari IMAGE (Ikatan Masyarakat Gumelar) yaitu sebuah perpustakaan kecil yang didirikan sekitar tahun 2007. Dengan adanya sebuah perpustakaan desa, Pak Teguh berharap agar semua generasi di Gumelar terbuka wawasannya.

Tidak ada yang dapat terlepas dari pendidikan. Keterampilan, kualitas hidup, dan cara menghadapi tantangan hidup merupakan aspek-aspek yang dihasilkan oleh pendidikan. Seseorang yang berkualitas adalah ia yang mau bersusah payah menempuh pendidikan dan mengabdikannya kepada masyarakat dan bersama-sama membangun sebuah kehidupan yang nyaman.

Sekolah gratis! Itulah yang disampaikan oleh Farhan.

Mengacu pada UUD 1945 Pasal 31, disebutkan bahwa pendidikan merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Pasal 31 ayat 1 menyebutkan bahwa,”setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Hak memperoleh pendidikan ini diperjelas dalam pasal 2,”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Selanjutnya pada ayat 3 dituangkan peryataan yang berbunyi,”pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.” Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, terutama pendidikan dasar. Selain membahas tentang pendidikan sebagai suatu hak, pasal 31 juga mempertagas bahwa pendidika (terutama pendidikan dasar) merupakan kewajiban bagi setiap warga negara dan pemerintah wajib membiayainya.

Jadi, sudah jelas bahwa impian dan cita-cita dari Farhan bukanlah hal yang mustahil untuk diwujudkan. Untuk apa sebuah kebijakan dibuat dalam suatu negara jika tidak dijalankan?

Meskipun saat ini sudah ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah), untuk siswa SD hingga SMP, akan tetapi belum semua warga negara menikmati pendidikan. Mengapa? Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah komersialisasi pendidikan yang menyebabkan biaya pendidikan dirasa semakin mahal. Mulai dari sumbangan untuk pengembangan institusi, biaya seragam, biaya kegiatan ekstrakurikuler, hingga buku teks wajib yang seharusnya tidak menjadi beban orangtua siswa.

Mereka tidak bisa terus menerus menuntut, meskipun pendidikan adalah hak mereka. Karena masih banyak hak yang perlu mereka tuntut selain pendidikan. Yang dibutuhkan saat ini adalah kepekaan dari “si pembuat kebijakan”. Dimana mereka? Kemana mereka? Perlukah mereka meneriakkan tuntutan mereka didepan wajah pembuat kebijakan?

Data riset Education Watch tahun 2006 menyebutkan bahwa kecenderungan realitas tidak meneruskan sekolah bagi anak-anak dari keluarga miskin makin meningkat presentasenya. Data anak-anak dari keluarga miskin yang drop out sekolah ketika duduk di bangku sekolah dasar meningkat menjadi 24 persen, sedangkan yang tidak melanjutkan ke bangku sekolah menengah pertama menjadi 21,7 persen. Sementara anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin yang drop out sekolah ketika memasuki bangku usia sekolah menengah mencapai 18,3 persen, yang tidak meneruskan ke jenjang pendidikan sekolah menengah atas dari sekolah menengah pertama mencapai 29,5 persen.

Kondisi ideal pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan.

Dari keseluruhan permasalahan diatas, seolah terjadi ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Sehingga hanya si kaya saja yang berhak untuk mendapatkan pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Hal tersebut tentu menyebabkan orang yang kekurangan akan merasa minder untuk bersekolah.

Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat dan tidak membingungkan, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit.

Apakah perlu tuntutan mereka terhadap pendidikan dibuktikan dengan hasil terlebih dahulu? Untuk apa? Ketiga narasumber diatas sudah menunjukkan semangat mereka untuk tetap meraih ilmu.

Sebuah sekolah akan menjadi bermutu karena ditopang oleh manusia-manusia seperti mereka yang punya semangat belajar.

Meskipun hanya sebuah sekolah gratis, hal tersebut tidak akan melemahkan semangat belajar mereka. Saya yakin, mereka akan memanfaatkan kesempatan ini. Guru tidak akan terkena imbas dari pendidikan gratis ini apabila para guru memahami betul arti pendidikan. Bukan sekedar mencari “beras” dari hasil mengajar mereka, namun yang perlu diperhatikan adalah urgensi dari sebuah pendidikan untuk kemajuan bangsa ini.

Demikian, sekilas gambaran dan kondisi pendidikan di Desa Gumelar. Semoga dapat bermanfaat dan menjadikan kita sebagai manusia yang pandai mensyukuri nikmat Tuhan karena kita masih beruntung, dari mereka, yang dapat mengakses pendidikan hingga perguruan tinggi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun