Hingga saat ini, permasalahan yang menimpa kelompok minoritas etnis Rohingya yang mendiami suatu wilayah di negara bagian Rakhine tersebut masih terus menjadi perbincangan. Terutama mengenai masalah repatriasi atau pemulangan pengungsi Rohingya ke negara asalnya.
Seperti yang sudah diketahui sebelumnya bahwa terjadinya operasi militer di negara bagian Rakhine yang dilangsungkan oleh militer Myanmar, Tatmadaw, pada Agustus 2017 lalu telah menimbulkan adanya eksodus secara besar-besaran dimana ratusan ribu warga etnis Rohingya telah melakukan migrasi ke Bangladesh untuk mencari keamanan dan penghidupan yang layak. Banyaknya pengungsi Rohingya yang berbondong-bondong mendatangi negara berbahasa resmi Bengali tersebut, membuat pemerintah negara berulang kali berupaya untuk memulangkan mereka ke negara asalnya. Â
Seakan mengulur waktu, hingga kini proses pemulangan atau repatriasi pengungsi Rohingya yang tinggal di kamp-kamp di Cox’s Bazar itu belum sepenuhnya terwujud. Melansir dari CNN Indonesia, seperti yang telah dikatakan oleh Duta Besar Myanmar untuk Indonesia, Daw Ei Ei Khin Aye, seusai bertemu dengan Wakil Presiden Indonesia Ma’ruf Amin di Kantor Wapres pada Senin (18/11/2019), bahwa pemerintah Myanmar akan menjamin proses pemulangan para pengungsi Rohingya ke negara bagian Rakhine berlangsung aman. Akan tetapi, dengan syarat para pengungsi tersebut tidak diperkenankan untuk mengajukan berbagai permintaan yang kemungkinan kecil atau bahkan mustahil untuk diberikan oleh pemerintah Myanmar, status kewarganegaraan misalnya.
Suatu bentuk ketakutan tersendiri bagi para pengungsi Rohingya apabila pulang tanpa mendapatkan status kewarganegaraan. Bagaimana tidak, tanpa diakuinya status kewarganegaraan mereka sebagai warga negara Myanmar, maka para pengungsi yang menjadi target repatriasi tersebut akan tetap merasa terancam dan merasa tidak akan memperoleh jaminan rasa aman bahkan di negara asalnya sendiri. Mereka pun tidak akan bisa menerima perlindungan hukum secara nasional dan tidak dapat pula dijamin hak-haknya dalam hukum nasional seperti hak sipil, hak dalam hal ekonomi, politik, dalam mengakses pelayanan kesehatan serta pendidikan, dan lain sebagainya. Bahkan mereka juga akan rentan terhadap adanya aksi penganiayaan dan penyiksaan.
Seolah bagaikan mimpi buruk, para pengungsi etnis Rohingya tersebut merasa terus dihantui oleh perasaan trauma akan terjadinya tindakan-tindakan seperti diskriminasi, tindakan kekerasan, penganiayaan, pemerkosaan, dan tindakan-tindakan lainnya yang tidak berperikemanusiaan. Apalagi setelah terjadinya konflik internal yakni kudeta militer di Myanmar, mereka akan semakin diliputi oleh rasa takut yang berlebihan. Bahkan, adanya kondisi pandemi Covid-19 yang terus meningkat tanpa tahu pasti kapan akan mereda juga turut menjadi bagian dari kekhawatiran mereka.
Hal-hal itulah yang menjadi poin penting dan sangat memungkinkan tergolong sebagai hambatan-hambatan dalam proses repatriasi para pengungsi yang tinggal di kamp-kamp di Cox’s Bazar, Bangladesh. Sehingga, tidak menutup kemungkinan hal-hal tersebut dapat membuat waktu pelaksanaan repatriasi menjadi terulur.
Memang, rencana pemerintah Bangladesh untuk menjalankan proses repatriasi terhadap pengungsi etnis Rohingya sudah berulang kali diupayakan. Namun, rencana repatriasi tersebut pada tahun 2018 dan 2019 lalu telah gagal dikarenakan negosiasi di antara kedua pihak negara, yakni Bangladesh dan Myanmar, tidak berhasil mencapai kesepakatan. Melansir dari IDN TIMES, bahwa rencana repatriasi untuk yang ketiga kalinya ini telah berhasil mencapai kesepakatan dengan bantuan dari Tiongkok, di mana diperoleh hasil bahwa proses repatriasi akan dilaksanakan pada bulan Juni di tahun ini.
Namun, lagi-lagi hak untuk memperoleh status kewarganegaraan turut menjadi masalah. Oleh karena itu, dapat diyakini bahwa hak memperoleh status kewarganegaraan merupakan hambatan yang utama dalam proses pemulangan warga etnis Rohingya yang mengungsi di negara Bangladesh tersebut. Hal ini dikarenakan pengembalian hak kewarganegaraan lah yang menjadi tuntutan permintaan yang utama, yang diajukan oleh para pengungsi etnis Rohingya.Â
Benar saja, apabila pemerintah Myanmar tidak dapat menjamin terpenuhinya tuntutan permintaan yang diajukan oleh para pengungsi tersebut, maka dapat dipastikan mereka tidak akan siap atau ragu-ragu untuk kembali ke negara asal mereka. Walaupun sebenarnya mereka sangat ingin untuk kembali pulang ke negara bagian Rakhine di Myanmar itu.
Dalam rencana proses repatriasi para pengungsi Rohingya yang tinggal di tempat pengungsian di Cox’s Bazar Bangladesh itu, tak hanya Tiongkok yang ikut serta untuk membantu memfasilitasi proses repatriasi supaya dapat berlangsung lancar, akan tetapi PBB dan ASEAN juga turut serta membantu proses repatriasi ini.Â