Mohon tunggu...
Tri Untoro
Tri Untoro Mohon Tunggu... -

Hanya blogger biasa

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Solo Masa Lalu Adalah Solo Masa Depan

29 Juni 2012   23:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:24 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Liburan tak harus mahal dan penuh perencanaan, terkadang acara blusukan kota dengan jadwal dadakan pun bisa membuat acara jalan-jalan sederhana menjadi menarik, seperti yang saya lakukan kemarin (27/6), hanya karena cuti tanpa agenda, akhirnya saya sukses keliling pusat kota Solo hanya dengan modal Rp. 13.000 dan kamera saku biasa. Surakarta, atau yang lebih dikenal sebagai kota Solo merupakan salah satu dari jajaran kota besar di Indonesia, letaknya yang strategis berada di persimpangan jalan antara Yogyakarta, Semarang dan Surabaya membuat kota ini juga dikenal sebagai tempat transit, sejarah Solo tak lepas dari berdirinya salah satu pusat kerajaan Mataram Islam yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Perjalanan dimulai dari saya yang ambil cuti tapi bingung mau ngapain, akhirnya dapat ide untuk blusukan kembali di pusat kota Solo, sudah lama saya tidak keliling-keliling di kota tempat saya mencari rezeki ini, karena spion motor patah akibat nabrak pagar beberapa bulan yang lalu, saya memutuskan untuk memarkirkan motor di halaman parkir Solo Square dan memilih menaiki bis kota untuk menuju pusat kota yang lebih dikenal dengan sebutan Gladag. Cukup dengan menaiki bis DAMRI dengan tarif Rp. 3.000 saya sudah bisa sampai di Gladag, Gladag sendiri merupakan pusat kotanya Solo, ujung timur Jl. Slamet Riyadi, dan ujung selatan Jalan Jend Sudirman, landmarknya adalah bundaran yang dihiasi dengan air mancur dan patung Slamet Riyadi yang menghadap ke barat. Dari Gladag ke selatan merupakan arah menuju alun-alun utara keraton kasunanan Surakarta, pohon beringin yang rindang membuat nuansa tersendiri di area ini, melihat-lihat kehidupan kota Solo yang berjalan santai, becak yang berjalan lambat, tukang cetak plat nomor yang mengepulkan rokok di depan kiosnya, dan penjaja kacamata yang hilir mudik menyapa pelancong, sejuk udara meski di siang hari ini sepertinya turut menyejukkan hati mereka. Adzan shalat dzuhur berkumandang, kesempatan bagus untuk kembali mengunjungi masjid Agung yang terletak di barat alun-alun utara, nampak manusia dari berbagai profesi berjalan ke arah masjid, ada satpam, pedagang, sopir, polisi yang dengan ramah saling sapa, seakan telah terbiasa berjumpa meski saya tidak yakin mereka telah saling kenal, sandal-sandal terparkir rapi, beberapa diantaranya disimpan di di rak yang sudah disediakan meski sepertinya kapasitasnya sudah tidak mencukupi lagi, masjid Agung ini masih bisa menjaga keagungannya, gemericik air dari puluhan keran itu tetap belum mampu mengakomodasi antrian jamaah shalat dzuhur ini, bukti bahwa masih banyak yang setia untuk berkunjung ke masjid yang didirikan oleh Raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785 ini. Video Jalan-jalannya : Credit musik backsound : Mus Mulyadi - Jenang Gulo Gesang - Ali-ali Semua Video Dokumentasi Pribadi Cahaya matahari mulai terik, saya beristirahat sebentar di bangsal masjid, membuka handphone sebentar dan mencoba mengakses informasi tentang masjid ini dengan browser Opera Mini yang setia saya pakai sejak HP-HP sebelumnya, mengakses internet dengan Opera Mini lebih ringan dan hemat bandwidth, terus terang saya sangat minim informasi dengan masjid tua nan megah ini, setelah dirasa cukup, saya langkahkan kaki kembali ke gerbang masjid, di halaman ini aktivitas niaga sudah mulai terlihat, penjaja mainan becak mini yang berputar-putar di dalam kotak cukup menarik perhatian beberapa orang, "Kuwi pake batu pak?" (itu pakai baterai pak?) celetuk salah satu dari mereka. Area di selatan masjid Agung merupakan area yang sangat ramai, becak-becak berjajar kurang beraturan, penyeberang jalan yang lalu lalang, dan kendaraan roda empat yang berjalan pelan-pelan, suara sahut-menyahut pedagang riuh bersahutan, inilah pasar yang juga merupakan pusat konveksi terbesar di Jawa Tengah, Pasar Klewer, menyusuri lorong-lorong antar lapak yang sempit, dan berpapasan dengan kuli angkut barang yang membawa barang segede gaban adalah pemandangan lumrah di pasar ini, tapi jika kamu ingin mendapat batik bagus dengan harga sangat miring, Pasar Klewer adalah pilihannya. Berjalan ke selatan, ke kawasan yang jauh lebih sepi, sebuah lorong jalan satu arah yang sempit, diapit pagar istana yang tinggi-tinggi, inilah jalan supit urang, tak banyak yang bisa ditemui disini, hanya tukang timbang emas yang mengais rejeki di tepi jalan ini. namun berkebalikan dengan situasi disekitarnya, kendaraan sangat ramai melintasi jalan ini, karena jalan ini merupakan penghubung langsung bagi kendaraan antara kawasan Gladag dan Pasar Klewer.

