Mohon tunggu...
Trisno S. Sutanto
Trisno S. Sutanto Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang yang selalu gelisah dan mencari

Setelah lama "nyantri" di STF Driyarkara, menjadi penulis lepas untuk berbagai media dan terlibat dalam gerakan antar-iman. Esai-esai terpilihnya dikumpulkan dan diterbitkan dalam buku "Politik Kebinekaan: Esai-esai Terpilih", oleh BPK Gunung Mulia, Jakarta, Desember 2021.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Kung dan Ratzinger

31 Desember 2022   22:27 Diperbarui: 31 Desember 2022   22:45 569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kng dan Ratzinger. Foto: Frankfurter Allgemeine

Saya kira pertanyaan itu merupakan pertanyaan abadi bagi siapapun orang yang sungguh-sungguh mau mempertanggungjawabkan pilihannya untuk mengikuti jalan Kristus. Kung sendiri bergumul serius dengan pertanyaan itu. Bukunya itu, yang tebalnya lebih dari 700 halaman, berusaha merumuskan apa yang disebut oleh Kung sebagai summa kecil tentang pilihan imannya. Di dalamnya ia bergumul dengan berbagai arus pemikiran kontemporer, ideologi-ideologi sekular, situasi kemajemukan agama, sekaligus hasil-hasil riset Biblika terbaru saat itu, sehingga langsung menjadi best seller internasional.

Berfoto bersama Rm. Magnis-Suseno dan Hans Kung saat mengunjungi Indonesia (dokumen pribadi)
Berfoto bersama Rm. Magnis-Suseno dan Hans Kung saat mengunjungi Indonesia (dokumen pribadi)

Tetapi di kalangan para teolog Katolik, buku Kung tidak disambut hangat. Pada 1976, terbit kumpulan esai di Jerman yang ditulis antara lain oleh Karl Rahner dan Ratzinger yang sangat kritis terhadap buku itu. Kritik Ratzinger di situ, seperti dilaporkan John L. Allen, Jr., koresponden NCR (National Catholic Reporter) di Roma (28 September 2005), sangat pedas. Ia menganggap buku Kung justru menodai landasan iman Kristen, dipenuhi arogansi intelektual, dan teologinya tidak berdasar.

Tentu saja penilaian Ratzinger itu membuat Kung berang. Apalagi, tak lama setelah pencabutan venia legendi Kung pada Desember 1979, Ratzinger yang saat itu menjabat sebagai Uskup Agung Munich, dalam khotbah akhir tahunnya, membela keputusan tersebut. Bagi Kardinal Ratzinger, "Umat Kristen adalah orang-orang yang sederhana; adalah tugas para Uskup untuk melindungi mereka dari kekuasaan para intelektual."

Tampaknya perpecahan keduanya sudah tidak terjembatani lagi. Karena itu banyak harapan muncul saat pertemuan historis Paus Benediktus XVI dengan Kung pada 24 September 2005. Tetapi semua harapan itu kandas, termasuk harapan Kung sendiri. Kepada Der Spiegel (21 September 2011), yang mewawancarainya saat Paus berkunjung ke Berlin, Kung mengisahkan pertemuannya selama empat jam di rumah peristirahatan Paus di Castel Gandolfo, memang berlangsung akrab. "Pada waktu itu, saya berharap momen itu akan menandai era keterbukaan baru," kata Kung. "Tapi harapan itu kandas. Kami berkorespondensi beberapa kali. Namun sanksi terhadap saya, yakni pencabutan ijin mengajar saya, tetap berlaku."

Kung menilai, kunjungan Paus tidak akan berdampak banyak pada krisis yang dihadapi kekristenan di Barat. Ia malah menyebut kebijakan Paus sebagai "Putinisasi" dan membandingkan Paus dengan Vladimir Putin yang memusatkan kekuasaan di tangannya!

Nantinya, ia akan menaruh harapan besar pada Paus Fransiskus. Kepada Jimmy Burns dari The Tablet yang mewawancarainya tak lama setelah Kardinal Jorge Mario Bergoglio terpilih, Kung menuturkan harapannya: "Paus asal Argentina ini langsung memulai masa kepausan dengan gaya yang baru, dengan bahasa yang lugas dan kesederhaaannya. Ia menunjukkan dirinya sebagai manusia biasa, dengan meminta orang lain mendoakan dirinya" (The Tablet, 1 Februari 2014). Bahkan, menurut obituari tentang Kung yang ditulis Christopher Lamb di The Tablet (6 April 2021), pada 2016 Paus Fransiskus sepakat dengan usulan Kng untuk membuka dialog soal doktrin infalibilitas Paus.

Warisan Tantangan Ganda

WAFATNYA Kung mengakhiri "pertarungan" dua figur yang sudah menghiasi sejarah Gereja selama lebih dari setengah abad. Dan orang mulai melihat, jangan-jangan pertarungan itu, sebenarnya, mencerminkan wajah ganda Gereja di abad ke-20 dan kini memasuki milenium baru. Pada satu sisi, wajah Gereja yang didorong untuk terus menerus memperbarui dan membuka diri pada perkembangan dunia pasca Konsili Vatikan II; pada sisi lain, wajah Gereja yang tetap harus menjaga ajaran dan panggilan dasarnya dari Kristus sebagai tanda sakramental kehadiran Allah.

Kung mungkin mewakili sisi pertama dari wajah Gereja itu. Kita tahu, setelah kritik tajam terhadap buku On Being a Christian, Kung mencurahkan energi dan perhatiannya pada upaya membangun "Etika Global", ekumenisme, dan dialog antar-agama maupun antar-peradaban.

Itulah warisan Kung yang utama dan akan selalu dikenang, karena ia meletakkan diktum pertama, bahwa tidak mungkin ada perdamaian tanpa saling pengertian antar-agama. Tetapi, dari sudut lain, ziarah antar-agama yang dijalani Kung, bisa dibilang, juga melanjutkan pertanyaan dasar tadi. Sebab bagaimana mempertanggungjawabkan pilihan untuk mengikuti Kristus dewasa ini, mau tak mau, harus bergumul dengan kenyataan pluralitas keagamaan. To be religious today is to be inter-religious, diktum kedua Kung.

Sementara Ratzinger, mungkin, mewakili sisi kedua dari wajah Gereja. Tak lama setelah menjabat sebagai Paus, buku karangannya terbit, Jesus of Nazareth (2007). Ini merupakan buku pertama dari trilogi yang menelusuri, lewat kesarjanaan Biblika yang mumpuni, penguasaan literatur Patristik maupun teologi sistematik yang mencengangkan, tentang figur Yesus Kristus dan maknanya bagi kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun