Gangguan makan, yang umumnya disebut sebagai eating disorder, merupakan sebuah kondisi yang melibatkan aspek psikologis dan medis yang menghasilkan perubahan signifikan dalam pola makan individu dengan tujuan mengontrol berat badan. Gangguan ini seringkali terjadi pada kalangan remaja perempuan. Proses pematangan seksual dan perubahan fisik yang terjadi selama masa remaja berperan dalam meningkatkan kepedulian individu terhadap penampilan mereka. Transformasi psikologis selama masa ini melibatkan dorongan untuk mendapatkan pengakuan dari teman sebaya serta menjadi yang terbaik di antara mereka. Banyak remaja mengalami perubahan drastis dalam bentuk dan ukuran tubuh mereka, yang dapat berkontribusi pada perkembangan citra tubuh yang negatif dan akhirnya mengarah kepada gangguan makan. Studi menunjukkan bahwa sekitar 79% remaja perempuan memiliki risiko mengalami bulimia dan preokupasi dengan makanan, di mana makanan digunakan sebagai mekanisme untuk mengatasi stres, namun disusul dengan perasaan bersalah yang mendorong tindakan muntah sebagai respons (Merita, 2020). Kurniawan (2015) mengemukakan bahwa selama masa pubertas, remaja perempuan cenderung merasa tidak puas dengan penampilan fisik mereka dan memiliki pandangan negatif lebih banyak dibandingkan dengan remaja laki-laki. Saat pubertas berlanjut, kepuasan terhadap penampilan tubuh remaja perempuan seringkali menurun, kemungkinan karena perubahan dalam komposisi lemak tubuh, sementara remaja laki-laki mengalami peningkatan kepuasan karena pertumbuhan otot mereka meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa risiko gangguan makan lebih tinggi pada remaja perempuan.
Citra tubuh, yaitu persepsi individu terhadap penampilan fisik mereka sendiri, dapat berperan sebagai faktor risiko dalam perkembangan gangguan makan. Ketika individu memiliki citra tubuh yang positif, mereka merasa puas dan nyaman dengan penampilan fisik mereka, yang dapat meningkatkan tingkat kepercayaan diri dan kesejahteraan psikologis. Sebaliknya, citra tubuh yang negatif terkait dengan perasaan ketidakpuasan, kecemasan, atau depresi yang berkaitan dengan penampilan fisik. Citra tubuh yang negatif dapat meningkatkan risiko perkembangan masalah kesehatan mental seperti gangguan makan, depresi, dan gangguan kecemasan. Penelitian oleh Merita (2020) menunjukkan bahwa pandangan negatif terhadap citra tubuh dapat memengaruhi pola makan seseorang. Seorang remaja perempuan yang menginginkan tubuh kurus mungkin akan menjalani diet yang sangat ketat dan berisiko mengalami bulimia. Wangu (2023) juga menemukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara citra tubuh dan kebiasaan makan pada remaja, menunjukkan bahwa semakin positif citra tubuh individu, semakin rendah risiko gangguan makan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa citra tubuh individu memengaruhi munculnya gangguan makan.
Perasaan ketidakpuasan terhadap penampilan fisik dan tekanan sosial sering memicu perilaku makan yang tidak sehat, seperti penurunan berat badan ekstrem, perasaan bersalah setelah makan, atau kontrol kompulsif atas asupan makanan. Stigma terhadap berat badan, ukuran tubuh, atau penampilan tertentu dapat menyebabkan individu merasa malu atau tidak berharga, yang berkontribusi pada perasaan rendah diri dan ketidakpuasan terhadap penampilan fisik mereka. Sebagai akibatnya, individu mungkin mencoba mengendalikan berat badan mereka melalui pola makan yang tidak sehat, karena terobsesi dengan tubuh kurus atau ideal, yang dapat mengarah kepada gangguan makan (Muliarsi, 2022). Penelitian Ammar (2018) menunjukkan bahwa tekanan dari lingkungan sosial terkait dengan standar bentuk tubuh memengaruhi persepsi remaja terhadap tubuh mereka, cenderung membuat mereka berpikir negatif tentang penampilan mereka. Temuan ini diperkuat oleh penelitian Islamy (2021) yang menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan diri yang tinggi berkaitan dengan tingkat rendah gangguan makan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa perasaan puas dengan penampilan dan resistensi terhadap tekanan sosial berperan penting dalam pencegahan gangguan makan.
Media sosial juga berperan dalam mendorong perilaku gangguan makan. Trend tubuh ideal yang dipromosikan oleh influencer di media sosial membuat individu cenderung membandingkan penampilan tubuh mereka dengan orang lain, yang dapat menghasilkan perasaan kecewa, sedih, dan ketidakpuasan terhadap penampilan mereka sendiri. Penggambaran wanita kurus dan ramping oleh media sosial secara tidak langsung mendorong remaja untuk mencapai tubuh seperti itu dengan cepat, yang bisa menghasilkan pola makan yang tidak sehat. Peninjauan literatur tentang media sosial dan psikopatologi gangguan makan (Padin, 2021) mengindikasikan bahwa penggunaan media sosial berhubungan dengan tingkat kejadian gangguan makan serta memiliki keterkaitan yang signifikan dengan citra tubuh negatif. Penelitian oleh Turner (2017) menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna Instagram yang mengikuti akun makanan sehat memiliki risiko gangguan makan. Ini menunjukkan bahwa media sosial dapat mempengaruhi individu untuk mengembangkan citra tubuh yang negatif dan akhirnya mengalami gangguan makan.
Kehadiran perilaku gangguan makan, atau eating disorder, berpotensi memberikan dampak yang signifikan terhadap kondisi psikologis individu. Gejala eating disorder sering kali berhubungan dengan perasaan kurangnya rasa percaya diri yang berkaitan dengan persepsi negatif terhadap citra tubuh mereka, sehingga menciptakan rasa rendah diri dan rasa malu terhadap pola makan mereka. Selain itu, individu yang mengalami eating disorder cenderung mengalami obsesi yang berlebihan terhadap makanan, berat badan, diet, atau penampilan fisik mereka, yang dapat mengganggu kemampuan konsentrasi dan performa dalam aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, seringkali individu ini mengalami perasaan sedih, kehilangan minat dalam kegiatan yang biasanya mereka nikmati, dan mengalami perasaan putus asa. Perasaan putus asa yang dialami oleh individu ini memiliki potensi untuk berkembang menjadi depresi. Dalam situasi yang lebih parah, akibat perasaan putus asa yang terus-menerus dan keterlibatan dalam siklus negatif yang berkaitan dengan eating disorder, penderita eating disorder dapat menghadapi risiko untuk mengalami pemikiran untuk mengakhiri hidup mereka atau bunuh diri. Penelitian yang dilakukan oleh Ranzenhofer (2012) dan Micali (2014) telah menunjukkan bahwa individu dengan eating disorder mengalami penurunan tingkat kepercayaan diri dan memiliki kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial, jika dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami eating disorder. Terdapat bukti dari penelitian Forrest (2017) yang mendukung hipotesis bahwa eating disorder merupakan faktor risiko dalam terjadinya pemikiran untuk bunuh diri pada kalangan remaja. Kondisi psikologis individu yang mengalami eating disorder mengalami perubahan yang signifikan, termasuk depresi, isolasi sosial, dan keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
Eating disorder merupakan kondisi serius yang memengaruhi perilaku makan seseorang dan sering kali berkaitan dengan faktor psikologis, genetik, dan lingkungan. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan multidisipliner sangatlah penting. Pertama, edukasi publik perlu ditingkatkan untuk mengurangi stigmatisasi dan meningkatkan kesadaran akan gejala serta risiko yang terkait dengan eating disorder. Kedua, perlu adanya layanan kesehatan mental yang terjangkau dan terbuka bagi mereka yang membutuhkan bantuan. Hal ini mencakup akses ke psikoterapi, konseling, dan dukungan medis yang sesuai. Ketiga, kolaborasi antara ahli gizi, psikolog, psikiater, dan tenaga medis lainnya diperlukan dalam penanganan kasus eating disorder guna memberikan perawatan yang holistik. Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk memahami lebih dalam faktor penyebab, penanganan, serta pencegahan eating disorder guna meningkatkan efektivitas intervensi yang ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H