http://blogs.rockymountainnews.com/denver/drew/archives/drew0711toon.gif
Dapat dibilang, saya merupakan salah satu dari jutaan homo sapiens penggila sepak bola. Yep, saya tergabung dalam spesies Homo Footballholicus! Saya sangat suka Manchester United karena ketularan sang Ayah. Saya (sedikit) suka PERSIB karena saya orang Bandung. Momen Piala Dunia-pun saya gilai.
Kalau boleh jujur, sebenarnya saya tidak terlalu peduli dengan skill-skill cantik atau taktik ataupun ketampanan paras wajah dari para pemainnya. Fenomena-fenomena offside-nya sepak bola, atau tetek bengek di luar arena lapangan nyatanya lebih mencumbu minat saya untuk berenang di dalamnya. Dari dendam kesumat klub yang berseteru antara Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic di Liga Skotlandia (yang konon katanya berbau agama) sampai kepada apa sih hobinya Park Ji-Sung, si playmaker Korea Selatan ini? Percakapan sepakbola pertama saya bersama rekan Aksara, sebuah unit literasi di Masjid Salman ITB, terjadi pada saat menjelang Majelis Buku (MaBuk). Seperti biasa, MaBuk kali ini mengambil waktu petang hari di hari Jum’at. Tempatnya juga sama seperti biasa, bertempat di Perpustakaan Masjid Salman ITB. Di Pojok bawah Gedung Kayu Salman ITB. Duduk mengitari meja berbentuk persegi, para pegiat Aksara siap menyantap saripati buku yang telah digodok. Kali ini Aikhalid yang berperan sebagai ‘koki’nya. Kebetulan, Final Piala Dunia antara Belanda dan Spanyol baru saja akan terjadi. Dua hari lagi tepatnya. Kala itu dunia persepakbolaan sedang gempar dengan hadirnya sosok selebriti baru. Si Gurita aneh plus nonsense bernama Paul itu. Terjuluk sebagai: The newest World Cup 2010 Oracle. “Beneran si Paul ini punya kekuatan magis?” ujar salah satu rekan saya. Maka sebelum bincang buku, topik Piala Dunia pun terlontar. “Ah, itu mah cuma permainan duit saja. Mungkin ada beberapa pemain yang disogok rumah judi tertentu agar tidak bermain bagus. Terus Paul nya disuruh macem-macem supaya makan makanan yang ditentukan,” timpal rekan saya yang lain. Lupa saya siapa yang bilang. “Iya, siapa tau aja. Soalnya aku pernah denger kasus ada pemain tenis yang dibayar supaya mainnya jelek,” giliran saya, si onion-child (maksudnya anak bawang.red) Aksara, mencoba berkomentar. “Iya, jadi sepakbola sudah semakin tidak fair-play saja ya?” Percakapan tentang sepakbola terus berlanjut walaupun terbilang singkat. Salah satu rekan bilang ada beberapa orang yang menyarankan diadakannya terobosan baru lewat kamera yang dipasang di bola.Tujuannya, supaya setiap peristiwa-peristiwa di lapangan terdokumentasi dengan jelas. Hal itu jelas membantu untuk menentukan sah atau tidaknya suatu gol. Tapi FIFA (Fédération Internationale de Football Association) menolak mentah gagasan tersebut. Takut kehilangan gregetnya sepakbola, katanya. Takut kehilangan daya tarik, kilahnya. Oke, dan topik ini ternyata berhasil membuat jemari kepunyaan saya ‘gatal’. Ya gatal untuk menggali lebih lanjut polemik si teknologi ‘pengurang kegregetan sepak bola’ ini. Maka saya sembuhkan kegatalan ini dengan mencari info sebanyak mungkin. Terima kasih saya ucapkan kepada Sergey M. Brin dan Lawrence E. Page karena telah menciptakan Google si pemudah keusilan saya untuk mengetahui hal ini lebih lanjut. :p Yang saya dapat nih, kabar-kabarinya salah satu wasit Piala Dunia tahun ini, Howard Webb, menelepon Sepp Blatter si bos tertinggi FIFA agar pertandingan sepak bola menggunakan teknologi tersebut. Menurut Webb, selain meningkatkan kualitas sepak bola, itu juga membantu wasit untuk hidup tenang. Hal ini didasari pada saat sejumlah keputusan kontroversial yang dilakukan sejumlah wasit. Salah satunya terjadi pada saat kesebelasan mengaum Three Lions Inggris melawan sekompi pasukan der Panzer Jerman. Gol gelandang Inggris, Frank Lampard, tidak disahkan oleh wasit Jorge Larrionda pada pertandingan 16 besar Piala Dunia melawan Jerman, yang berujung kemenangan Jerman, 4-1. Disahkannya gol tersebut membuat Inggris bisa menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Sejumlah kalangan menilai Inggris seharusnya tidak kalah. "Saya terbuka untuk segalanya yang akan membuat kami semakin dipercaya.Alat apa pun yang saya punya akan saya gunakan untuk mendukung kinerja saya," ungkap Webb. Saya salut kepada beliau. Webb, mungkin salah satu wasit jujur yang ingin agar sportivitas sepak bola selalu terjaga. Dapat disimpulkan, wasitlah sang ter-paling-bersalah utama atas kermurkaan publik jika terjadi kesalahan penetapan hukum di lapangan hijau. Entah su'udzon semata atau sekedar estimasi lemah dari otak saya, mungkin, ada something behind something. Mungkin ada permainan kubu-kubu tertentu yang bermain licik, yang matanya sehijau lapangan bola, ingin dapat duit banyak. Bisa jadi rumah judi, bisa jadi pemain, atau pelatih. Siapapun bisa. Mereka membujuk rayu sang wasit untuk berpihak kepada kubu yang mereka dukung. Atau mungkin membujuk rayu official-official yang lain. Hem, memang bisa ya? Bisa jadi. Bisa juga tidak. Mungkin itu tadi. Saya cuma su'udzon. Tetapi yang tidak masuk di akal, itu lho, alasan mengapa FIFA menolak teknologi tersebut. Takut kehilangan gregetnya drama pertandingan. Bah, drama sih boleh drama. Sedramatis adegan telenovela Rosalinda juga monggo bae, deh. Tetapi kalau tidak adil, berarti FIFA ini menjilat ludahnya sendiri dong. Kan semboyan ciptaan FIFA sendiri, My Game is Fair Play. Masa semboyan sendiri mau diselingkuhi? Saya jadinya malah mempertanyakan beberapa hal. Misal, tentu saya tahu sepak bola itu olah raga. Soalnya ada bab khusus teknik sepak bola di rangkuman LKS (Lembar Kerja Siswa) pelajaran Penjaskes semasa SMA milik saya. Tapi saya bingung masih olah raga atau tidak? Soalnya kok merk-merk minuman keras malah berseliweran menjadi sponsor klub sepak bola. Selain memang haram kan tidak sehat juga. Jangankan minuman keras, rokok sang pencipta beragam jenis gangguan kesehatan juga membuntuti jadi sponsor. Sehat itu kan tujuan dari olah raga. Nah, dengan minuman keras dan rokok wara-wiri mensponsori, apa jadinya malah tidak membuat ‘sehat’ sepak bola? Just a thought. Dan ya, sepak bola itu memang money-sucker machine. Mafhum deh saya mendengarnya. Tapi seberapa besar kadar money-sucker machine-nya? Sudahkah kadarnya meluap dan telah sampailah akhirnya kepada sportivitas yang dipecundangi? Lalu, anggapan sepak bola itu agama? Sepintas, dengan merujuk pada pernyataan “Agama itu Candu” dari Karl Marx saya bisa manggut-manggut sembari menyetujui anggapan tersebut. Sepak bola memang candu sejuta umat manusia di planet Bumi ini. Tetapi mari kita merujuk kepada etimologi Agama dalam bahasa Sansekerta. A- itu artinya tidak. –Gama itu artinya kacau. Kesimpulannya, sederhana saja, Agama itu tidak kacau. Nyatanya sepak bola acapkali membuat keadaan makin kacau. Kerusuhan supporter lah, basis fans klub di luar negeri sana yang ngamuk gara-gara klubnya makin komersial saja lah. Macam-macam rupanya. Sepak bola jugalah tempat bergantungnya mimpi bejubel anak-anak di dunia. Heroisme a la sepak bola model Ronaldinho atau Cristiano Ronaldo yang berasal dari kaum papa memantrai mereka untuk terus bermimpi. Mimpi menjadi kaya. Mimpi digilai penggemar. Mimpi mengabdi untuk negara kelahiran. Mimpi untuk bereksistensi diri setinggi-tingginya. Macam-macam juga rupanya. Semua yang saya paparkan di atas adalah bukti. Bahwa sepak bola sudah meluber kemana-mana. Cair dalam hampir setiap percakapan para pria. Agama (menurut versi Karl Marx) kedua selain yang tertera di KTP. Dimainkan di setiap kesempatan selagi bisa, gorong-gorong pun bisa, kandang sapi sekali pun juga bisa. Akhir kata, sebengis apapun sepak bola masakini telah mengkhianati the real-essence dari sepak bola itu sendiri; anda, saya, dan mereka buktinya tetap mendarah-dagingi sepak bola, toh? Sebuah reality-show tanpa henti, beragam jenisnya, dan tempat tersingkapnya sebundel realita dramatis di balik hanya sekedar permainan 45x2 menit saja. Hey, siapa yang tidak tertarik?
Salaaam. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H