Mohon tunggu...
Tri Sutrisni Wahyuningsih
Tri Sutrisni Wahyuningsih Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang guru muda yang mengajar mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sebuah Madrasah Tsanawiyah di Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Negeri Ini Milik Siapa?

20 April 2015   00:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia adalah Negara kaya, sumber daya alamnya melimpah dimana – mana. Kita punya tanah yang subur untuk menanam padi sendiri, kita juga punya daerah – daerah potensial yang kaya sumber daya alam hayati maupun mati. Tetapi mengapa Negara yang sudah seperti surga dunia ini masih tertatih perekonomiannya? Masih tergolong rendah pendapatan perkapitanya? Salah satu jawabannya adalah pendidikan yang tidak merata.

Pendidikan yang tidak merata

Berbicara tentang pendidikan di Negeri kita ini memang begitu kompleks masalahnya. Dari mulai kurikulum yang sering berganti, ujian nasional yang penuh kecurangan disana – sini, sampai pada fasilitas pendidikan tidak merata yang sering dipura – purakan lupa oleh yang berwenang dinegeri ini.

Pemerintah selama ini “katanya” terus mencoba memperbaiki pendidikan di Indonesia. mulai dari menggonta – ganti kurikulum, mempersulit mekanisme ujian nasional agar menjadi lebih baik, bahkan sampai pada perbaikan kualitas guru dengan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Jika kita lihat hasilnya, itu semua semu. Hanya segelintir manusia dari sekian ratus juta penduduk Indonesia yang bisa menikmati hasilnya.

Program wajib belajar 9 tahun yang kini dikembangkan menjadi 12 tahun sudah digalakkan, tetapi keberhasilannya masih perlu dipertanyakan. Menurut data yang penulis himpun dari www.lipsuskompas.com disebutkan bahwa menurut data dari BPS tahun 2013, rata-rata nasional angka putus sekolah usia 7–12 tahun mencapai 0,67 persen atau 182.773 anak; usia 13–15 tahun sebanyak 2,21 persen, atau 209.976 anak; dan usia 16–18 tahun semakin tinggi hingga 3,14 persen atau 223.676 anak.

Pemerintah seakan melupakan fakta bahwa pendidikan di negeri ini senyatanya memang belum merata. Mereka selalu menggunakan pendidikan di perkotaan sebagai acuan dan landasan utama keberhasilan sistem mereka. Mereka berlagak lupa, kalau dipelosok – pelosok negeri kita yang katanya kaya ini, masih banyak anak – anak yang tidak bisa menikmati fasilitas yang sudah selayaknya menjadi milik mereka.

Negeri yang hanya indah dalam konstitusi

Dalam pasal 31 UUD 1945 sendiri telah disebutkan bahwa setiap warga Negara berhak memperoleh pendidikan yang layak dan pemerintah wajib membiayainya. Bahkan pada pasal 34 UUD 1945 disebutkan pula bahwa fakir miskin dan anak – anak terlantar dipelihara oleh Negara. Tetapi kenyataannya?

Masih banyak gedung sekolah yang bahkan tidak layak disebut gedung, karena tidak layak huni, ditengah gedung mewah pemerintah yang terus diperbaiki. Masih banyak anak – anak yang mengorbankan masa kecil mereka untuk bekerja, membantu orangtua, sampai melupakan keinginan terpendam mereka untuk bersekolah seperti anak – anak lainnya, ditengah majunya fasilitas kota. Masih banyak pula guru yang mengajar dengan hati, tanpa peduli seberapa besar materi yang berhasil mereka kantongi, ditengah guru –guru lain yang menikmati sertifikasi. Sebenarnya pendidikan ini milik siapa?

Usaha semu

Pemerintah memang sudah ada usaha untuk memperbaiki pendidikan kita, tetapi belum menjangkau dan menuntaskan segala masalah yang ada. Utamanya tentang persamaan fasilitas dan kualitas guru yang mumpuni.

Program wajib belajar sudah dijalankan, tetapi belum mengurangi kesenjangan secara signifikan. Program SM3T yaitu program pemerintah untuk mengirimkan sarjana mengajar ke daerah terpencil, terluar, dan tertinggal juga sudah dilakukan. Tetapi mereka hanya mengabdi selama kurang lebih satu tahun, setelah itu mereka pulang lagi ke daerah asal. Daerah – daerah ini butuh guru abadi, yang mau tinggal dan menetap bersama mereka disana, mengajari mereka, bukan yang datang kemudian pergi lagi.

Jika dikaitkan dengan keberhasilan pendidikan,dan ekonomi, bagaimana siswa – siswa didaerah itu bisa menguasai materi kalau tidak ada guru mumpuni yang mendampingi? Mereka hanya diajar oleh relawan seadanya, ditempat seadanya pula. Kapan Negara ini bisa maju dan mandiri secara ekonomi?

Pendidikan mereka tanggungjawab kita juga

Memang kita juga tidak bisa menyalahkan pemerintah sepenuhnya. Kita sebagai warga Negara yang baik, demi rasa kemanusiaan, demi rasa ingin melihat rata dan bagusnya system pendidikan,harus ikut turun tangan. Kita tidak boleh hanya diam berpangku tangan menunggu keajaiban. Setidaknya lewat kegiatan sosial kita bisa sedikit membantu meringankan beban pemerintah yang sudah berat. Kita berbagi sebisa kita, membuat canda, tawa, dan membuat anak – anak yang tidak seberuntung kita bisa sedikit merasakan bagaimana indahnya dunia pendidikan yang hanya samar mereka rasakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun