Liburan tak harus mahal dan penuh perencanaan, terkadang acara blusukan kota dengan jadwal dadakan pun bisa membuat acara jalan-jalan sederhana menjadi menarik, seperti yang saya lakukan kemarin (27/6), hanya karena cuti tanpa agenda, akhirnya saya sukses keliling pusat kota Solo hanya dengan modal Rp. 13.000 dan kamera saku biasa. Surakarta, atau yang lebih dikenal sebagai kota Solo merupakan salah satu dari jajaran kota besar di Indonesia, letaknya yang strategis berada di persimpangan jalan antara Yogyakarta, Semarang dan Surabaya membuat kota ini juga dikenal sebagai tempat transit, sejarah Solo tak lepas dari berdirinya salah satu pusat kerajaan Mataram Islam yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Perjalanan dimulai dari saya yang ambil cuti tapi bingung mau ngapain, akhirnya dapat ide untuk blusukan kembali di pusat kota Solo, sudah lama saya tidak keliling-keliling di kota tempat saya mencari rezeki ini, karena spion motor patah akibat nabrak pagar beberapa bulan yang lalu, saya memutuskan untuk memarkirkan motor di halaman parkir Solo Square dan memilih menaiki bis kota untuk menuju pusat kota yang lebih dikenal dengan sebutan Gladag. Cukup dengan menaiki bis DAMRI dengan tarif Rp. 3.000 saya sudah bisa sampai di Gladag, Gladag sendiri merupakan pusat kotanya Solo, ujung timur Jl. Slamet Riyadi, dan ujung selatan Jalan Jend Sudirman, landmarknya adalah bundaran yang dihiasi dengan air mancur dan patung Slamet Riyadi yang menghadap ke barat. Dari Gladag ke selatan merupakan arah menuju alun-alun utara keraton kasunanan Surakarta, pohon beringin yang rindang membuat nuansa tersendiri di area ini, melihat-lihat kehidupan kota Solo yang berjalan santai, becak yang berjalan lambat, tukang cetak plat nomor yang mengepulkan rokok di depan kiosnya, dan penjaja kacamata yang hilir mudik menyapa pelancong, sejuk udara meski di siang hari ini sepertinya turut menyejukkan hati mereka. Adzan shalat dzuhur berkumandang, kesempatan bagus untuk kembali mengunjungi masjid Agung yang terletak di barat alun-alun utara, nampak manusia dari berbagai profesi berjalan ke arah masjid, ada satpam, pedagang, sopir, polisi yang dengan ramah saling sapa, seakan telah terbiasa berjumpa meski saya tidak yakin mereka telah saling kenal, sandal-sandal terparkir rapi, beberapa diantaranya disimpan di di rak yang sudah disediakan meski sepertinya kapasitasnya sudah tidak mencukupi lagi, masjid Agung ini masih bisa menjaga keagungannya, gemericik air dari puluhan keran itu tetap belum mampu mengakomodasi antrian jamaah shalat dzuhur ini, bukti bahwa masih banyak yang setia untuk berkunjung ke masjid yang didirikan oleh Raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785 ini. Video Jalan-jalannya : Credit musik backsound : Mus Mulyadi - Jenang Gulo Gesang - Ali-ali Semua Video Dokumentasi Pribadi Cahaya matahari mulai terik, saya beristirahat sebentar di bangsal masjid, membuka handphone sebentar dan mencoba mengakses informasi tentang masjid ini dengan browser Opera Mini yang setia saya pakai sejak HP-HP sebelumnya, mengakses internet dengan Opera Mini lebih ringan dan hemat bandwidth, terus terang saya sangat minim informasi dengan masjid tua nan megah ini, setelah dirasa cukup, saya langkahkan kaki kembali ke gerbang masjid, di halaman ini aktivitas niaga sudah mulai terlihat, penjaja mainan becak mini yang berputar-putar di dalam kotak cukup menarik perhatian beberapa orang, "Kuwi pake batu pak?" (itu pakai baterai pak?) celetuk salah satu dari mereka. Area di selatan masjid Agung merupakan area yang sangat ramai, becak-becak berjajar kurang beraturan, penyeberang jalan yang lalu lalang, dan kendaraan roda empat yang berjalan pelan-pelan, suara sahut-menyahut pedagang riuh bersahutan, inilah pasar yang juga merupakan pusat konveksi terbesar di Jawa Tengah, Pasar Klewer, menyusuri lorong-lorong antar lapak yang sempit, dan berpapasan dengan kuli angkut barang yang membawa barang segede gaban adalah pemandangan lumrah di pasar ini, tapi jika kamu ingin mendapat batik bagus dengan harga sangat miring, Pasar Klewer adalah pilihannya. Berjalan ke selatan, ke kawasan yang jauh lebih sepi, sebuah lorong jalan satu arah yang sempit, diapit pagar istana yang tinggi-tinggi, inilah jalan supit urang, tak banyak yang bisa ditemui disini, hanya tukang timbang emas yang mengais rejeki di tepi jalan ini. namun berkebalikan dengan situasi disekitarnya, kendaraan sangat ramai melintasi jalan ini, karena jalan ini merupakan penghubung langsung bagi kendaraan antara kawasan Gladag dan Pasar Klewer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H