13410115171153036231
13410115171153036231
Memasuki halaman depan keraton, nuansa kedamaian khas pedesaan justru terasa, beberapa abdi yang nampak berbincang dengan pengunjung sambil saling melempar senyum, sekelompok pelancong yang begitu takjub melihat mobil kuno milik keraton yang diparkir di garasi depan keraton, nampak pula keceriaan sebuah keluarga yang nampaknya begitu takjub merasakan sensasi naik andong dengan bunyi lonceng yang menggantung bergoyang-goyang dibawahnya, di sudut lain seorang abdi terlihat tertidur pulas di lantai balai pengobatan yang sedang tutup, semuanya berjalan seakan begitu alami, bukti bahwa aura keraton belum hilang di Istana yang didirikan oleh Susuhunan Pakubuwono II (Sunan PB II) pada tahun 1744 ini. Puas menikmati pemandangan di halaman depan keraton, saya kembali melangkahkan kaki ke Gladag, dan melanjutkan berjalan kaki ke utara, di kawasan perkantoran modern dan pusat pemerintahan kota Solo, berjajar beberapa gedung Bank, Kantor Pos Besar, Bank Indonesia, Kantor Telkom, Benteng Vastenburg yang tersembunyi dibalik rimbunan rumput, hingga akhirnya saya sampai di depan Balaikota Surakarta, kawasan ini merupakan kawasan sibuk, kawasan pusat administrasi dimana bukan hanya pusatnya kota Solo tapi juga pusatnya kawasan Solo Raya, namun demikian saya tadi masih bisa melihat topeng monyet bersama majikannya yang sedang beristirahat bersama di salah satu sudut lampu lalu lintas Telkom, saya mendekat untuk mengabadikan gambar, tak disangka monyet itu merayap naik hingga ke bahu saya, kontan beberapa pengendara kendaraan yang berhenti di bangjo tertawa, saya jadi ikut tertawa, meski saya termasuk orang yang menolak komersialisasi topeng monyet tapi melihat kondisi ekonomi negara ini yang masih timpang ini, saya terpaksa memaklumi, saya hanya berpesan agar monyet diperlakukan dengan baik. Destinasi terakhir adalah Pasar Gedhe, sesuai namanya pasar ini merupakan pasar tradisional terbesar di Solo, pasar yang tepat berhadap-hadapan dengan balaikota Surakarta ini juga merupakan salah satu pusat kuliner di Solo, dari Cabuk Rambak, Timlo Sastro, lopis, tiwul, godril, gatot, sawut, hingga jenang kolang-kaling ada di sini, untuk minumannya Es Dawet telasih adalah pelepas dahaga paling pas, nampak pula sekumpulan wisatawan asing sedang asik melihat-lihat beragam kain yang diperdagangkan, usai berkeliling pasar gedhe jam menunjukkan pukul 14.00 WIB, saya segera beranjak ke halte batik Solo Trans, sebuah Bus Rapid Transit yang beroperasi di kota ini, kembali ke Halte Kerten yang bersebelahan dengan Solo Square, tempat saya memarkirkan sepeda motor.
1341011544626989074
1341011544626989074
Bagi saya, Solo adalah kota tua yang unik, kota yang berkembang mengikuti zaman namun tetap terjaga kelestarian Cagar budayanya, kota dimana saya bisa melihat teknologi informasi yang maju namun masih konsisten memperkenalkan budaya di ranah teknologi, kota yang mampu menggabungkan bangunan modern dengan corak tradisional baik hotel berbintang hingga mall sekalipun, kota yang bisa mengkondisikan warganya bangga menikmati jajanan tradisional, kota yang cukup ramah difabel ditilik dari jalur khusus difabel di city walk, sebagian halte Batik Solo Trans, Kantor pelayanan masyarakat, hingga pasar gedhe, kota yang memberi ruang bagi pedagang kaki lima dan tradisional, meski bangunan mewah modern banyak berdiri di Solo, namun Solo masih memiliki Masjid Agung, Pasar Klewer, Pasar Gedhe, Mangkunegaran, Keraton Kasunanan yang masih tetap mempertahankan aura dan arsitekturnya, semakin kesini saya semakin membayangkan kehidupan masa lalu, mengira-ira percakapan mereka dan membayangkan bagaimana mereka berinteraksi, inilah sebenar-benarnya kota paling Indonesia, Solo's Past is Solo's Future, semoga konsep ini semakin dimatangkan, tak peduli siapapun pemimpin kota ini, Let's go to Solo, the Spirit of Java. Semua Foto dokumentasi pribadi.
Opera Travel Blog Competition
Opera Travel Blog Competition

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun