SAYA selalu tercengang menyaksikan fenomena tahunan itu: mudik.
Entah sihir apa yang sedang bekerja, tiba-tiba jutaan warga serentak, tanpa komando, mementaskan teater massal paling riuh sepanjang tahun. Di situ waktu seakan berhenti. Tidak ada fenomena apa pun yang pantas diulas, entah lewat kanal televisi maupun media cetak, dan kini lewat kanal-kanal media sosial, selain soal mudik.
Apalagi mudik kali ini. Jika data Kompas benar, maka mudik Lebaran kali ini akan dicatat sebagai rekor volume kendaraan terbesar: 105 ribu kendaraan melewati pintu tol pada H-3 Lebaran. Ini tidak mencakup jumlah kendaraan yang tidak melewati pintu tol.
Seperti Mang Ucup dan rekan-rekannya. Mereka para tukang Bajaj yang biasa nongkrong di depan gang rumah dan menjadi langganan saya. Kami merasa akrab, karena dia berasal dari Cirebon sementara saya dari Tegal. Jadi kami terbiasa bercerita dengan bahasa ngapak-ngapak, sembari tertawa-tawa sendiri mendengar logat masing-masing.
Lebaran kali ini Mang Ucup memutuskan untuk mudik bersama kawan-kawannya. Mereka bertiga dan akan naik Bajaj, mengarungi jalur Pantura selama 8 jam, sebelum sampai di rumah masing-masing.
“Sudah terlalu kangen,” katanya. “Dua tahun tidak pulang, rasanya sudah tak terbayang.”
Pandemi dan adventure
TENTU saja, Bajaj Mang Ucup dan, mungkin, ratusan ribu atau jutaan motor lain, tak tercatat di pintu tol. Itu satu-satunya pilihan kendaraan bagi mereka. Naik KA akan terlalu repot, sebab mereka masih harus melanjutkan perjalanan dari Stasiun Cirebon ke desa mereka.
“Sebenarnya paling enak naik travel,” katanya. “Persis berhenti di pintu tol dekat rumah saya. Tinggal turun, lalu jalan kaki sebentar. Cuma harganya sudah naik duakali lipat.”
Konon, jika seminggu sebelum Lebaran harga tiket travel masih sekitar Rp. 200 ribu per orang, pada H-3 harganya sudah Rp. 400 ribu. Terlalu mahal bagi Mang Ucup dan kawan-kawannya.