Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masihkah Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan?

29 Juni 2014   01:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:22 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin ketatnya persaingan memperebutkan kursi RI 1 semakin meruncing pula pergolakan di arus bawah, bukan hanya para tim sukses yang beradu argumen, masyarakat awam pun semakin menunjukkan orientasi politik dan beradu kepintaran berteori dan wawasan. Masalahnya, pendidikan politik yang diterima masyarakat lebih merujuk dan mengarah pada pencarian aib atau hal-hal negatif dari capres lawan, bukan mengangkat visi- misi capres idolanya. Alhasil, hampir diseluruh jejaring sosial terjadi saling tuduh, saling hina, saling caci-maki antara pendukung capres satu dengan yang lainnya, belum lagi suasana diperkeruh oleh timses cyber sehingga menjadi ajang untuk melempar isu dan fitnah terhadap pasangan capres-cawapres lawannya dan bahkan dapat dijamin bahwa masyarakat akan lebih hapal kejelekan capres tertentu daripada visi-misi yang mereka usung. Pertanyaannya, apabila masyarakat sudah terjangkiti virus saling benci, dan menjelekkan satu dengan yang lainnya, lalu apakah suara kebencian tersebut masih layak disebut suara tuhan? Dan akan sebatas apakah penghormatan yang akan diterima lembaga Negara (kepresidenan) tersebut kelak? Se-berwibawa apakah mereka (Presiden & Wapres) yang akan memutuskan 250 juta nasib rakyat Indonesia dimata lawan politik dan massa serta simpatisannya kelak?

Di alam demokrasi semua orang memang bebas untuk bicara, namun menukil apa yang dikatakan Gus Dur; “Orang juga mesti tahu kapan mendengarkan pihak lain. Demokrasi menghendaki kemampuan menahan diri dan bukan everything goes”. Masyarakat Indonesia telah belajar banyak bicara, tapi belum belajar mendengarkan, telah belajar berani maju dan bertindak tapi belum belajar menahan diri dan ketika etika-etika tersebut terabaikan demokrasi menjadi seolah-olah sandiwara - dagelan politik, “demokrasi kebablasan”.

Lantas, belum cukupkah masyarakat kita belajar berdemokrasi? Padahal sudah lebih satu dasawarsa sejak bergulirnya reformasi masyarakat disuguhi oleh berbagai macam “atraksi politik”, belum cukup juga kah kita menghadapi kenyataan bahwa wakil yang kita pilih di parlemen ternyata tidak lebih dari penjelmaan serigala yang licik dan korup?Pemimpin yang kita pilih juga ternyata tidak lebih dari lintah berdasi yang tidak bermoral dan menghisap darah rakyat? Lalu siapa yang salah? Yang dipilih atau yang memilih?

Tertatih kita perbaiki moral, bukan hanya moral pejabat, tapi juga moral masyarakat, moral kita semua, bukankah “Tuhan tidak akan merubah suatu kaum kecuali merekamengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d 13:11), maka mari kita rubah cara pandangdan tata berdemokrasi kita, menjadi demokrasi yang saling memberikan penghargaan dan penghormatan. Berkampanyelah dengan sopan, jangan ingin menang dengan menjatuhkan lawan, menanglah dengan elegan dengan menjual visi terbaik kita dalam mengedepankan kepentingan umum, karena itu akan jauh lebih terhormat daripada mencari-cari kekurangan lawan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang telah berabad-abad lamanya menjadi bangsa yang mampu dan bisa menonjol dari bangsa lainnya di dunia, disaat bangsa lain hancur dan terpecah belah dalam menghadapi dinamika politiknya, bangsa Indonesia pada saat krisis moneter tahun 1998 yang menurunkan Soeharto, justru mampu bertahan dan tetap dalam kesatuan dan demokrasi.

Torehan luka kerusuhan 1998 menjadi tumbal dan harga yang mahal untuk menjadikan Indonesia menjadi negeri demokratis. Demokrasi mengembalikan kekuasaan seutuhnya kedalam tangan rakyat, sehingga menjadikan tidak ada kekuasaan yang absolut dalam pemerintahan, ini menjadi suatu dasar untuk kita agar dapat tetap kritis menilai jalannya pemerintahan, namun euphoria demokrasi dan ketidak- dewasa-an masyarakat menjadikan kekuatan dan kekuasaan rakyat tersebut menjadi “murah” dengan menjualnya kepada badut-badut politik yang hanya mengejar kekuasaan dan kekayaan.

Pemilu sebagai salahsatu instrumen demokrasi mengajarkan sportivitas, menerima kelebihan dan kekurangan lawan serta kekalahan adalah suatu keharusan dalam alam demokrasi, bahwa apa yang kita perjuangkan tidak selalu harus terwujud pada saat itu, mungkin di pemilu berikutnya apa yang diperjuangkan dapat diterima dan dianggap cocok oleh masyarakat luas sebagai sarana atau solusi memperbaiki kehidupan bangsa. Maka hendaknya kita santun berdemokrasi dengan mengedepankan kampanye yang bermartabat.

Jadikan suara rakyat menjadi suara Tuhan dalam artian semestinya, jangan gadaikan keagungan dan kesucian nama Tuhan dengan kehancuran moral kita dengan orientasi materi, kedepankan hati nurani, objektivitas, buka dan besarkan hati jangan tutupi dengan kebencian dan ke-tamak-kan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun