Mohon tunggu...
Tri Sukmono Joko PBS
Tri Sukmono Joko PBS Mohon Tunggu... Dosen - Tenaga Pengajar, Sekretaris Pada Yayasan Lentera Dikdaktika Gantari

Hobi membaca, senang menjadi narasumber di Bidang Manajemen Risiko

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Etika dan Perilaku Etis di Dalam Organisasi

25 April 2024   09:56 Diperbarui: 6 November 2024   14:22 514
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Etika meliputi persoalan moral dan pilihan serta berhubungan dengan perilaku yang benar dan yang salah. Meskipun seringkali etika tidak memperoleh perhatian, dibuktikan dengan banyaknya pejabat publik, politisi, penegak hukum yang terlibat kasus pencurian uang negara, pencurian uang perusahaan, gratifikasi, dan suap. Yang lebih ironi lagi bahwa pelanggaran etika berat terjadi di perguruan tinggi dengan kasus gratifikasi uang hari raya. Kondisi ini menggerus kepercayaan masyarakat, di mana dilembaga pendidikan tinggi yang seharusnya merupakan tempat penanaman benih-benih idealis, kejujuran dan keadilan telah rusak oleh pejabat-pejabatnya yang mengelola perguruan tinggi. Apakah kita masih bisa meyakini perguruan tinggi seperti itu sebagai tempat menitipkan anak bangsa sebagai generasi penerus?

Sekarang ini disadari bahwa yang menentukan perilaku etis bukan hanya individu dan kelompok, tetapi sejumlah faktor dari lingkungan budaya, organisasi, dan eksternal. Pengaruh budaya pada perilaku etika berasal dari keluarga, teman, tetangga, pengetahuan, pemahaman agama, dan media. Pengaruh organisasi berasal dari kode etik, model peran, kebijakan dan praktik, serta sistem penghargaan dan sanksi. Kekuatan eksternal yang memiliki dampak pada perilaku etis adalah perkembangan politik, hukum, ekonomi, dan internasional. Faktor tersebut menurut Fred Luthans dalam buku Organizational Behaviour sering bekerja secara saling tergantung dalam membentuk perilaku etis individu dan kelompok dalam organisasi. 

Sebagai contoh, karyawan upah minimum akan membuat orang terikat dalam kondisi ekonomi yang menghalangi mereka memiliki kehidupan yang lebih baik. Apakah etis membayar orang dengan upah minimum? Apakah etis perusahaan multi nasional yang membayar upah tidak sama antara negeri induk dengan negara tempat pabriknya beroperasi, di mana perusahaan tersebut membayar upah rendah di negara berkembang dengan alasan perbedaan standar kehidupan? Apakah juga etis dengan perusahaan yang menjual produk tidak aman atau pimpinan eksekutif perusahaan rokok yang menyangkal bahwa nikotin bersifat merusak? Apakah etis membedakan perlakuan terhadap karyawan, di mana hanya terdapat sedikit perlindungan hukum yang diberikan dan mereka tidak memiliki sumber untuk mendapat bantuan? Apakah etis, perusahaan bank yang berlepas tanggungjawab atas penipuan rekening yang dialami nasabah yang sebenarnya kesalahan bank yang tidak bisa melindungi nasabahnya? Apakah etis perusahaan belanja online yang tetap menolak mengembalikan pembayaran kartu kredit atau debit setelah pemilik kartu menyatakan bahwa yang melakukan transaksi bukan pemilik kartu tetapi pelaku penipuan atau pembobol kartu kredit?

Pertanyaan-pertanyaan di atas membantu mengilustrasikan masalah dan kontroversi untuk menentukan apa yang dimaksud dengan perilaku etis dan mengapa orang baik kadang-kadang melakukan hal tidak etis, sementara banyak orang menyetujui bahwa mereka sangat beretika berkenaan dengan pribadi mereka sendiri.

Selain perhatian etika yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan, penggunaan uang suap, price fixing (kesepakat kenaikan harga antar produsen atau antar pedagang), laporan keuangan kreatif, dan kegiatan ilegal lainnya dan ditanggapi dengan menerbitkan sejumlah buku pedoman etika. Namun, buku pedoman etika saja tidak cukup bila tidak diperkuat dengan sanksi hukum dan sanksi sosial. Adanya sanksi yang tegas dapat memaksa setiap individu, organisasi atau perusahaan untuk berperilaku etis, karena yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik kepada pelaku pelanggar etis dan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah apabila pelanggaran etis tidak dianggap sebagai hal yang serius dengan  tidak menjatuhkan sanksi kepada pelanggar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun