Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ilusi Koalisi Permanen

16 Juli 2014   03:58 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:12 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Koalisi permanen yang dideklarasikan pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta dengan para partai pendukungnya cukup mengerenyitkan dahi, bukan karena koalisinya melainkan istilah permanen yang tersemat dalam kata koalisi tersebut. Sekilas, istilah koalisi permanen ini bukan hanya menggambarkan komitmen yang tinggi akan persamaan visi-misi antara partai, namun juga terlintas kegetiran dan ketakutan partai, terutama partai pengusung capres-cawapres dengan partai yang lainnya, akan manuver-manuver politik peserta koalisi yang akhirnya saling menjegal sesama partai koalisi atau bahkan keluar dari koalisi yang telah dibentuk.

Koalisi pada dasarnya memang dibentuk untuk memperkuat barisan dalam menyukseskan visi-misi yang telah disusun bersama, koalisi akan efektif jika seluruh pihak yang tergabung didalamnya memiliki komitmen yang kuat dalam menjalankan visi-misi tersebut. Lalu, apa kira-kira yang terbesit dalam benak Prabowo-Hatta sehingga menyematkan kata permanen dalam koalisinya? Apakah kegagalan partai demokrat dalam menjalankan koalisinya di parlemen saat ini menjadi salah satu pertimbangan? Dimana pemerintahan SBY-Boediono “berdarah-darah” dalam memperjuangkan kebijakannya di parlemen.

Koalisi yang dibangun pemerintahan SBY-Boediono bahkan sampai membentuk sekretariat gabungan sebagai wadah evaluasi dan penyegaran persamaan persepsi antar anggota koalisi di luar parlemen, tapi tetap saja manuver-manuver anggota koalisi di parlemen tidak terbendung bahkan cenderung over acting dan bahkan sering kali terang-terangan berseberangan dengan pemerintah tanpa memperhatikan atau sepertinya lupa akan adanya koalisi. Ujung-ujungnya pemerintah kadang kali tersandera dalam menentukan kebijakan karena terbentur pada kepentingan-kepentingan anggota koalisi.

Berkaca dari pengalaman diatas, deklarasi koalisi permanen yang ditanda-tangani para ketua partai peserta koalisi dari sisi anggota koalisi selain Gerindra dan PAN lebih terlihat hanya sebagai upaya menyelamatkan diri demi posisi kelak, Itupun jika Prabowo-Hatta memenangi pilpres. Selanjutkan, jika pemerintahan telah berjalan para anggota koalisi akan kembali sibuk dengan kepentingan-kepentingannya masing-masing, kesimpulannya, DPR sebagai “panggung sandiwara politik” pun akan meriah kembali. Sedangkan PDIP yang mempunyai rekam jejak oposisi selama masa dua kali periode pemerintah SBY sepertinya tidak akan terlalu sulit menempatkan kembali dirinya di posisi yang sama.

Lain halnya jika ternyata Jokowi-JK yang memenangkan pilpres ini niscaya partai-partai politik pendukung koalisi permanen akan mulai kasak-kusuk mencari-cari alasan untuk ikut serta dalam pemerintahan, lontaran-lontaran kata sanjungan akan lebih mendominasi dibanding kata-kata hinaan, toh memang tidak ada kawan yang abadi dalam politik, kepentingan lah yang abadi, koalisi permanen yang dimotori Gerindra dan PAN pun paling hanya tinggal kenangan, koalisi permanen hanya isapan jempol belaka.

Koalisi permanen hanyalah ilusi, langkah ini hanyalah bagian upaya penyelamatan diri dan posisi, posisi jangka pendek hingga partai-partai politik bisa berdiri dalam pijakan dan memiliki daya tawar yang lebih kuat.

Maka, sejatinya pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang kuat, pemerintahan yang tidak tersandera dengan kepentingan-kepentingan kelompok dan atau partai politik, pemerintahan yang mengedepankan kepentingan rakyat. Namun, sistem demokrasi kita saat ini diterjemahkan sebagai sistem yang membagi-bagi “kue” kekuasaan adalah keharusan, cara pandang kita dalam melihat sebuah pemerintahan adalah pembagian jatah menteri dan percaloan proyek, sehingga pembangunan pun tidak seutuhnya terbangun dengan baik.

Pendewasaan berdemokrasi memang memerlukan proses yang panjang, selama kekuasaan menjadi tujuan akhir, selama itu pula pemerintahan hanya akan berisi badut-badut politik berdasi. Indonesia negara besar, diperlukan negarawan besar dalam mengelola seluruh kekayaannya, negarawan yang mampu mengubah persepsi kekuasaan dari artian otoritarianisme menjadi kekuasaan sebagai komoditas dalam mengedepankan kepentingan rakyat.

Semoga pemimpin bangsa yang terpilih kelak adalah pemimpin yang dapat memberikan bukti nyata dalam mengelola dan mengoptimalkan seluruh asset bangsa demi kemajuan rakyat dan negara.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun